KH MUNTAHA AL-HAFIDH Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat

Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat

Kecintaan Allahuyarham Mbah Muntaha sapaan akrab KH. Muntaha Al-Hafizh Kalibebeber Wonosobo terhadap Al-Qur’an tak dapat diragukan lagi. Hampir seluruh usianya dihabiskan untuk menyebarkan dan menghidupkan Al-Qur’an.

Yang Paling monumental adalah gagasannya membuat mushaf Al-Qur’an Akbar (Al-Qur’an Raksasa) dengan tinggi 2 meter, lebar 3 meter dan berat 1 kuintal lebih. Sebuah karya mahaagung yang sempat dikala itu diusulkan masuk ke Guiness Book Of Record.

KH Muntaha al-Hafizh lahir di desa Kalibeber kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo dan wafat di RSU Tlogorejo Semarang, Rabu 29 Desember 2004 dalam usia 94 tahun. Ada beberapa keterangan berbeda tentang kapan tepatnya Mbah Muntaha Lahir.

Pertama, ada yang mengatakan Kiai Muntaha lahir pada tahun 1908. Kedua, ada pula yang menyatakan bahwa Kiai Muntaha lahir pada tahun 1912. Hal ini didasarkan pada dokumentasi pada KTP / Paspor dan surat-surat keterangan lainnya, Mbah Muntaha lahir pada tanggal 9 Juli 1912.

Ayahanda Kiai Muntaha adalah putra ketiga dari pasangan KH. Asy’ari dan Ny. Safinah. Sebelum Kiai Muntaha, telah lahir dua kakaknya, yakni Mustaqim dan Murtadho.

Sejak kecil hingga dewasa, Kiai Muntaha menimba banyak ilmu dari sejumlah Kiai Pesantren. Sebelum itu, Kiai Muntaha mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya, KH. Asy’ari dan Ny. Safinah.

Lahir dalam keluarga Pesantren, Kiai Muntaha banyak memperoleh didikan berharga dari Ayah dan Ibundanya seperti membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman. Kedua orang tuanya memang dikenal sangat telaten dan sabar dalam mendidikan putra-putrinya.


Selanjutnya dari Kalibeber, Kiai Muntaha memulai perjalanan menuntut ilmunya ke berbagai Pesantren di tanah air. Kiai Muntaha sebagaimana umunya santri dizaman itu berkenala untuk mencari ilmu dari Pesantren ke Pesantren berikutnya.

Ada satu hal sangat menarik berkaitdan dengan proses pencarian ilmu Kiai Muntaha saat masih muda. Ketika Kiai Muntaha berangkat menuntut ilmu ke Pesantren Kaliwungu, Pesantren Krapyak, dan Pesantren Termas, ia selalu menempuh perjalanan dengan cara berjalan kaki. Melakukan riyadhah demi mencari ilmu semacam itu dilakukan Kiai Muntaha dengan niatan ikhlas demi memperoleh keberkahan ilmu.

Di setiap melakukan perjalanan menuju Pesantren, Kiai Mutaha selalu memanfaatkan waktu sambil mengkhatamkan Al-Qur’an saat beristirahat untuk melepas lelah. Kisah ini menunjukkan kemauan keras dan motivasi spiritual yang tinggi yang dimiliki Kiai Muntaha dalam mencari ilmu.

Setelah berkenalan dari berbagai Pesantren, Kiai Muntaha kembali ke Kalibeber pada tahun 1950. Ia kemudian meneruskan kepemimpinan ayahnya dalam mengembangkan Al- Asy’ariyyah di desa kelahirannya, Kalibeber, Wonosobo.Di bawah kepemimpinan Mbah Muntaha inilah, Al-Asy’ariyyah berkembang pesat. Berbagai kemajuan signifikan terjadi masa ini.

Dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, KH. Muntaha adalah pribadi yang bersahaja. Mbah Muntaha sangat sayang kepada keluarga, santri dan juga para tetangga, serta masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.


Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat
Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an sebenarnya berawal dari kecintaan ayahandanya , Kiai Asy’ari terhadap Al-Qur’an. Dalam usia relatif muda yakni 16 tahun, Kiai Muntaha telah menjadi hafizh Al-Qur’an.

Hampir seluruh hidup Mbah Muntaha didedikasikan untuk mengamalkan dan mengajarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada para santrinya dan juga pada masyarakat umumnya.

Dalam kesehariannya, Mbah Muntaha selalu mengajar para santri yang menghafalkan Al-Qur’an. Para santri selalu tertib dan teratur satu per satu memberikan setoran hafalan kepada Kiai Muntaha. Mbah Muntaha selalu berjuang untuk menanamkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada santri-santrinya.

Sepanjang hidup Mbah Muntaha, Al Qur’an senantiasa menjadi pegangan utama dalam mengambil berbagai keputusan, sekaligus menjadi media bermunajat kepada Allah Swt. Mbah Muntaha tidak pernah mengisi waktu luang kecuali dengan Al-Qur’an.

Sering Kiai Muntaha mebaca wirid atau membaca ulang hafalan Al-Qur’an di pagi hari seraya berjemur. Menurutnya, wirid dan dzikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Itulah sebabnya, Kiai Muntaha menasehati para santri untuk mengkhatamkan Al-Qur’an paling tidak seminggu sekali.

Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an juga diwujudkan melalui pengkajian tafsir Al-Qur’an, dengan menulis tafsir maudhu’i atau tafsir tematik yang dikerjakan oleh sebuah tima yang diberi nama Tima Sembilan yang terdiri dari sembilan orang ustadz di Pesantren Al-Asy’ariyyah dan para dosen di Institut Ilmu Al-Qur’an (sekarang UNSIQ) Wonosobo. Gagasan Kiai Muntaha tentang penulisan tafsir ini mengandurng maksud untuk menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada masyarakat luas.


Dan puncak realisasi kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an ditunjukkan dengan perealisasian idenya tentang penulisan Al-Qur’an dalam ukuran raksasa yang sering disebut dengan Al-Qur’an akbar utuh 30 juz.

Al-Qur’an akbar itu ditulis oleh dua santri Al-Asy’ariyyah yang juga mahasiswa IIQ yaitu H. Hayatuddin dari Grobogan dan H. Abdul Malik dari Yogyakarta. Ketika penulisan Al-Qur’an akbar yang kertasnya merupakan bantuan dari Menteri Penerangan (H. Harmoko di kala itu) itu selesai, Al-Qur’an itu pun diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia di istana negara.

Mungkin Kiai Muntaha melihat banyak orang Islam telah meninggalkan Al-Qur’an, atau bahkan sama sekali tidak mau membaca Al-Qur’an, sehingga Mbah Muntaha tidak henti-hentinya menasehati anggota Hufadz wa Dirasatal Qur’an (YJHQ) untuk terus memasyarakatkan Al-Qur’an. Dakwah serupa juga selalu Mbah Muntaha sampaikan saat Beliau berkunjung ke berbagai belahan dunia seperti Turki, Yordania, Mesir dan lain sebagainya.


Dari hal-hal yang sudah disebutkan, menjadi jelas bahwa sosok dan pribadi Kiai Muntaha al-Hafidz adalah sosok sosok yang sangat mencintai Al-Qur’an secara fisik maupu nbatin. Seluruh hidupnya diperuntukkan untuk berdakwah menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an ke masyarakat.
Read More >>

Membaca Sholawat Kepada Nabi Muhammad

Oleh : KH Munawwir Abdul Fattah
Pengasuh Pesantren Krapyak, Yogyakarta 
Membaca Shalawat untuk Nabi Membaca shalawat adalah salah satu amalan yang disenangi orang-orang NU, disamping amalan-amalan lain semacam itu. Ada shalawat “Nariyah”, ada “Thibbi Qulub”. Ada shalawat “Tunjina”, dan masih banyak lagi. Belum lagi bacaan “hizib” dan “rawatib” yang tak terhitung banyaknya. Semua itu mendorong semangat keagamaan dan cita-cita kepada Rasulullah sekaligus ibadah.

Salah satu hadits yang membuat kita rajin membaca shalawat ialah: Rasulullah bersabda: Siapa membaca shalawat untukku, Allah akan membalasnya 10 kebaikan, diampuni 10 dosanya, dan ditambah 10 derajat baginya. Makanya, bagi orang-orang NU, setiap kegiatan keagamaan bisa disisipi bacaan shalawat dengan segala ragamnya.

Salah satu shalawat yang sangat popular ialah “Shalawat Badar”. Hampir setiap warga NU, dari anak kecil sampai kakek dan nenek, dapat dipastikan melantunkan shalawat Badar. Bahkan saking populernya, orang bukan NU pun ikut hafal karena pagi, siang, malam, acara dimana dan kapan saja “Shalawat Badar” selalu dilantunkan bersama-sama.

Shalawat yang satu ini, “shalawat Nariyah”, tidak kalah populernya di kalangan warga NU. Khususnya bila menghadapi problem hidup yang sulit dipecahkan maka tidak ada jalan lain selain mengembalikan persoalan pelik itu kepada Allah. Dan shalawat Nariyah adalah salah satu jalan mengadu kepada-Nya.

Salah satu shalawat lain yang mustajab ialah shalawat Tafrijiyah Qurtubiyah, yang disebut orang Maroko shalawat Nariyah karena jika mereka (umat Islam) mengharapkan apa yang dicita-citakan, atau ingin menolak apa yang tidak disuka, mereka berkumpul dalam satu majelis untuk membaca shalawat Nariyah ini sebanyak 4444 kali, tercapailah apa yang dikehendaki dengan cepat bi idznillah. Shalawat ini juga oleh para ahli yang tahu rahasia alam.

Imam Dainuri memberikan komentarnya: Siapa membaca shalawat ini sehabis shalat (fardlu) 11 kali digunakan sebagai wiridan maka rejekinya tidak akan putus, disamping mendapatkan pangkat/kedudukan dan tingkatan orang kaya. (Khaziyat al-Asrar, hlm 179)

Simak sabda Rasulullah SAW berikut ini:

وَأخْرَجَ ابْنُ مُنْذَة عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ الله عَنهُ أنّهُ قال قال َرسُوْلُ اللهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ: مَنْ صَلّى عَلَيَّ كُلّ يَوْمٍ مِئَة مَرّةٍ – وَفِيْ رِوَايَةٍ – مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي اليَوْمِ مِئَة مَرّةٍ قَضَى اللهُ لَهُ مِئَة حَجَّةٍ – سَبْعِيْنَ مِنْهَا في الأخِرَةِ وَثَلاثِيْنَ فِي الدُّنْيَا – إلى أنْ قال – وَرُوِيَ أن النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عليه وسلم قال : اكْثَرُوا مِنَ الصَّلاةِ عَلَيَّ فَإنّهَا تَحِلُّ اْلعَقْدَ وَتَفْرجُ الكُرَبَ – كَذَا فِيْ النزهَةِ

Hadits Ibnu Mundah dari Jabir, ia mengatakan: Rasulullah SAW bersabda: Siapa membaca shalawat kepadaku 100 kali maka Allah akan mengijabahi 100 kali hajatnya; 70 hajatnya di akhirat, dan 30 di dunia. Sampai kata-kata … dan hadits Rasulullah yang mengatakan: Perbanyaklah shalawat kepadaku karena dapat memecahkan masalah dan menghilangkan kesedihan. Demikian seperti tertuang dalam kitab an-Nuzhah.

Rasulullah di alam barzakh mendengar bacaan shalawat dan salam dan dia akan menjawabnya sesuai jawaban yang terkait dari salam dan shalawat tadi. Seperti tersebut dalam hadits. Rasulullah SAW bersabda: Hidupku, juga matiku, lebih baik dari kalian. Kalian membicarakan dan juga dibicarakan, amal-amal kalian disampaikan kepadaku; jika saya tahu amal itu baik, aku memuji Allah, tetapi kalau buruk aku mintakan ampun kepada Allah. (Hadits riwayat Al-hafizh Ismail Al-Qadhi, dalam bab shalawat ‘ala an-Nabi).

Imam Haitami dalam kitab Majma’ az-Zawaid meyakini bahwa hadits di atas adalah shahih. Hal ini jelas bahwa Rasulullah memintakan ampun umatnya (istighfar) di alam barzakh. Istighfar adalah doa, dan doa Rasul untuk umatnya pasti bermanfaat.

Ada lagi hadits lain. Rasulullah bersabda: Tidak seorang pun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah akan menyampaikan kepada ruhku sehingga aku bisa menjawab salam itu. (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah. Ada di kitab Imam an-Nawawi, dan sanadnya shahih)
Read More >>

Bujuk Batu Ampar Madura, Sejarah Waliyullah Sayyid Husein dan keturunannya

Di suatu desa di wilayah Bangkalan, tersebutlah seorang ulama bernama Sayyid Husein. Beliau mempunyai banyak pengikut karena ketinggian ilmunya. Selain akhlaknya yang berbudi luhur, beliau juga memiliki banyak karomah, karena kedekatannya dengan sang Khaliq.

Beliau sangat dihormati pengikutnya dan semua penduduk di sekitar Bangkalan. Namun bukan berarti beliau lepas dari orang yang benci, disebabkan iri hati akan kedudukan beliau di mata masyarakat saat itu. Hingga suatu hari salah seseorang dari mereka yang iri itu berniat mencelakai dan menghancurkan kedudukan Sayyid Husein. Orang itu merekayasa berita, bahwa Sayyid Husein bersama pengikutnya telah merencanakan pemberontakan dan ingin menggulingkan kekuasaan Raja Bangkalan.

Berita palsu ini akhirnya sampai ke telinga sang Raja. Mendengar berita itu Raja kalang-kabut dan tanpa pikir panjang mengutus panglima perang bersama sejumlah pasukan untuk menuju kediaman Sayyid Husein. Sayyid Husein yang saat itu sedang beristirahat langsung dikepung dan dibunuh secara kejam oleh tentara kerajaan, tanpa pikir panjang dan tanpa disertai bukti yang kuat. Sayyid yang tidak bersalah itu pun wafat seketika itu dan konon jenazahnya dimakamkan di perkampungan tersebut.

Selang beberapa hari dari wafatnya Sayyid Husein, Raja mendapat informasi yang sebenarnya, bahwa Sayyid Husein tidak bersalah. Ia menyesali keputusannya yang sama sekali tidak berdasar pada bukti-bukti kuat. Dia tidak tahu harus berbuat apa untuk menebus kesalahan tersebut, hingga berinisiatif memberi gelar kepada Sayyid Husein dengan sebutan Bujuk Banyu Sangkah (Buyut Banyu Sangkah).

Sayyid Husein wafat dengan meninggalkan dua orang putra. Yang pertama bernama Abdul Manan dan yang kedua bernama Abdul Rohim. Sejak kejadian yang menimpa Sayyid Husein, Abdul Rohim lari ke Desa Bire (masih dalam kawasan Kabupaten Bangkalan), dan menetap disana sampai akhir hayat beliau. Dan akhirnya beliau terkenal sebagai Bujuk Bire (Buyut Bire).

Sementara Abdul Manan, pergi mengasingkan diri, menjauh dari kekuasaan Raja Bangkalan. Hari demi hari dilaluinya dengan sengsara dan penuh penderitaan, hingga akhirnya sampai di sebuah hutan lebat di tengah perbukitan wilayah Batu Ampar (Kabupaten Pamekasan). Di hutan inilah beliau bertapa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pertapaan ini beliau lakukan di bawah Pohon Kosambi selama 41 tahun, sebelum akhirnya ditemukan anak seorang perempuan yang sedang mencari kayu dihutan. Karena itulah beliau dijuluki Bujuk Kosambih.

Singkat cerita Abdul Manan dibawa ke rumahnya, dan menikah dengan putri sulung yang menderita penyakit kulit. Aneh, pada hari ke-41 pernikahan mereka, si sulung sembuh dari penyakitnya. Bahkan kulitnya bertambah putih bersih dan cantik jelita, hingga kecantikannya tersiar kemana-mana.

Dari pernikahan ini, beliau dikarunia dua orang putra; pertama bernama Taqihul Muqadam, dan yang kedua adalah Basyaniah. Setelah bertahun-tahun berdakwah, beliau wafat dan dimakamkan di Batu Ampar dan terkenal dengan julukan Bujuk Kosambi.

Basyaniyah (Bujuk Tompeng) putra kedua Abdul Manan, mempunyai kesamaan sikap dengan ayahandanya. Beliau senang bertapa dan menjauhkan diri dari pergaulan masyarakat. Dalam bertapa, Basyaniyah memilih tempat di sebuah bukit yang terkenal dengan nama Gunung Tompeng. Bukit ini terletak kurang lebih 500 meter arah barat daya Batu Ampar.
Bujuk Tompeng wafat meninggalkan seorang putra yang bernama Su’adi, dan dimakamkan di dekat makam ayahadanya.

Su'adi yang terkenal dengan sebutan Syekh Abu Syamsudin dan mendapat julukan Bujuk Latthong putra tunggal Bujuk Tompeng, tidak berbeda dengan perjalanan hidup ayah dan kakeknya. Dia senang bertapa, menyendiri dan berpindah-pindah tempat. Salah satu tempat pertapaan beliau adalah sebuah hutan di dekat kampung Aeng Nyono’. Di sebuah bukit di kampung Aeng Nyono’ yang menjadi tempat pertapaan Syekh Syamsudin, hingga saat ini dapat kita lihat kejadian alam yang aneh berupa sumber air yang mengalir ke atas Bukit Pertapaan. Konon Syekh Syamsudin menancapkan tongkatnya ke tanah sampai akhirnya keluar air deras dan mengalir ke atas bukit, untuk dipergunakan untuk wudlu. Atas kejadian inilah kampung Aeng Nyono’ diberi nama. Aeng Nyono' dalam Bahasa Madura berarti air yang mengalir ke atas.

Asal usul Buju’ Latthong yang disandangkan kepada beliau, ialah karena karamah beliau berupa keluarnya sinar dari dada beliau. Apabila sinar itu dilihat oleh orang yang berdosa dan belum bertaubat, maka orang tersebut akan pingsan atau tewas. Untuk menutupi karamah itu, beliau menutupi dadanya dengan latthong (celethong / kotoran sapi)

Kisah lain menyebutkan bahwa seorang yang berjuluk Bujuk Sarabe yang suka berbuat jahat berniat menghabisi beliau. Ketika akan membunuh Syekh Abu Syamsudin, saat Bujuk Sarabe dan anak buahnya mencabut senjata, mendadak senjata itu lenyap dan tinggal kerangkanya saja. Setelah mengaku kalah dan memohon agar senjatanya dikembalikan, Syekh Syamsudin menunjukkan letak senjata tersebut yang berada dalam Latthong.
Bujuk Latthong wafat dengan meninggalkan tiga orang putra, yaitu Syekh Husein, Syekh Lukman dan Syekh Syamsudin. Beliau di makamkan di Batu Ampar.

Syeikh Husein sebagaimana para pendahulunya, senang menjalani laku tirakat. Beliau ini terkenal akan kecerdasan pikirannya. Beliau hafal Kitab Ihya Ulumuddin Imam Ghozaly. Masa pertapaan Syeikh Husein tidak selama para pendahulunya. Akibat perkembangan zaman, tempat tinggal beliau dan daerah sekitar telah menjadi ramai oleh para pendatang. Beliau pun banyak bergaul dan mendidik masyarakat tentang agama. Syeikh Husein adalah keturunan terakhir Sayyid Husein yang mempunyai kegemaran bertapa dan menjalankan laku tirakat. Keturunan sesudahnya cenderung untuk merantau dan mencari guru untuk menuntut ilmu.
Read More >>

Lelucon Wahabi dan NU

Nah, di bawah ini ada anekdot dari perdebatan antara  Wahabi VS NU. Ini memang murni lucu-lucuan, tapi walaupun sekedar humor, namun tetap memiliki kekuatan lebih dari sekedar humor biasa.

Selamat mengikuti anekdot ini, dan awas, jangan tegang terus, ah….?

Wahabi (WS): “Maulid dan tahlilan itu haram, dilarang di dalam agama.”

Nahdlatul Ulama (NU) : “Yang dilarang itu bid’ah, bukan Maulid atau tahlilan, bung!

WS : “Maulid dan tahlilan tidak ada dalilnya.”

NU : “Makanya jangan cari dalil sendiri, nggak bakal ketemu. Tanya dong sama guru, dan baca kitab ulama, pasti ketemu dalilnya.”

WS : “Maulid dan tahlilan tidak diperintah di dalam agama.”

NU : “Maulid dan tahlilan tidak dilarang di dalam agama.”

WS : “Tidak boleh memuji Nabi Saw. secara berlebihan.”

NU : “Hebat betul anda, sebab anda tahu batasnya dan tahu letak berlebihannya. Padahal, Allah saja tidak pernah membatasi pujian-Nya kepada Nabi Saw. dan tidak pernah melarang pujian yang berlebihan kepada beliau.”

WS : “Maulid dan tahlilan adalah sia-sia, tidak ada pahalanya.”

NU : “Sejak kapan anda berubah sikap seperti Tuhan, menentukan suatu amalan berpahala atau tidak, Allah saja tidak pernah bilang bahwa Maulid dan tahlilan itu sia-sia.”

WS : “Kita dilarang mengkultuskan Nabi Saw. sampai-sampai menganggapnya seperti Tuhan.”

NU : “Orang Islam paling bodoh pun tahu, bahwa Nabi Muhammad Saw. itu Nabi dan Rasul, bukan Tuhan.”

WS : “Ziarah ke makam wali itu haram, khawatir bisa membuat orang jadi musyrik.”

NU : “Makanya, jadi orang jangan khawatiran, hidup jadi susah, tahu.”

WS : “Mengirim hadiah pahala kepada orang meninggal itu percuma, tidak akan sampai.”

NU : “Kenapa tidak! kalau anda tidak percaya, silakan anda mati duluan, nanti saya kirimkan pahala al-Fatihah kepada anda.”

WS : “Maulid itu amalan mubazir. Daripada buat Maulid, lebih baik biayanya buat menyantuni anak yatim.”

NU : “Cuma orang pelit yang bilang bahwa memberi makan atau berinfak untuk pengajian itu mubazir. Sudah tidak menyumbang, mencela pula.”

WS : “Maulid dan tahlilan itu bid’ah, tidak ada di zaman Nabi saw.”

NU : “Terus terang, Muka anda juga bid’ah, karena tidak ada di zaman Nabi Saw.”

WS : “Semua bid’ah (hal baru yang diada-adakan) itu sesat, tidak ada bid’ah yang baik/hasanah.”

NU : “Saya ucapkan selamat menjadi orang sesat. Sebab Nabi Saw. tidak pernah memakai resleting, kemeja, motor, atau mobil seperti anda. Semua itu bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat.”

WS : “Kasihan, masyarakat banyak yang tersesat. Mereka melakukan amalan bid’ah yang berbau syirik.”

NU : “Sudah lah, kalau anda masih bodoh, belajarlah dulu, sampai anda bisa melihat jelas kebaikan di dalam amalan mereka.”

WS : “Saya menyesal dilahirkan oleh orang tua yang banyak melakukan bid’ah.”

NU : “Orang tua anda juga pasti sangat menyesal karena telah melahirkan anak durhaka yang sok pintar seperti anda.”

WS : “Para penceramah di acara Maulid, bisanya hanya mencaci maki dan memecah belah umat.”

NU : “Sebetulnya, para penceramah itu hanya mencaci maki orang seperti anda yang kerjanya menebar keresahan dan benih perpecahan di kalangan umat.”

WS : “Qunut Shubuh itu bid’ah, tidak ada dalilnya, haram hukumnya.”

NU : “Kasihan, rokok apa yang anda hisap? Setahu saya, di dalam iklan, merokok Star Mild hanya membuat orang terobsesi menjadi sutradara atau orator. Sedangkan anda sudah terobsesi menjadi ulama besar yang mengalahkan Imam Syafi’i yang mengamalkan qunut shubuh. Lebih Brasa, Brasa Lebih pinter gitu loh!”
Read More >>

Hubungan antara Pondok Pesantren Assunniyyah Kencong Jember dan Pondok Pesantren Al Anwar Sarang Rembang

Sekilas Pondok Pesantren Al Anwar.
Pesantren Sarang, adalah pesantren yang ada di Sarang. Entah bagaimana asbabul wurudnya, nama pesantren selalu lebih lekat dengan daerahnya ketimbang "nama resmi" lembaganya. Malah acap kali orang menyebutkan pesantren dengan nama Kyainya, misalnya Pondoke Mbah Maimun Sarang, atau Pondoke Mbah Kholil Rembang dan seterusnya. Sampai sekarang, orang lebih menyebut pondok Lirboyo, misalnya, karena berada di Lirboyo atau pondok Ploso, karena berada di Ploso. Tak berbeda pula dengan pondok Sarang.

Jika menilik letak geografisnya, tentu tidak ada yang menarik di sini. Kompleks Pesantren adalah tanah yang gersang, bangunannya juga tidak terlalu istimewa. Namun jangan salah sangka, Sarang adalah media semai bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dari rahim pondok Sarang, beriatus-ratus tokoh agama mengenyam "pahit-getirnya" memburu pengetahuan.

Tidak salah jika Sarang kemudian dibutuhkan masyarakat. Sekian ribu santri berjubel dan hilir mudik memburu tempat pengajian. Beribu-ribu mulut selalu komat-kamit menghapalkan materi pelajaran. Hari-hari di Sarang tidak akan pernah bisa dibatasi oleh putaran jarum jam.

Sebelum adzan Subuh berkumandang, lantunan ayat Qur'an sudah menyambutnya. Setelah jama'ah subuh, beberapa tempat mengaji sudah penuh. Sebentar setelah mentari muncul, ribuan santri bagai lebah berterbangan menuju madrasah. Sebagian lagi memenuhi ruang untuk muhadloroh.

Siang sampai sorepun tidak ada waktu yang kosong. Malam hari apalagi. Aktifitas para penghuni Sarang seperi tidak pernah memberi peluang waktu untuk berlalu percuma. Sarang benar-benar samudra ilmu yang tiada tepinya.

Pesantren tetaplah pesantren. Itu yang tidak bisa kita lupakan. Segala keunikan dan keanehan bisa kita saksikan di dalamnya. Tempat ini merupakan melting bowl bagi sekian banyak produk budaya yang melekat pada setiap santri. Sehingga interaksi dari sekian banyak santri selain menjadikan mereka akrab, juga menjadikan mereka menemukan kreativitas baru.

Anda bisa membayangkan misalnya, bagaimana orang "kulonan" yang biasa bersopan santun ketamu dengan orang "wetanan" yang lebih suka bloko suto. Anak petani yang berbudaya agraris harus hidup sekamar dengan anak pedagang yang biasanya lebih rasional. Dan tentu masih banyak lagi. Kekayaan tradisi yang ada tidaklah mati atau dimatikan, namun disinergikan kedalam sebentuk akulturasi yang kreatif. Sehingga muncul hibrida baru, hibrida khas pondok pesantren.

Anda lewat saat ada orang makan, pasti akan ditawari "Monggo, Kang. Ndogol..! Atau misalnya masuk warung, anda akan mendengar Es Jarang, mBolot atau misalnya anda bertingkah menyakitkan, pasti langsung "disambut" dengan Kake'ane..! Sambutan khas orang pesisiran. Jika berjalan ke timur Pondok, anda akan ketemu Warung Mak Lampir dan bila ke selatan, Anda akan tiba di Warung Kolera.

Itulah pondok Sarang, selain gudangnya istilah, ia menjadi gudangnya pengetahuan. Bagaima tidak, para santri tidak hanya mengaji dan menghapal kitab semata, bahkan juga menghapalkan kamus Arab, misalnya nadzam Ro'sun Sirah, Mafriqun Nyeng unyengan dst. Semua itulah yang bisa kita rasakan sehari-hari di pondok Sarang.

Tidak berlebihan kalau pondok Sarang selalu menempati ruangan tersendiri di hati para santri dan alumni. Segudang perasaan bercampur baur dibingkai rasa suka, kangen dan penasaran. Siapapun tentu akan terlintas tentang masa-masa nyantri di sana. Dan itulah yang menjadikan Sarang tidak cuma hidup di kenyataan sehari-hari, tapi juga selalu hidup di dalam hati.

Hubungan Emosional Assunniyyah Dengan Al Anwar
Tokoh Assunniyyah pertama yang mempunyai hubungan emosional dengan Al-Anwar ialah Sang Pendiri dan Pengasuh Awal PP. Assunniyyah, KH. Jauhari Zawawi. Beliau pernah menjadi menantu Mbah Ky. Masykur dan sempat mempunyai dua orang putera, walaupun keduanya meninggal saat berusia dini. Mbah Ky. Masykur adalah putra Mbah Tolo (Mbah Murtadlo), ulama yang mendatangkan Kitab Ihya' pertama kali ke tanah Sarang. Saat di Sarang KH. Jauhari Zawawi disamping membantu mengajar di pesantren mertuanya, beliau juga berguru kepada Mbah Mad (Ahmad Syuaib), Mbah Imam dan Mbah Zubair (Ayah kandung KH. Maimun Zubair).

Tokoh kedua ialah KH. A. Sadid Jauhari, putra kedua KH. Jauhari Zawawi. Beliau menghabiskan masa belajarnya di PP. Al-Anwar sebelum muqim di Mekah. Hubungan emosional Assunniyyah semakin kuat dengan adanya hubungan perkawinan antara KH. A. Sadid dengan Hj. Sholihah Zubair adik kandung KH. Maimun Zubair.

Semua putra dan putri KH. A. Sadid Jauhari kecuali Mas Shofiyur Rohman (masih kecil), pernah mengenyam pendidikan di PP. Al-Anwar. Putra KH. Sadid Jauhari yang kini masih belajar di Al-Anwar ialah Mas Hasyim. Menantu KH. Sadid Jauhari, KH. Sholahudin Munsif juga alumni Al-Anwar Sarang.

Tokoh yang lain ialah KH. Khoir Zad Maddah, putra KH. Maddah Zawawi, dan KH. Ahmad Laiq putra KH. Athoillah yang mana keduanya adalah adik kandung KH. Jauhari Zawawi. Gus Ya' (Sebutan Akrab KH. Khoir Zad) dan Gus Laiq menyelesaikan pendidikan terakhir mereka di Al-Anwar Sarang.

Putra-putra para masyayikh Assunniyyah yang mondok di Al-Anwar, selain di atas ialah Mas Robit (Alumni) dan Mas Iqbal. Keduanya putra Al-Marhum KH. A. Fahim Jauhari. Ahmad Layin dan adiknya, putra KH. A. Laiq Athoillah.

Bagi kebanyakan santri Assunniyyah, PP. Al-Anwar adalah tujuan utama meneruskan pendidikan setelah Assunniyyah. Dan hingga saat ini ada belasan alumni Assunniyyah yang masih belajar di Al-Anwar.
Read More >>

Mengenal Sifat Lahirah Batiniah

HAWA NAFSU berasal dan napas api neraka. Ketika napas itu berembus dari api, syahwat terbawa ke pintu neraka tempat perhiasan dan kesenangan berada, lalu ia mendatangi nafsu.

Ketika nafsu mendapatkan kesenangan dan perhiasan, ia bergolak akibat kesenangan dan perhiasan yang diletakkan di sisinya dalam wadah itu, dan ia berupa angin panas. Ia lalu mengalir dalam urat-urat, sehingga semua saluran darah terisi olehnya dalam waktu lebih cepat daripada kedipan mata.

Saluran darah mengaliri seluruh tubuh dan kepala hingga kaki. Jika angin itu sudah berembus di dalamnya, lalu jiwa manusia merasakan embusannya dalam tubuh, kemudian ia merasa nikmat dan senang dengannya, itulah yang disebut dengan syahwat dan kenikmatannya.

Apabila nafsu serta syahwat berikut kenikmatannya sudah menempati seluruh tubuh, syahwat menyerang hati. Apabila syahwat sudah demikian hebat, ia menguasai hati, sehingga hati tertawan, yakni takluk kepada syahwat. Selanjutnya, syahwat dapat memainkannya. Kekuatan hawa nafsu dan syahwat ada bersama jiwa dan bertempat dalam perut, sedangkan kekuatan makrifat, akal, ilmu, pemahaman, hafalan, dan pikiran berada di dada. Makrifat ditempatkan di kalbu, pemahaman di fu’ad, serta akal di pikiran, dan hafalan menyertainya.

Syahwat diberi sebuah pintu yang menghubungkan tempatnya ke dada, sehingga asap syahwat yang bersumber dari hawa nafsu bergolak sampai ke dada. Ia menyelubungi fu’ad dan kedua mata fu’ad berada dalam asap itu. Asap tersebut adalah kebodohan. Ia menghalangi mata fu’ad untuk melihat cahaya akal yang dipersiapkan baginya.

Demikian pula amarah ketika bergolak. Ia seperti awan yang menutupi mata fu’ad, sehingga akal pun tertutup. Akal bertempat di otak dan cahayanya memancar ke dada. Ketika awan amarah keluar dari rongga ke dada, ia memenuhi dada dan menyelubungi mata fu’ad.

Karena cahaya akal terhalang, sementara awan menutupi fu’ad, fu’ad orang kafir berada dalam gelapnya kekafiran. Itulah tutup yang Allah sebutkan dalam Al-Quran:

Mereka berkata, “Hati kami tertutup.” (QS Al-Baqarah : 2)
Tetapi, hati orang-orang kafir dalam kesesatan terhadap hal ini. (QS Al-Mu’minun : 63)

Adapun fu’ad mukmin berada dalam asap syahwat dan awan kesombongan. Inilah yang disebut kelalaian.

Dari kesombongan itulah amarah berasal. Kesombongan bertempat dalam jiwa. Ketika jiwa manusia menyadari penciptaan Allah atasnya, kesombongan berada di dalamnya. Inilah sifat lahiriah dan batiniah manusia.

Allah Swt. memilih dan memuliakan manusia yang bertauhid. Dan setiap seribu orang, satu orang dipilih, sementara sembilan ratus sembilan puluh sembilan lainnya tidak dipedulikan. Dia hanya memerhatikan satu dari setiap seribu manusia. Dia mendistribusikan bagian pada Hari Penetapan dan menolak orang yang Dia abaikan, sehingga mereka tidak mendapat bagian.

Ketika mengeluarkan keturunan \[manusia] lewat sulbi, Dia menjadikan mereka berbicara, Manusia yang diperhatikan Allah mengakui-Nya secara sukarela saat Allah berfirman, “Bukankah Aku Tuhan kalian?” (QS Al-A’raf:172). Orang yang tidak mendapat bagian dan tidak mendapat perhatian Allah menjawab, “Ya, Engkau Tuhan kami” dengan terpaksa.

Itulah makna firman Allah Swt.: “Seluruh yang terdapat di langit dan di bumi berserah diri kepada-Nya baik dengan sukarela maupun terpaksa.” (QS Al-Imran:83)

Dia menjadikan mereka dalam dua kelompok: kelompok kanan dan kelompok kiri.

Allah Swt. kemudian berfirman, “Sebagian mereka berada di surga dan Aku tidak peduli; Aku tidak peduli ampunan-Ku tercurah kepada mereka. Sebagian lagi berada di neraka dan Aku pun tidak peduli; Aku tidak peduli ke mana kembalinya mereka.”

Dia lalu mengembalikan mereka ke sulbi Nabi Adam as. Dia mengeluarkan mereka pada hari-hari dunia untuk (memberi mereka kesempatan) melakukan amal dan menegakkan hujah. Manusia yang telah dipilih dan dimuliakan Allah, kalbunya dicelup dalam air kasih sayang-Nya sampai bersih. Allah Swt. berfirman, “Itulah celupan Allah, dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada Allah?!” (QS Al-Baqarah:138)

Dia kemudian menghidupkannya dengan cahaya kehidupan setelah sebelumnya ia hanya berupa seonggok daging.

Ketika dihidupkan dengan cahaya kehidupan, ia pun bergerak dan membuka kedua mata di atas fu’dd. Ia lalu diberi-Nya petunjuk dengan cahaya-Nya yang tidak lain adalah cahaya tauhid dan cahaya akal. Ketika cahaya itu menetap di dadanya serta fu’ad dan kalbu merasa teguh dengannya, Ia pun mengenal Tuhan. Itulah maksud firman Allah Swt.: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian Dia kami hidupkan ...“ (QS Al-Baqarah:138). Yaitu, dihidupkan dengan cahaya kehidupan.

Allah Swt. kemudian berfirman, “Lalu, Kami berikan untuknya cahaya yang dengan itu ia berjalan di tengah-tengah man usia.” (QS Al-An’am : 122) Yakni, cahaya tauhid.

Dengan cahaya itu, kalbunya menghadapkannya kepada Allah, sehingga jiwa menjadi tenteram dan mengakui bahwa tiada Tuhan selain Dia. Ketika itulah lisan mengungkapkan ketenteraman jiwanya dan kesesuaiannya dengan kalbu berupa ucapan: “laa ilaaha illaa Allah (tiada Tuhan selain Allah).” Itulah makna firman Allah Swt.: “Tidaklah jiwa seseorang beriman kecuali dengan izin Allah” Yunuus dan firman-Nya: “Wahai jiwa yang tenteram.” (QS Al-Fajr : 27)

Kala jiwa sudah merasa tenteram saat melihat perhiasan karena akal menghiasi mata fu’ad dengan tauhid, saat melihatnya itu jiwa merasakan kenikmatan cinta Allah yang meresap dalam kalbu bersama cahaya tauhid. Saat melihat perhiasan, ia merasakan kenikmatan cinta dalam cahaya tauhid. Ketika itulah jiwa menjadi tenang dan senang kepada tauhid. Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Firman-Nya, menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman indah dalam kalbu kalian.”135

Kala jiwa mendapatkan perhiasan itu, ia membenci kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.

Ketika seorang mukmin berbuat dosa, Ìa melakukan itu dengan syahwat dan nafsunya, padahal ia membenci kefasikan dan kekufuran. Karena benci, ia berbuat fasik dan bermaksiat dalam kondisi lalai. Ia sebenarnya tidak bermaksud kepada kefasikan dan kemaksiatan seperti halnya iblis.

Kebencian itu tertanam dalam jiwa, namun syahwat menguasai jiwa. Kebencian itu ada, karena tauhid terdapat dalam dirinya. Hanya saja, kalbu dikalahkan oleh sesuatu yang merasukinya, akal terhijab, dada dipenuhi asap syahwat, dan nafsu menguasai kalbu.

Ini terjadi lantaran akal kalah, makrifat tersudut, dan pikiran buntu, sementara hafalan dan akal terkurung dalam otak. Jiwa melakukan dosa karena kekuatan syahwat, sementara musuh menghiasi, membangkitkan angan, mengiming-imingi ampunan, serta mempertunjukkan tobat, sehingga hati berani berbuat dosa.

www.sufinews.com
Read More >>

Air Kolam Yang Ada Ikannya Suci Apa Najis??

Oleh: DR. KH. Abdul Ghofur Maimoen

PERTANYAAN:
Assalamu'alaikum wr. wb.

Saya ingin menanyakan tentang suci atau tidaknya air di kolam ikan / aquarium kecil (ukuran pjg 80 cm x lbr 30 cm x tg 30 cm). Hal ini disebabkan anak kami sering bermain-main dengan air di kolam tersebut, yang juga banyak kotoran ikannya. Air kolam tersebut diganti setiap 3 bulan sekali.
Tolong juga dijelaskan tentang ukuran 1 qolah dalam ukuran meter.

JAWABAN:
Assalamu'alaikum wr. wb.

1. Air dianggap sedikit bila kurang dari dua kulah [qullah]. Dua kulah sama dengan kira-kira 270 liter. Sebagian ulama menghitungnya dengan kira-kira 10 blek dan sebagian lain 15 blek. Kalau diukur dengan luas dalam kolam persegi empat kira-kira sebagaimana berikut:

Panjang: 1 1/4 [satu seperempat] dzira'.
Lebar: 1 [satu] dzira'.
Dalam: 1 [satu] dzira'.

1 [satu] dzira' sama dengan 61,2 cm.

2. Menurut madzhab Malikiyah dan Hanabilah: Kotoran ikan tidak najis. Sementara menurut Syafi'iyah, kotoran ikan najis akan tetapi terutama di dalam air, di mana ikan itu hidup, hukumnya diampuni [ma'fuw 'anhu, tidak dapat mempengaruhi kenajisan airnya].

Jadi air kolam ikan saudara, dalam berbagai madzhab, tetap suci, walau banyak kotoran ikannya.
Read More >>

Syareat dan Tarekat itu Menyatu

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh puji syukur kepada Allah (Swt) atas nikmat, rahmat, taufik, dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad (saw), keluarga dan sahabatnya, dan semoga rahmat serta inayah-Nya tercurah kepada Habib Luthfi bin Yahya dan keluarga. Amin. Saya sering mendengar kata syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat; tetapi saya belum begitu paham apa arti semua itu. Tolong Habib jelaskan satu per satu. Bagaimanakah caranya jika saya berbaiat langsung kepada Habib, olehkan melalui surat, atau datang sendiri? Bolehkah seorang santri memiliki dua atau tiga guru tarekat? Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
M. Riyafiy, Pamiritan, BalapulangTegal, Jawa Tengah

Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Syariat, tarekat, dan hakikat itu tidak bisa dipisah-pisahkan. Bertarekat meninggalkan syariat, tidak benar. Karena, tarekat adalah buah syariat. Jadi, kalau bertarekat, tidak terlepas melalui pintunya dahulu, yaitu syariat. Syariatlah yang mengatur kehidupan kita, dengan menggunaka hukum, dart mulai akidah, keimanan, keislaman, sehingga kita beriman kepada Allah, malaikat, kltab Allah, Rasul, hari akhir, dan takdir baik dan buruk. Dan syariat pula mengetahui rukun Islam, yaitu dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Serta keutamaan shalat, juga hubungan antara manusia, seperti jual-bell, pernikahan, dan lainnya.

Setelah menjalankan syariat dengan balk, kita bertarekat, untuk menuju jalan kepada Allah dengan baik. Jadi, secara sederhana menuju jalan kepada Allah disebut tarekat Bertarekat perlu dlblmbing para mursyid, yang akan mengantar murid darl mengerti dan mengenal Allah sampai nanti "dikenal" Allah (swt), yakni dekat dan disayang oleh Dia (Swt). Amalan utama tarekat adalah berzikir.
Hanya, perlu dipahami, pengertlan tarekat tidak terbatas hal itu. Yang dltuntut oleh tarekat di jalan Allah adalah' perilaku para pengikut tarekat yang mulia. Terutama mem-bersihkan kotoran-kotoran yang ada dl dalam batin dan lahirnya, sehingga secara lahir dan batin kita bersih dalam menuju ke jalan Allah.

Sebagai contoh berwudu. Wudu adalah peraturan syariat, guna menjalankan shalat dan lain-lainnya. Biasanya kita hanya berwudu untuk mendapatkan keutamaan wudu, serta sebagai syarat untuk menjalankan shalat. Sedangkan tarekat menuntut buah wudu. Berapa kali kita membasuh muka ketika berwudu. Dan berapa kali kita membasuh tangan setiap hari untuk menjalankan ibadah. Coba kita aplikasikan dalam kehidupan kita, sosialisasikan untuk kehldupan kita masing-maslng. Kalau sudah sering membersihkan muka, kita harus leblh mengerti serta merendahkan hatl, malu kalau kita berlaku sombong.

Darl hasll wudu, kita cari buahnya yaitu lebih berakhlak, lebih rendah hati, lebih beradab, sehingga ada peningkatan dart hari ke hari. Itulah buahnya, sehingga kita semakin dekat kepada Allah. Sebab, justru di hadapan Allah, kita semakin menundukkan kepala. Karena semua itu adalah pemberian-Nya semata-mata. Kalau bukan karena pemberian-Nya (Swt), bagaimana bisa mengerti segala yang kita miliki ini.
Begitu juga, kita pun diberi pemahaman oleh Allah terhadap junjungan kita Nabi Muhammad (saw) atas limpahan rahmat kepadanya, sehingga kita menjadi pengikutnya yang setia. Untuk itulah kita selalu memuji I Rasulullah (saw) dengan tujuan supaya kita lebih dekat | kepada Rasulullah. Dengan begitu, sosok Rasulullah akan menjadi idola bagi kita dalam menapaki kehidupan Wngga akhir hayat.

Bertarekat akan memupuk sikap rendah hati kita kepada para Wali, ulama, guru-guru kita yang telah memberikan pemahaman tentang kebenaran ajaran syareat dan tarekat. Itu baru dari segi membersihkan muka secara lahiriah dan bathiniah, hal itu akan mencegah tangan kita dari berbuat maksiat. Kita akan selalu diperingatkan untuk tidak mengambil yang bukan milik kita apalagi melakukan korupsi, misalnya yang sangat merugikan rakyat. Sebab tangan kita sudah disucikan setiap hari. Kalau kita bisa mempelajari banyak hal dari wudu saja, insyaAllah masalah korupsi itu bisa terberantas. Lalu telinga kita yang digunakan untuk mendengarkan suatu yang baik. Kita tidak akan menyampaikan yang kita dengar kalau informasi itu justru akan memancing masalah atau memanaskan situasi, apalagi menimbulkan pecah belah dan kekacauan. Tentu saja, hal itu berlaku pula bagi mata kita, kedua kaki kita, dan anggota badan lainnya. Itulah hasil karya, hasil didikan, yang mendapatkan bimbingan dari Allah.

Mengapa kita harus berwudu ketika akan mendirlkan shalat? Berwudu tidak hanya membersihkan kotoran lahiriah kita, tetapi pada hakikatnya jugamembersihkan kotoran batinlah. Al-Qur'an menyebutkan bahwa shalat mencegah dari kemungkaran dan kerusakan, karena kita sudah memahami makna wudu dan shalat itu secara tarekat.
Bagi para murid yang ingin belajar tarekat, saya anjurkan, mulailah dari seorang guru yang dipercaya. Tapi sebaliknya, bagi guru yang ingin ditaati muridnya, cobalah didik para murid itu seperti timba yang mendekati sumurnya, bukan sumuryang mendekati timbanya.

Maka akan terbentuklah kewibawaan guru terhadap muridnya. Bagi murid, saya anjurkan untuk belajar hanya pada satu guru. Sebagai contoh mudahnya, kalau air teh dicampur susu lalu dicampur lagi dengan kopi atau lainnya, meskipun halal, apa jadinya? Bagaimana rasanya? Jadi kalau ingin minum teh, minum saja teh tanpa dicampur dengan lainnya. Nikmati minum teh dengan gula, kemudian cari manfaatnya bagi tubuh. Begitu juga kalau ingin minum kopi, susu, atau lainnya. Itu hanya sebagai perumpamaan. Jadi, kalau ingin belajar tarekat, jangan sekadar melihat organisasi itu besar Meski organisasi tarekat itu kecil, kalau lebih berpengaruh terhadap jiwa kita, sehingga iebih mendekatkan diri kepada Allah, tidak perlu ragu lagl untuk mengikutinya.

Read More >>

Tasawuf dan Peradaban Nusantara

Oleh KH. Muhammad Wafi MZ. Lc. MSi.
Bila mendengar kata tasawuf seketika yang terbayangkan dibenak penulis adalah sederet nama para Auliya’ Allah, mulai dari Ibnu Athoillah As-Sakandari, Syekh Abul Hasan As-Syadzili, Syekh Ahmad Ar-Rifa’I, Al-Imam Al-Ghozali dan masih banyak lagi nama-nama lain yang merupakan tokoh-tokoh tasawuf yang kita miliki. Disamping itu, penulis juga teringat akan beberapa judul buku yang mengupas tentang tasawuf, mulai dari yang Turots seperti Ihya’nya Al-Imam Al-Ghozali, Hikamnya Ibnu Athoillah dan risalahnya Al-Qusyairi, ataupun yang terbaru, seperti Syarh (kupasan) Hikam yang ditulis Dr. Said Romadlon Al-Buthi dan beberapa buku kecil karya beliau yang membahas tentang tasawuf.
Jika menelaah beberapa literatur yang membahas tentang tasawuf, yang sebagian telah penulis sebut diatas, maka akan banyak kita temukan definisi tentang tasawuf yang biasanya adalah merupakan ungkapan dari para pelaku taSAWuf itu sendiri. Hal ini terjadi karena memang tasawuf adalah thoriqohnya Arbab Al-Ahwal yakni thoriqohnya orang-orang yang berjalan menuju kepada Allah SWT (Salik), bukan thoriqohnya Ahl Al-Aqwal (orang yang menitik beratkan sesuatu pada ucapan). Dan para Salikin dalam melakukan aktifitas kesufiannya tidak hanya mendasarkan pada dalil-dalil yang tertulis (Naqliyyah) ataupun dalil-dalil yang rasional (Aqliyyah) saja, akan tetapi juga dalil yang berupa intuisi (Dzauq)[1]. Sedang antara Dzauq satu orang dan yang lain tentunya berbeda-beda, inilah salah satu penyebab terjadinya perbedaan dalam pendefinisian tasawuf diatas[2].
Kesulitan dalam memahami tasawuf seperti diatas tidak hanya terjadi pada pemaknaan tasawuf secara definitif, akan tetapi hal itu juga terjadi pada asal muasal kata tasawuf sendiri. Karena para Ulama yang mengkaji tentang tasawuf sendiri ada yang berpendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari bahasa arab, ada pula yang berpendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari bahasa ‘Ajam (bahasa selain bahasa arab). Sedang ulama yang berpendapat bahwa kata Tasawuf berasal dari bahasa arab pun juga berbeda pendapat, apakah Tasawuf adalah kata yang Musytaq (ada kata dasarnya) atau tidak? Dan yang mengatakan bahwa kata Tasawuf adalah kata yang Musytaq pun berbeda pendapat tentang kata dasar dari kata Tasawuf itu sendiri yang jika kita perhatikan, ternyata kita akan menemukan betapa banyak akar kata Tasawuf yang ditawarkan oleh para ulama[3].
Ya sudahlah, kita tidak usah terlalu pusing tentang hal-hal diatas. Karena pada dasarnya, tasawuf merupakan implementasi dari Al-Ihsan, yang disebutkan dalam sebuah hadis riwayat Sayyidina Umar RA, dan Tazkiyyah An-Nafs yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an Al-Karim[4].
Dalam hadis diatas Rosulullah SAW menempatkan Al-Ihsan pada posisi terakhir, yakni setelah Al-Iman dan Al-Islam. Hal ini memberi pengetian bagi kita, bahwa derajat Al-Ihsan, yang bisa juga disebut dengan tasawuf, dapat dicapai oleh seseorang jika ia telah beriman dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan islam secara sempurna. Karena Al-Ihsan merupakan perwujudan dari kuatnya Tauhid dalam hati seseorang. Sedang hakekat dari Tauhid, sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghozali, adalah jika seorang hamba melihat dan meyakini bahwa segala sesuatu yang di alam semesta ini dari Allah SWT[5]. Buah dari tauhid tersebut adalah Al-Ihsan yang berarti penyembahan seseorang terhadap Allah sekan-akan ia melihat Allah SAW atau ia dilihat oleh Allah SWT. Jadi, kesungguhan iman dan kesempurnaan islam seseorang merupakan syarat mutlak bagi seseorang yang ingin mencapai derajat Al-Ihsan atau tasawuf.
Termasuk hal yang wajib diimani oleh umat islam, lebih-lebih mereka yang ingin mencapai derajat Al-Ihsan atau paling tidak ingin menjadi seorang sufi, adalah Qadla dan Qadar, sebagaimana hal itu bisa kita lihat pada hadis riwayat sayyidina umar diatas. Akan tetapi banyak dari kalangan umat islam sendiri yang tidak beriman pada Qadla dan Qadar, bahkan sekarang ini hal itu muncul dari sebagian orang yang memposisikan dirinya sebagai seorang sufi. Mereka pun beranggapan bahwa percaya pada Qadla dan Qadar adalah biang dari kemunduran umat Islam saat ini, jika umat islam ingin maju maka mereka harus menanggalkan keimanan mereka terhadap Qadla dan Qadar. Benarkah statement tersebut? Atau malah sebaliknya yang benar? Dalam tulisan singkat ini penulis akan berusaha untuk mengurai benang kusut seputar Qadla dan Qadar.
Seputar Qadla Dan Qadar.
          Sebelum kita membahas lebih jauh, maka kita jawab dulu pertanyaan, Apa itu Qadla dan Qadar? Qadla adalah ilmu atau ketetapan Allah SWT berkenaan dengan seluruh makhluk-Nya, yang telah ditetapkan-Nya pada azal (sesuatu yang tak bermula), yang diantaranya adalah ketetapan Allah SWT berkenaan dengan semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik perbuatan yang Ikhtiyari (dari kehendak manusia sendiri) ataupun tidak. Adapun Qadar adalah terjadinya penciptaan sesuai dengan keputusan yang ditetapkan oleh Allah sebelumnya (Qadla). Dengan demikian, berarti Qadar merupakan implementasi dari Qadla.
          Setelah mengetahui definisi Qadla dan Qadar sebagaimana diatas, maka yang muncul dibenak penulis selanjutnya adalah sebuah pertanyaan baru, apa korelasi antara iman terhadap qadla dan qadar dan kemunduran yang dialami umat saat ini? Jika kita cermati dengan sungguh-sungguh, sebenarnya tidak ada korelasi sama sekali antara iman kepada qadla dan qadar dengan kemunduran umat islam saat ini, Bahkan keduanya pada ujung yang berbeda. Karena iman terhadap qadla dan qadar adalah bagian dari keyakinan kita terhadap Dzat dan sifat-sifat Allah SWT, sedang segala perbuatan dan tingkah laku manusia merupakan bentuk ketundukannya terhadap perintah dan larangan Allah SWT.
          Untuk membuktikan hal diatas coba saja kita perhatikan beberapa hal dibawah ini:
a.     Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk Imarah Al-Ardl (membangun, memberdayakan, mengolah dan mengembangkan potensi yang ada di bumi), baik secara materi ataupun peradaban. Hal tersebut bisa kita baca pada Q.S. Al-Hud: 6: “ dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya ”. Allah juga menyuruh agar kita memperhatikan bumi yang telah Dia jadikan “pelayan” bagi kita, untuk kemudian kita bisa menggali dan mengeluarkan semua potensi yang terkandung didalamnya. Coba kita perhatikan Q.S. Al-Mulk: 15: “ Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan ”. dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan perintah Allah SWT yang senada dengan perintah-perintah diatas. Yang sekarang perlu kita renungkan, apakah mungkin setelah Allah SWT memerintahkan kita untuk mengolah dan mengembangkan potensi bumi yang kita huni ini, lalu setelah itu Dia pun juga memerintahkan kita agar bermalas-malasan, dengan dalih bahwa konsekuensi dari iman terhadap qadla dan qadar adalah bermalas-malasan? Bukankah arti Taskhir Al-Ard (menjadikan bumi sebagai “pelayan” manusia) yang terdapat pada firman Allah Q.S. luqman: 20: “ Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan ”, adalah dengan mengerahkan semua daya dan upaya yang kita miliki? Atau malah sebaliknya, yakni dengan santai-santai, tidur-tiduran dan bermalas-malas? Tentu kita sudah tahu jawaban dari pertanyaan diatas.
b.       Kalau kita membaca Sirah atau perjalanan hidup dan perjuangan para As-Salaf As-Sholih, seperti para sahabat Nabi Muhammad SAW, Tabi’in dan Tabi’ At-Tabi’in, maka kita akan melihat bahwa mereka hidup dalam kesejahteraan baik secara lahiriah maupun bathiniah, dan hal itu tidak bisa dipungkiri oleh siapapun kecuali orang-orang yang memang tidak bisa melihat terangnya sinar matahari di siang bolong. Para sahabat adalah orang-orang yang paling sah untuk kita jadikan tauladan dalam berbagai aspek kehidupan, mereka telah berhasil merajut kebangkitan ilmiah, budaya, ekonomi, militer dan banyak yag lainnya, padahal sebelumnya mereka hanya bangsa arab yang Ummi, hidup di padang pasir yang gersang dan tidak punya nilai dihadapan bangsa-bangsa lain. Yang mengganjal dibenak penulis sekarang adalah sebuah pertanyaan besar, apakah kesejahteraan yang diperoleh oleh para para sahabat itu adalah merupakan hasil dari tidak iman mereka terhadap qadla dan qadar? Tentunya, bagi orang-orang yang menganggap iman terhadap qadla dan qadar sebagai biang dari kemunduran dan kekalahan umat islam saat ini harus menjawab “iya” pertanyaan penulis diatas. Karena hal itu adalah konsekuensi secara logis dari keyakinan mereka. Akan tetapi hal itu terbantahkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam muslim dalam buku shohihnya. Alkisah, ketika Ma’bad Al-Juhani, orang pertama yang menafikan adanya qadar Allah, muncul di kota Bashrah ada dua orang yang sedang melaksanakan ibadah haji sowan kepada sahabat Nabi Adullah bin Umar RA untuk menanyakan perihal Ma’bad Al-Juhani tersebut. Lalu jawaban Ibnu umar adalah: “ jika engkau bertemu dengan mereka maka kabarkanlah bahwa aku lepas dari apa yang mereka yakini dan mereka juga terlepas dari apa yang aku yakini, andaikan salah satu dari mereka memiliki emas sebesar gunung uhud dan kemudian mereka infaqkan niscaya allah tidak akan menerima amal mereka tersebut selagi mereka tidak beriman terhadap qadar [6]. Kemudian beliau menyitir hadis riwayat sayyidina umar tentang iman, islam, dan ihsan diatas. Ungkapan sahabat Ibnu Umar diatas memberi ketegasan kepada kita bahwa para sahabat pun beriman terhadap qadla dan qadar, dan serta merta juga membantah logika bahwa kemajuan yang mereka peroleh didorong oleh sebuah pengingkaran terhadap qadla dan qadar.
Dari dua poin yang sudah penulis sebutkan diatas, tentu sekarang kita bisa yakin bahwa kemunduran umat Islam saat ini bukan disebabkan keimanan mereka terhadap qadla dan qadar. Bahkan malah sebaliknya, keimanan mereka terhadap qadla dan qadarlah yang mendorong mereka untuk menjadi bangsa yang berperadaban tinggi. Bagaimana logikanya? Jika sebuah bangsa telah mempunyai iman yang kuat terhadap Allah SWT, dan bahkan iman tersebut tidak hanya sebatas Taqlid tapi sudah mencapai taraf cinta, mengagungkan, memuliakan, hanya bergantung pada Allah SWT saja dan meyakini seyakin-yakinnya bahwa hanya Allah lah sumber dari segala kekuatan yang ada, maka ia akan bertambah tunduk setunduk-tunduknya terhadap semua perintah-perintah Allah SWT. Dan termasuk dari perintah Allah SWT adalah agar manusia membangun dan memberdayakan bumi dan segala isinya sesuai dengan amanat yang telah Allah bebankan kepada kita sebagai Kholifah.
 Coba saja perhatikan sebegitu banyak makam para sahabat yang tersebar dimana-mana, kira-kira apa yang mendorong mereka untuk melakukan perjalanan begitu jauh bahkan sampai bermil-mil dalam rangka Jihad Fi Sabilillah dan menyebarkan agama Islam? padahal waktu itu belum ada pesawat terbang, kereta api, mobil dan alat tranportasi yang lain. Tidak lain semua itu adalah karena kuatnya iman dalam hati mereka yang membuahkan ketundukan total seorang hamba dihadapan Rabb-nya. Andai yang mereka jadikan pijakan adalah kekuatan mereka sendiri, tentu islam tidak akan tersebar sebegitu luasnya, karena logika manusia tidak akan bisa mencerna dan menerima. Bayangkan saja, tiga ribu pasukan perang umat islam melawan seratus lima puluh ribu pasukan romawi, tapi apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Rowahah selaku panglima perang ” wahai kaumku, sebenarnya sesuatu yang kalian benci adalah sesuatu yang kalian keluar perang karenanya pula. Kalian keluar karena mencari syahadah, jadi kita tidak berperang dengan kekuatan penuh ataupun dengan peralatan yang banyak dan lengkap, akan tetapi kita dengan agama yang Allah telah memuliakan kita dengan agama tersebut, yakni Islam. Sungguh yang kita cari adalah salah satu dari dua kebaikan; kemenangan atau mati syahid ”.
Iman sebuah bangsa terhadap qadla dan qadar akan mengangkat mereka dari jurang kehinaan, keimanan tersebut mendidik mereka menjadi orang yang mulia, kuat dan percaya diri karena selalu menyandarkan semua langkahnya hanya pada Allah SWT semata, tidak yang lain. Disinilah akan benar-benar terealisasi sabda baginda Nabi Muhammad SAW:” orang mu’min yang kuat itu lebih baik dan dicintai allah dari pada yang lemah, akan tetapi keduanya baik semuanya[7].
Walhasil, Jika kita ingin maju dan menjadi pemimpin dunia, maka marilah kita berkaca dan meneladani As-Salaf As-Sholih, bagaimana mereka bisa mencapai kemuliaan tersebut, bukankah begitu?


[1] Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali (tt), Al-Munqidz Min Al-Dholal, h.h.69-71. Tuban: Mathba’ah Al-Balagh.
[2] Abu Muhammad Rohimuddin Nawawi Al-Bantani (2003), Madkhol Ila Al-Tashowwuf Al-Shohih Al-Islami, h.73. Kairo: Dar El-Fikr.
[3] Ibid.
[4] Penggalan Hadis diatas adalah sebagai berikut:  أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك . Abu Al-Husain Muslim Bin Al-Hajjaj Bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi (2000), Shohih Muslim, h.31, No Hadis:1. Beirut: Dar El-Fikr.

[5] Muhammad Bin Muhammad Al-Ghozali (tt), Ihya’ Ulumiddin, . h. 33. Semarang: Toha Putra
[6] Muslim Bin Al-Hajjaj Bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi. Op.Cit.
[7] Ibid h. 1311, No Hadis: 6669.
Read More >>

Wali Songo : Sunan Derajat

Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang
Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.

Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan agama islam di desa Drajad sebagai tanah perdikan dikecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari surabaya maupun Tuban lewat Jalan Dandeles ( Anyer - Panarukan ), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaran pribadi

Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.


Wewarah pengentasan kemiskinan Sunan Drajat kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai berikut :


1.Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo (didalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu - nafsu)
5.Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan mem­peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir bathin hanya bisa kita capai dengan sholat lima waktu)
7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masya­rakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita).

Empat pokok ajaran dari Sunan Drajad~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Satu hal yang sangat menarik perhatian saya adalah materi dakwah yang disampaikan oleh Sunan Drajad. Dalam setiap dakwahnya beliau menyampaikan empat pokok ajarannya yang sangat terkenal di masyarakat. Empat pokok ajaran inilah yang menjadi substansi dakwah dari Sunan Drajad. Empat pokok ajaran dari Sunan Drajad adalah :

1. Menehono teken marang wong wuto
2. Menehono mangan marang wong kan luwe
3. Menehono busono marang kang mudo
4. Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Kurang lebih demikian artinya :
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan

Sekilas kalau kita perhatikan dari 4 pokok ajaran yang disampaikan Sunan Drajad tersebut nampaknya tidak ada yang istimewa. Namun kalau kita kaji lebih dalam lagi ternyata ada makna tersirat yang terkandung dalam 4 pokok ajaran tersebut. Dan ternyata 4 pokok ajaran ini sangat supel dan luwes, siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bahkan 4 pokok ajaran tersebut tampaknya masih sangat relevan untuk diamalkan dalam kondisi kekinian. Makna tersirat dari 4 pokok ajaran tersebut adalah :

Berilah petunjuk kepada orang yang bodoh.
Dalam konteks kekinian tentu saja dapat pula dimaknai bahwa kualitas pendidikan harus terus ditingkatkan, karena pendidikan memegang peranan yang sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Dengan pendidikan yang berkualitas akan semakin banyak mencetak generasi penerus yang siap hidup dan bersaing di era globalisasi ini

Sejahterakanlah kehidupan orang yang miskin (kurang makan)
Program pengentasan kemiskinan harus dijadikan prioritas utama oleh pemegang kekuasaan bangsa ini. Berbagai upaya harus senantiasakan dilakukan demi terciptanya pemerataan hidup. Sehingga tidak akan terdengar lagi slogan “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”

Ajarkanlah budi pekerti (akhlak) kepada orang yang tidak punya malu atau belum beradab.
Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan dari budi pekerti bangsa itu, jika dekadensi moral menjadi wabah yang menjalar pada bangsa tersebut, maka tunggu saja saat kehancurannya. Untuk itu perlu adanya penanganan yang sangat serius dalam pembelajaran budi pekerti di dalam masyarakat. Tentu peran pemerintah sangat dominan untuk merealiasasikan hal ini.

Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana
Dalam konteks kekinian perwujudan ajaran ini sangat dibutuhkan, apalagi saat ini bangsa kita sedang di landa berbagai macam musibah, baik gempa bumi, banjir, longsor, lumpur lapindo, kecelakaan pesawat, kebakaran dan lain-lain. Penanggulangan bencana tentunya bukan hanya pada aspek fisik saja, tapi yang lebih penting tentu pada aspek psikis dan rohani.

Jika 4 pokok ajaran tersebut benar-benar dilaksanakan oleh segenap lapisan masyarakat pada bangsa ini, insya Allah tujuan negeri ini menciptakan masyakat yang adil makmur akan benar-benar terwujud, bukan hanya menjadi slogan yang tak kunjung ada eksistensinya
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda

Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.

Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.

Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.

Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.

Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.

Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.

Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.

Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.

Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.

Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.

Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.

Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.

”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.

Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.

Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.

Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ”saling memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.

Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.

Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.

Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya

== Dari berbagai sumber
Read More >>

Wali Songo : Sunan Bonang

Sunan Bonang
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makhdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi ada pula yang berkata bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu Ario Tejo.
Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa ,tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.

Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin . Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang besar , maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin . Disebutkan dari berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang ,yaitu Negeri Pasai . Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai .Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir , Arab dan Persi atau Iran. Sesudah belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang keJawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri .

Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah diTuban. Dalam berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang.Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya . Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu ditelinga penduduk setempat . Lebih –lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya . Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya . Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang – tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.

Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran.Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam.Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.

Diantara tembang yang terkenal ialah :

“Tamba ati iku sak warnane,
Maca Qur’an angen-angen sak maknane,
Kaping pindho shalat sunah lakonona,
Kaping telu wong kang saleh kancanana,
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe,
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe,
Sopo wongé bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyemba dani.
Artinya :
Obat sakit jiwa ( hati ) itu ada lima jenisnya.
Pertama membaca Al-Qur’an dengan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ),
Ketiga sering bersahabat dengan orang saleh ( berilmu ),
Keempat harus sering berprihatin ( berpuasa ),
Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah Tuhan Allah mengabulkan.
Hingga sekarang lagi ini sering dilantunkan para santri ketika hendak shalat jama’ah, baik di pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk .Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda . (Nederland )
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak. Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang memuaskan banyak orang, melalui sidang-sidang ''pengadilan'' yang dipimpinnya. Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi ''pengadilan'' itu sendiri punya dua versi.
 
Satu versi mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak. Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan Raden Patah. Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama: tasawuf, ussuludin, dan fikih. Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting karena menunjukkan bagaimana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah. Para penganut Islam harus menjalankan, misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh utama: dunia, hawa nafsu, dan setan. Untuk menghindari ketiga ''musuh'' itu, manusia dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah Wali Songo yang relatif lebih lengkap. Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.

Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya mempergunakan tambang dan gending. Dharma dan irama Mocopa,t Begitu gending ditabuh Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu bergerak, seluruh persendian mereka seperti dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka melaksanakan niat jahatnya.

“Ampun ………. hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat !” Demikian rintih Kebondanu dan anak buahnya.
“Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati kalian tidak buruk dan jahat.”
“Ya, kami menyerah, kami tobat !Kami tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi, tapi ………. “ Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
“Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !” ujar Sunan Bonang.
“Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya,” kata Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.”
“Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penerima tobat.”
“Walau dosa kami setinggi gunung ?” Tanya Kebondanu.
“Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir dilaut.”

Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian pula anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar ke Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat tentang masalah keagamaan dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju Tuban, perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai mereka melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.

“Saya datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang.”kata sang Brahmana.
“Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?” tanya lelaki itu .
“Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan ,kata sang Brahmana .”Tapi sayang kitab –kitab yang saya bawa telah tenggelam kedasar laut .”

Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap dipasir ,mendadak tersemburlah air dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.

“Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam kedasar laut?”Tanya lelaki itu.

Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.

“Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?”tanya sang Brahmana
“Tuan berada dipantai Tuban !”jawab lelaki itu .Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut dihadapan lelaki itu .Mereka sudah dapat mendiga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.

Siapalagi orang sakti berilmu tinggi yang berada dikota Tuban selain Sunan Bonang .Sang Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masalah keagamaan, malah kemudian ia berguru kepada Sunan Bonang dan menjadi pengikut Sunan Bonang yang setia.

Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban tidak mau terima. Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ''mencuri'' jenazah sang Sunan. Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.

Adalagi legenda aneh tentang Sunan Bonang .
Sewaktu beliau wafat, jenasahnya hendak dibawa ke Surabaya untuk dimakamkan disamping Sunan Ampel yaitu ayahandanya .Tetapi kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu disebelah barat Masjid Jami ’Tuban.
Read More >>