Biografi KH. Zubair Dahlan

Kehidupan Semasa Kecil
K.H. Zubair Dahlan dilahirkan pada tahun 1323H di daerah pesisir pantai, tepatnya, di Desa Karangmangu, Sarang Rembang. Suatu daerah yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Beliau adalah putra ke-2 dari Kyai Dahlan dan Ibu Nyai Hasanah. Pada masa kecilnya, beliau tumbuh dan berkembang keilmuwannya di bawah bimbingan ayahandanya. Dalam permasalahan ta'alum (pendidikan), beliau belajar membaca Al-Qur'an dan ilmu-ilmu dasar agama Islam langsung di bawah pantauan kakek beliau, Kyai Syua'ib yang sudah masyhur dengan ke'alimannya. Sehingga pada umur yang relatif sangat muda (6 tahun), beliau sudah dapat membaca Al-Qur'an dengan baik disertai dengan tajwid-tajwidnya. Sejak kecil beliau terkenal dengan kecerdasannya, serta memiliki himmah yang kuat untuk mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama. Dalam bimbingan kakeknya, beliau dapat mempelajari bermacam-macam cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Adapun dalam bidang sastra dan gramatika Arab, beliau dibimbing langsung oleh ayahandanya. Dalam bidang ilmu fiqih beliau menghatamkan kitab Taqrib dari paman beliau, Kyai Ahmad bin Syua'ib. Sedangkan kitab Fathul Wahab beliau mengaji di bawah bimbimgan Kyai Fathur Rohman bin Kyai Ghozali.

Rihlah K.H. Zubair Dahlan dalam Mendalami Ilmu Agama
Kehausan beliau dalam mendalami pengetahuan ilmu agama tidak cukup hanya di daerah kelahiran saja. Bertepatan pada usia ke-17 beliau pergi ke Makkah Al- Mukarromah bersama dengan kakek dan neneknya, Kyai Syua'ib beserta istri. Beliau tinggal di sana selama tiga tahun bersama pamannya, Kyai Imam Kholil. Dalam kesempatan ini, beliau menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari para ulama' Al-Harom As-Syarif. Diantaranya, Kyai Baqir Al-Jokjawy (Yogyakarta). Dari Kyai Baqir ini, beliau mendalami ilmu-ilmu Hadis, Tafsir Jalaalain, Sarah Imam Al-Mahally dan lain-lain. Dan dari Syekh Al 'Alamah Hasan Al-Yamany, putra Syekh Sa'id Al-Yamany, beliau mempelajari ilmu gramatika Arab, misalnya, Syarah Matan Al-Jurumiyyah, Syarah Al 'Alamah Kafrawi dan lain sebagainya. Sehingga pada suatu ketika beliau pernah disuruh gurunya untuk mengi'robi suatu lafaldz مررت بزيد ,ضرب زيد عمرا beliau berkata, "Marortu fi'il madli mabni sukun, ta' merupakan dlomir yang mabni dlomah yang statusnya menjadi fa'il dari مرّ . Dari kejadian itulah beliau diberi julukan oleh gurunya dengan julukan "Zubair Al- Kuffy".

Selang beberapa waktu berlalu, beliau kembali ke tanah Jawa bersama sang paman, Kyai Imam Kholil. Namun, pendalaman ilmu agamanya tidak cukup hanya sampai di situ saja. Meskipun sudah belajar di Makkah, beliau masih melanjutkan berguru kepada Syekh Al 'Alamah Kyai Faqih bin Abdul Jabbar Maskumambang. Di bawah bimbingan Kyai Faqih, beliau mempelajari berbagai bidang ilmu, diantaranya, kitab Tafsir, Jam'ul Jawami', Syarah Ummul Barahin (bidang aqidah). Pada kesempatan ini, beliau mendapatkan ijazah dari gurunya ini, yang termaktub dalam suatu kumpulan, yang diberi nama "Kifayatul Mustafid". Di sini dicatat sanad-sanad Kyai Zubair dari jalur Syaikh Muhammad Mahfud bin Abdullah At Turmusy.

Pada tahun 1371H, beliau berangkat ke Makkah Al-Mukarromah lagi bersama para jamaah haji dari Indonesia untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima. Pada waktu ini, beliau bertemu dengan seorang yang 'alim, yang mulia Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliky. Dalam kesempatan ini beliau mengikuti majlisul ilmi yang diasuh Sayyid Alawy, yang bertempat di Babussalam (pintu yang berada di tempat sa'i). Beliau sangat kagum dengan apa yang disampaikan oleh Sayyid Alawy, karena penyampain Sang Sayyid disampaikan dengan bahasa yang fushah (ejaan yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab) dan ta'bir-ta'bir yang bagus. Dan pada waktu haji itu juga, beliau bertemu dengan seorang yang 'alim dari Indonesia yang telah menetap di Makkah, Syeikh Al 'Alamah Ustadz Yasin Bin Isa Al Fadany. Di sela-sela pertemuan yang singkat itu, beliau di ijazahi oleh Syaikh Yasin seluruh kitab yang telah beliau pelajari (Ijazah Muthlaq).

Kepribadian, Husnul Huluq Dalam Berprilaku
K.H. Zubair merupakan salah satu figur yang patut sebagai teladan kita semua, khususnya para santri. Di antara sekian banyak sifat-sifat beliau, ada beberapa yang menonjol, yaitu ketekunan dalam memperdalam pengetahuan agama, sifat lemah lembut dan mengasihi orang yang lemah dan orang-orang fakir. Selain itu, beliau juga sangat senang dengan santri, berpegang teguh dengan sunah-sunah dan sejarah-sejarah ulama' salafus sholih. Beliau juga sosok yang sangat menjauhi bid'ah-bid'ah yang melenceng dengan ajaran-ajaran syari'at Islam. Walaupun dengan kebencian ini, beliau akan mendapat gunjingan maupun celaan dari orang yang tidak menyukai apa yang dilakukan.

Setelah perjalanan panjang dalam pencarian pengetahuan agama ke berbagai daerah. Bertepatan dengan umur 23 tahun, beliau mulai ikut berpartisipasi mengajar di Pon-pes di daerah kelahirannya (Sarang). Santri-santri di sana sangat antusias ingin belajar kepadanya, dengan bukti pada waktu mengajar, tempat pengajian selalu penuh. Beliau mengaji meliputi kitab-kitab yang kecil, seperti Matan Taqrib, Jurumiyyah, Aqidatul Awam. Dan juga ada kitab-kitab yang besar seperti Jamiul Jawami', Tafsir Baidlowi, beserta kitab-kitab karya Imam Al-Mahalli.

Seluruh umur K.H. Zubair dicurahkan semuanya untuk mengajar ilmu-ilmu agama Islam. Dalam rutinitas tiap bulan Romadlon, beliau mbalah (membaca) Tafsir Jalalain. Prilaku ini merupakan kebiasaan tiap tahun. Menginjak umur yang makin sepuh (60 tahun), beliau lebih banyak membaca kitab-kitab di bidang tasawuf seperti kitab Minhajul 'Abidin, Kitab Hikam, dan Kitab Ihya' Ulumuddin yang menemani dan mengiringinya sampai beliau wafat.
Keluarga K.H. Zubair Dahlan
Pada usia 24 tahun, beliau menikah dengan putri sang paman (dari ibu), Mahmudah binti Kyai Ahmad bin Syua'ib. Dari pernikahan itu, beliau dikaruniai oleh Allah lima putra dan putri. Tapi, semuanya meninggal pada waktu masih kecil, kecuali satu yang masih hidup sampai sekarang, yaitu Syaikh K.H. Maimoen Zubair. Selang berapa tahun kemudian istri beliau meninggal. Tepatnya pada bulan Jumadil Akhir tahun 1358 H. Kemudian beliau menikah lagi dengan Aisyah binti Kyai Abdul Hadi dari keluarga Burna. Pada pernikahan kedua ini, beliau di karuniai lima putri, Halimah, Sai'dah, 'Afifah, Sholihah, Salamah, dan satu putra, yaitu K.H. Ma'ruf Zubair.

Karya-Karya K.H. Zubair Dahlan
Dalam kesibukannya setiap hari, KH. Zubair masih menyempatkan diri untuk mengarang beberapa kitab. Diantaranya, Kitab Manasik Haji, Nadlom Risalah As Samarqondiyah yang diberi nama Al-Qolaid Fi Tahqiqi Ma'na Isti'aroh, dan beberapa Nadloman mengenai Rumus-Rumus Fuqoha'. Beliau juga membuat beberapa Sya'ir mengenai etika, hisab dan lain sebagainya. Misalnya sya'ir dalam hal kesabaran dalam urusan rizqi:
لاَ تَعْجَلَنَّ فَلَيْسَ الرِّزْقُ بِالْعَجَلِ * اَلرِّزْقُ يَأْتِيْ بِلَا رَيْبٍ مَعَ الْأَجَلِ

فَلَوْ صَبَرْتُمْ لَكَانَ الرِّزْقُ يَأْتِيْكُمْ * لَكِنَّهُ خُلِقَ الْإِنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ
Artinya;
Janganlah kalian tergesa-gesa tentang urusan rizqi, Karena rizki tidak datang dengan tergesa-gesa tanpa keraguan.
Apabila kalian bersabar, niscaya rizqi akan mendatangi kalian. Tetapi manusia diciptakan dengan (bertabiat) tergesa-gesa. 

Pulang Ke Rahmatullah
Seperti keseharian yang dijalankan, yaitu mengajar ilmu-ilmu agama. Sehingga bertepatan dengan bulan Sya'ban, atas permintaan sebagaian santri, beliau meneruskan pembacaan kitab Ihya 'Ulumuddin juz ke-4. Kitab ini Alhamdulillah beliau khatamkan pada permulaan sepuluh hari terakhir pada bulan Sya'ban (21 sya'ban). Kemudian pada bulan Ramadlon, seperti rutinitas tiap bulan Ramadhan sebelumnya, beliau mbalah (membaca) kitab Tafsir Jalalain. Dan ini merupakan kitab terakhir yang dibaca sebelum wafat. Tiba-tiba pada tanggal 10 Romadlon beliau mengalami sakit panas. Sakit ini, makin lama semakin bertambah hingga akhir hayatnya. Ini bertepatan dengan terbenamnya sang surya pada malam Selasa setelah maghrib hari ke-15 bulan Ramadlon tahun 1389H, beliau wafat pada umur yang ke-65, hidup dengan sederhana dan meninggal dalam kesedarhanaan pula
(يعيش فقيرا ويموت فقيرا)
Semoga K.H. Zubair Dahlan mendapat rahmat dari Allah dan di tempatkan di surga Al-firdaus. Amin ya robbal 'alamin.
Read More >>

Biografi KH. Maimoen Zubair

Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu'aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian.

Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.

Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.

Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.

Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara' yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa'id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.

Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi'I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu'in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.

Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.

Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.

Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu'aib.

Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid 'Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.

Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk "ngangsu kaweruh" yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Belaiau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama' besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlowi (mertua beliau), serta KH. Ma'shum, keduanya tinggal di Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma'shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori.

Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.

Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil "jadi orang" karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.

Tiada harapan lain, semoga Allah melindungi Beliau demi kemaslahatan kita bersama di dunia dan akherat. Amin.
Read More >>