Manfaat Sholat Tepat Pada Waktunya dan Akibat Bila Meninggalkan Sholat

Setiap peralihan waktu solat sebenarnya menunjukkan perubahan tenaga alam ini yang boleh diukur dan dicerap melalui perubahan warna alam.fenomena perubahan warna alam adalah sesuatu yang tidak asing bagi mereka yang terlibat dalam bidang fotografi,…Bagaimana pula dari kacamata Islam

Waktu Subuh
Sebagai contoh, pada waktu Subuh alam berada dalam spektrum warna biru muda yang bersamaan dengan frekuensi tiroid yang mempengaruhi sistem metabolisma tubuh.
Jadi warna biru muda atau waktu Subuh mempunyai rahsia berkaitan dengan penawar/rezeki dan komunikasi.
Mereka yang kerap tertinggal waktu Subuhnya ataupun terlewat secara berulang-ulang kali, lama kelamaan akan menghadapi masalah komunikasi dan rezeki.
Ini kerana tenaga alam iaitu biru muda tidak dapat diserap oleh tiroid yang mesti berlaku dalam keadaan roh dan jasad bercantum (keserentakan ruang dan masa) - dalam erti kata lain jaga daripada tidur.
Di sini juga dapat kita cungkil akan rahsia diperintahkan solat di awal waktu.
Bermulanya saja azan Subuh, tenaga alam pada waktu itu berada pada tahap optimum.
Tenaga inilah yang akan diserap oleh tubuh melalui konsep resonan pada waktu rukuk dan sujud.
Jadi mereka yang terlewat Subuhnya sebenar sudah mendapat tenaga yang tidak optimum lagi.
Waktu Dzuhor
Warna alam seterusnya berubah ke warna hijau (Isyraq & Dhuha) dan kemudian warna kuning menandakan masuknya waktu Zohor.
Spektrum warna pada waktu ini bersamaan dengan frekuensi perut dan hati yang berkaitan dengan sistem penghadaman.
Warna kuning ini mempunyai rahsia yang berkaitan dengan keceriaan.
Jadi mereka yang selalu ketinggalan atau terlewat Zuhurnya berulang-ulang kali dalam hidupnya akan menghadapi masalah di perut dan hilang sifat cerianya. Orang yang tengah sakit perut ceria tak?
Waktu Asar
Kemudian warna alam akan berubah kepada warna oren, iaitu masuknya waktu Asar di mana spektrum warna pada waktu ini bersamaan dengan frekuensi prostat, uterus, ovari dan testis yang merangkumi sistem reproduktif.
Rahsia warna oren ialah kreativiti.
Orang yang kerap tertinggal Asar akan hilang daya kreativitinya dan lebih malang lagi kalau di waktu Asar ni jasad dan roh seseorang ini terpisah (tidur la tu).
Dan jangan lupa, tenaga pada waktu Asar ni amat diperlukan oleh organ-organ reproduktif kita.


Waktu Magrib
Menjelang waktu Maghrib, alam berubah ke warna merah dan di waktu ini kita kerap dinasihatkan oleh orang-orang tua agar tidak berada di luar rumah.
Ini kerana spektrum warna pada waktu ini menghampiri frekuensi jin dan iblis (infra-red) dan ini bermakna jin dan iblis pada waktu ini amat bertenaga kerana mereka resonan dengan alam.]
Mereka yang sedang dalam perjalanan juga seelok-eloknya berhenti dahulu pada waktu ini (solat Maghrib dulu la) kerana banyak interferens (pembelauan) berlaku pada waktu ini yang boleh mengelirukan mata kita.
Rahsia waktu Maghrib atau warna merah ialah keyakinan, pada frekuensi otot, saraf dan tulang.
Waktu Isyak
Apabila masuk waktu Isyak, alam berubah ke warna Indigo dan seterusnya memasuki fasa Kegelapan.
Waktu Isyak ini menyimpan rahsia ketenteraman dan kedamaian di mana frekuensinya bersamaan dengan sistem kawalan otak.
Mereka yang kerap ketinggalan Isyaknya akan selalu berada dalam kegelisahan.
Alam sekarang berada dalam Kegelapan dan sebetulnya, inilah waktu tidur dalam Islam.
Tidur pada waktu ini dipanggil tidur delta di mana keseluruhan sistem tubuh berada dalam kerehatan.
Qiamullail
Selepas tengah malam, alam mula bersinar kembali dengan warna putih, merah jambu dan seterusnya ungu di mana ianya bersamaan dengan frekuensi kelenjar pineal, pituitari, talamus dan hipotalamus.
Tubuh sepatutnya bangkit kembali pada waktu ini dan dalam Islam waktu ini dipanggil Qiamullail.
Begitulah secara ringkas perkaitan waktu solat dengan warna alam.
Manusia kini sememangnya telah sedar akan kepentingan tenaga alam ini dan inilah faktor adanya bermacam-macam kaedah meditasi yang dicipta seperti taichi, qi-gong dan sebagainya.
Semuanya dicipta untuk menyerap tenaga-tenaga alam ke sistem tubuh.
Kita sebagai umat Islam sepatutnya bersyukur kerana telah di’kurniakan’ syariat solat oleh Allah s.w.t tanpa perlu kita memikirkan bagaimana hendak menyerap tenaga alam ini.
Hakikat ini seharusnya menginsafkan kita bahawa Allah s.w.t mewajibkan solat ke atas hamba-Nya atas sifat pengasih dan penyayang-Nya sebagai pencipta kerana Dia tahu hamba-Nya ini amat-amat memerlukan-Nya.
Adalah amat malang sekali bagi kumpulan manusia yang amat cuai dalam menjaga solatnya tapi amat berdisiplin dalam menghadiri kelas taichinya.
Wallahualam.

Read More >>

Para ulama wajib bentengi umat dari liberalisasi dan sekularisasi

KH. Muh. Najih Maimoen : “Para ulama wajib bentengi umat dari liberalisasi dan sekularisasi”


Islam merupakan agama universal, ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia yang berlaku di setiap tempat dan masa. Universalisme Islam terintegrasi dan terkodifikasi dalam akidah, syariah, dan akhlak.
“Antara satu dan yang lainnya terdapat nisbat atau hubungan yang saling berkaitan dan kesem...uanya berfokus dan menuju pada ke-Esaan Allah atau bertauhid. Ajaran tauhid inilah yang menjadi inti, awal, dan akhir dari seluruh ajaran Islam,” jelas KH. Muh. Najih Maimoen. Putra kedua KH. Maimoen Zubair pengasuh PP. Al-Anwar Rembang ini berbicara pada acara Dauroh Ilmiah Hai’ah as-Shofwah di PP. Ihya’ussunnah, Rejoso, Pasuruan, Jatim, 23-25 Desember 2011.

KH. Najih Maimoen menyayangkan, tantangan dan hambatan justru bukan hanya datang dari musuh-musuh Islam, Zionis-Barat, tapi juga datang dari kaum muslimin sendiri. “Sungguh fenomena yang sangat menyedihkan umat Islam dihadapkan dengan berbagai pemurtadan, dengan berbagai macam konspirasi jahat Zionis Internasional dalam upaya perang pemikiran (ghozwul fikri) dalam rangka mendangkalkan aqidah untuk menjauhkan umat Islam dari Allah dan Rasul-Nya,” lanjutnya.

Pengasuh PP. Al-Anwar Rembang ini juga menyoroti fenomena liberalisme dan sekularisme yang melibatkan orang-orang Muslim yang bekerja dan menjadi antek Zionis-Barat; yang dijuluki sebagai intelektual muslim, tokoh masyarakat, bahkan kiai. “na'udzubillah min dzalik,” kata KH. Najih Maimoen prihatin.
Secara detail KH. Najih Maimoen menguraikan bahwa sekulerisme sebagai akar liberalisme masuk secara paksa ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekuler telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama.
“Prinsip sekuler dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politik, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, KH. Najih Maimoen menengarai bahwa berbagai bentuk pemikiran liberal sangat potensial untuk dapat tumbuh subur di Indonesia, baik liberalisme di bidang politik, ekonomi, atau pun agama.

Ditegaskan oleh beliau, dalam bidang ekonomi, liberalisme ini mewujud dalam bentuk sistem kapitalisme (economic liberalism), yaitu sebuah organisasi ekonomi yang bercirikan adanya kepemilikan pribadi (private ownership), perekonomian pasar (market economy), persaingan (competition), dan motif mencari untung (profit). 
Dalam bidang politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi liberal yang meniscayakan pemisahan agama dari negara sebagai titik tolak pandangannya dan selalu mengagungkan kebebasan individu. 
“Dalam bidang agama, liberalisme mewujud dalam modernisme, yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah nilai-nilai peradaban Barat,” jelasnya.

KH. Najih Maimoen menghimbau agar hal-hal seperti ini perlu mendapat perhatian yang sangat serius dari kalangan Muslim. Sebab, dampaknya akan dapat dilihat pada sekitar 10-20 tahun mendatang. Kita akan melihat, bagaimana akhir pertarungan pemikiran ini pada masa-masa itu. Apa yang akan terjadi? Dan apakah upaya dekonstruksi bangunan Islam ini akan berhasil? “Para ulama wajib bentengi umat dari liberalisasi dan sekularisasi,” tandasnya.
Read More >>

Romantisme Dunia

Berbicara perihal dunia, sepertinya kita akan agak kesulitan untuk menemukan titik akhirnya. Persis sebagaimana kita kalau membahas tentang cinta, tahta, harta bahkan wanita.

Boleh dikata selama lidah manusia masih basah, mereka tidak akan berhenti membahasnya. Hal ini memang tidak terlepas dari banyaknya komentar tentang dunia itu sendiri. Coba kita hitung berapa banyak ayat Alloh yang menjelaskan dunia, juga tidak sedikit hadits dan pendapat para Alim berkaitan alam fana. Namun yang perlu kita garis bawahi dari kesemuanya adalah kesimpulan yang mengarah pada satu muara yaitu: “Dunia pada hakekatnya sama sekali tidak berharga”.

Terlepas dari firman Alloh dan hadits Nabi serta berbagai pendapat kalangan Ulama, kalau kita menganalisa dunia dari sisi lafdhiyah tekait maknanya, maka kita juga akan menemukan kesimpulan yang sama dengan yang di atas. Dunia yang dalam tata letak ilmu arab adalah isim sifat yang mengikuti wazan fu’la memiliki dua opsi pengartian, yaitu : 1. sesuatu yang dekat (teradopsi dari lafadh ad-dunuwwu), dan 2. sesuatu yang hina (teradopsi dari lafadh ad-dana’ah).

Harus diakui kalau kita memperhatikan pergeseran waktu dan masa di dunia ini dengan menggunakan indra dhohir (luar) saja, maka kita tidak akan merasakan perpindahan detik menuju menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan seterusnya. Sehingga waktu di dunia ini seolah tidak beranjak dari tempatnya. Dan kita baru akan merasakannya kalau kita sudah sampai pada penghujung waktu. Tak jarang pada saat seperti itu kita berucap, “tak terasa waktu sudah siang/sore/malam/dan seterusnya”. “rasanya baru tadi/kemarin aku……..”.

Fenomena di atas sama persis dengan keberadaan bayang-bayang. Secara dhohir seakan ia menetap dalam posisinya. Namun pada hakekatnya ia terus merambat bergerak. Namun kalau kita menghadapi kenyataan tersebut dengan menggunakan indra dhohir dan bathin (luar-dalam) atau yang biasa disebut dengan bashiroh, maka kita dapat merasakan betapa waktu di dunia ini bergerak begitu cepat melaju menembus alam kefanaan menuju gerbang keabadian. Dan sudah barang tentu hanya orang yang mempunyai akal saja yang dapat melakukan hal ini. Mereka tidak akan pernah tergoda dunia dan tak akan merisaukan apakah dia hidup bahagia atau sengsara yang penting akhiratnya terselamatkan.

Pada hakekatnya, kehidupan manusia itu memiliki tiga fase atau tahapan. Fase pertama adalah tahapan dimulai ketika ia masih belum berupa apa-apa. Dan fase ini akan berakhir pada yang disebut dengan Azali. Fase kedua adalah fase pertengahan. Yakni tahapan antara azali dengan kematian (awal keabadian). Dan dalam fase kedua inilah manusia menjalani masa-masa kehidupannya di alam dunia. Fase ketiga adalah masa di mana anak Adam pada waktu itu tidak lagi bisa melihat dunia yakni fase yang dimulai dari kematian seorang hamba sampai batas waktu yang tak terbatas (abadi)..

Sekarang mari kita mencoba untuk berhitung, mambagi dan membanding di antara semua fase yang pasti dilalui manusia tersebut. Secara naluri akal sehat kita dapat membayangkan betapa singkat dan terbatasnya kehidupan manusia di alam dunia kalau dibandingkan dengan dua fase yang lain. Secara kalkulasi dunia kita bisa mengetahui berapa lama manusia hidup di alam fana ini. Tapi adakah alat yang mampu menghitung keberadaan manusia selama hidup dalam fase pertama dan fase ketiga. Sesuai dengan keberadaannya sebagai fase pertengahan maka tidak salah kalau ada yang berkata “Dunia hanyalah tempat persinggahan sementara”. Dan memang perkataan tersebut bukanlah omong kosong belaka. Karena pada kenyataannya hal itu merupakan kesimpulan dari Ayat Al Qur’an dan hadits Nabi yang menjelaskan tentang kefana’an dunia ini. Maka sangatlah ironis orang yang beranggapan akan kekal hidup dunia ini atau menganggap tidak akan ada lagi fase kehidupan setelah selesai di dunia.

Dunia memang indah. Dihiasi dengan berbagai macam pesona. Hamparan samudra, rerimbunan hutan yang menghijau, gurun padang pasir yang membentang, belum lagi segala macam keindahan yang didesain dan disetting oleh manusia itu sendiri. Gedung-gedung pencakar langit, tempat-tempat hiburan dan rekreasi yang dipenuhi dengan segala macam fasilitas yang selalu menawarkan kesenangan. Setidaknya demikianlah gambaran miniatur dunia. Menarik dan selalu menggoda kita untuk ikut hanyut masuk di dalamnya. Belum lagi peran serta syetan yang tidak henti-hentinya memberi percikan-percikan dan bumbu-bumbu penyedap agar umat manusia semakin lelap dan nyenyak dibuai dunia.

Namun pernahkah kita sadar dan menyadari kalau semua yang ada didunia ini hanyalah semu dan fatamorgana belaka. Tidak lebih dari sekedar mimpi dalam tidur yang kemudian sirna ketika kita terbangun. Dunia tidaklah lebih baik dari seonggok sampah dan bangkai busuk. Penjilat dunia juga sudah selayaknya dipersandingkan dengan sekelompok anjing-anjing yang kelaparan.

Alloh memang sengaja tidak menampakkan wujud asli dunia kepada khalayak manusia. Tetapi Alloh justru memoles dan membungkus dunia dengan berbagai macam perhiasan keindahan. Karena dunia akan menjadi barometer dan tolak ukur sejauh mana keimanan seorang hamba. Ibarat wanita, hakekat dunia adalah nenek jompo yang didandani dengan berbagai macam perhiasan indah. Ia selalu merayu dan menggoda setiap lelaki. Di luar begitu tampak manis dan cantik dengan aneka macam intan berlian. Tetapi di dalam hatinya menyimpan niat buruk akan membunuh setiap lelaki yang mendekatinya. Lelaki yang terlena dengan goda dan rayunya pasti akan terpesona. Lain dengan lelaki yang masih mampu melihat dengan mata hatinya.

Tidak hanya sekali dua kali Rosululloh menyampaikan pesan dari Alloh SWT. agar umatnya jangan sampai tertipu oleh dunia. Walaupun hanya sekedar memikirkannya saja. Karena dampak yang akan ditimbulkan tidaklah sekecil dan seringan dunia yang akan didapatkan. Alangkah menyesalnya kita nanti kalau sampai dunia fana ini bisa memporak-porandakan tatanan akhirat kita yang kekal dan abadi.

Bukanlah hal yang gampang untuk menghidarkan diri kita dari dunia tempat kita hidup sekarang ini. Tidak semudah jika kita ingin masuk ke dalamnya. Butuh perjuangan dan pengorbanan yang ekstra, karena hidup di alam fana ini seperti kita ketika berjalan di atas comberan. Kalau kita tidak berhati-hati maka badan kita akan ternoda olehnya. Atau bahkan mungkin akan terpeleset dan terjerembab kedalamnya. Celakalah mereka orang-orang yang malah asyik bermain dengannya. Sekali lagi mereka tidak lebih baik dari sekelompok anjing yang sedang memperebutkan seonggok bangkai.

Sejujurnya dunia bukanlah tempat orang-orang mu’min untuk bersenang-senang, berfoya-foya menikmati berbagai macam keindahan yang ada. Karena dunia ini sebenarnya tak lebih dari sebuah penjara bagi mereka. Dan sebaliknya yang berhak menjadikan dunia sebagai surga adalah orang-orang kafir yang hidup tanpa perlu mengindahkan berbagai macam aturan-aturan agama. Hal ini karena memang sejak awal Alloh menjadikan dunia menjadi tiga bagian. Bagian untuk orang mu’min, orang munafik dan orang kafir. Bagian orang mu’min di dunia adalah supaya mereka menjadikannya sebagai tempat pencarian bekal untuk perjalanan yang sangat panjang yakni akherat. Sedangkan orang munafiq dan orang kafir mereka menjadikan dunia ini sebagai tempat pelampiasan bersenang-senang dan menghiasi dhohir mereka dengan berbagai macam hiasan tanpa mau peduli apakah yang mereka dapatkan itu dari hasil halal atau haram.

Kita sudah sepatutnya bersyukur karena menjadi umatnya Nabi Muhammad Saw. Meskipun semenjak beratus-ratus tahun kita sudah diberi peringatan keras agar tidak terlalu asyik dengan dunia apalagi memperebutkannya. Tetapi kenyataanya banyak orang dengan segala cara, baik halal atau haram, saling berlomba-lomba mengumpulkan dunia. Kalaupun diperlukan dengan cara membunuh orang lain bahkan keluarga sendiri, itu pun mereka jalani apalagi kalau hanya sekedar merampas dan menipu. Sama sekali itu bukanlah hal yang tabu. Tidak dapat kita bayangkan seandainya kita adalah umatnya Nabi-Nabi yang lain. Tentu kita sudah diluluhlantakkan oleh Alloh karena terlalu senang dan cinta dunia.
Read More >>

Arti kata Pengajian Oleh KH . A Mustofa Bisri

Pengajian Umum isilah populernya dari dulu. Entah mulai kapan, belakangan panitia-panitia lebih suka menyebutnya Pengajian atau Tabligh Akbar. Tidak perduli seberapa banyak orang yang akan menghadiri pengajian, di dalam undangan dan spanduk mesti disebut-tambahkan kata akbar.
Di banyak daerah terutama di Jawa, pengajian umum atau Tabligh Akbar sudah merupakan 'menu' tetap dalam setiap agenda kegiatan kaum muslimin. Boleh dikata, tidak ada hari besar Islam tanpa pengajian. Pengajian juga merupakan acara inti dalam setiap kegiatan khataman pesantren atau madrasah, dalam peringatan haul ulama, walimatul 'ursy; khitanan, syukuran haji, bahkan pindahan rumah.

Mungkin, semangat pengajian itu terutama didorong oleh gairah dakwah yang agaknya oleh umat Islam memang baru dipahami sebatas pengajian semacam itu. Maka, galibnya pembicara atau penceramahnya disebut dai atau mubaligh Dari sisi lain, karena namanya pengajian, maka yang mengisi atau berceramah pun juga umum disebut kyai.

Agaknya, masyarakat pun tidak merasa perlu membedakan antara "kyai mubaligh dan "mubaligh kyai". Padahal, keduanya-satu dengan yang lain-sangat berbeda. "Kyai mubaligh" artinya orang yang disebut kyai, karena mengisi pengajian alias mubaligh. Dia tidak harus memiliki pesantren atau bisa mengajar para santri. Sedangkan, "mubaligh kyai" ialah kyai yang-karena bisa tablig-diminta mengisi pengajian. Pembicara atau penceramah yang disebut kyai hanya karena pandai berbicara atau berceramah tentu tidak sama dengan kyai yang bisa berbicara atau berceramah. Katakanlah, yang pertama adalah orang yang 'berprofesi' sebagai dai atau mubaligh, sedangkan yang satunya lagi adalah kyai yang menjalankan fungsi tabligh atau dakwahnya.

Mereka yang 'berprofesi' sebagai dai atau mubaligh, umumnya memang memiliki bakat atau kemampuan berbicara dan pintar menarik perhatian. Mereka biasanya juga pandai melihat situasi. Ini kelebihan mereka. Kelemahan mereka, terutama bagi mereka yang sudah terlanjur 'laris', adalah dari segi mutu materi dakwah mereka. 'Bahan' yang terbatas, sering kali tidak sempat dikembangkan justru karena terus 'terpakai. Ibarat baterei yang tidak sempat di-charge.
Sebaliknya, mereka yang kyai umumnya tidak begitu mementingkan metode dakwahnya. Kadang-kadang, kita jumpai kyai yang mengisi pengajian umum persis seperti kalau beliau mengajar santri-santrinya di pesantren.

Di samping soal dai dan mubalighnya, pengajian atau ceramah agama yang juga mulai marak di kota-kota besar juga menarik diamati. Boleh jadi, menyadari keampuhan-atau dan 'kemurahan'-pengajian ceramah atau majelis taklim, banyak kelompok, golongan, organisasi, partai, bahkan instansi, yang menggunakannya untuk kepentingannya. Sering kali, kepentingan itu jauh dari kepentingan da'wah ila Allah atau da'wah ila al-lkhair.

Anda bayangkan sendiri. Berapa banyak golongan, kelompok, organisasi, partai dan instansi yang ada di negeri ini. Bayangkan, bila masing-masing memiliki majelis taklim sendiri, memiliki dai atau mubaligh sendiri-sendiri, dan mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Alangkah banyaknya jalan di depan kita. Masih mending, bila jalan-jalan itu menuju ke satu tujuan.

Kalau pun ada dakwah yang memang dimaksudkan mengajak ke jalan Tuhan atau kepada kebaikan, dai dan mubalighnya pun-sebagaimana dakwahnya itu sendiri yang 'alamiah'- boleh dikata juga 'alamiah', untuk tidak mengatakan amatiran.

Kita belum pernah mendengar ada semacam evaluasi terhadap kegiatan pengajian yang begitu intens itu. Misalnya, untuk sekedar mengetahui sejauh mana pengaruh kegiatan pengajian itu terhadap akhlak masyarakat. Atau, adakah korelasi antara pengajian-pengajian yang begitu semangat dengan perilaku masyarakat? Bila pengajian itu amar-makruf-nahi-munkar, mengapa makruf masih tetap mewah dan munkar merajalela?

 Majalah MataAir Edisi ke-8
Read More >>

Perintah dan Ajakan Oleh: A. Mustofa Bisri

Kata amar yang berasal dari bahasa Arab sama artinya dengan perintah. Perintah ialah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu. Baik dalam kata amar maupun padanannya (perintah), kita merasakan adanya nuansa paksaan atau keharusan. Berbeda dengan ajakan yang ‘hanya’ berarti undangan; anjuran, atau permintaan supaya berbuat.
Ajakan lebih menyiratkan kelembutan. Sering kali, bahkan bernuansa ‘merayu’ seperti yang sering diperlihatkan suami terhadap isteri yang dicintainya atau sebaliknya. Tapi, banyak juga yang mengacaukan antara ajakan dan perintah sebagaimana yang sering dilakukan oleh kebanyakan calo terminal.

Di terminal, kita banyak menjumpai calo-calo yang menawarkan ‘busnya’ kepada calon-calon penumpang. Umumnya, dengan menyampaikan kelebihan dan keistimewaan bus yang ditawarkannya. Tapi, ada saja calo yang begitu bersemangat, sehingga kesannya bukan mengajak, tapi memaksa.

Berbicara tentang perintah dan ajakan, kita teringat kepada dua istilah yang sangat populer di kalangan kaum muslimin; yaitu dakwah dan amar makruf nahi munkar. Selama ini, umum menganggap kedua istilah itu sama. Padahal, minimal dari segi pengertian bahasa, keduanya berbeda seperti halnya perintah dan ajakan tadi.

Di dalam al-Quran sendiri, kedua istilah itu sering digunakan. Kita pisahkan dulu istilah dakwah yang digunakan dengan pengertian doa dan menyeru yang juga banyak digunakan dalam al-Quran. Karena kita hanya sedang membicarakan dakwah-atau dalam bahasa Indonesia, dakwah-yang berarti ajakan dan sering disamakan dengan amar makruf nahi munkar.

Ayat yang sering disebut-sebut sebagai dalilnya dakwah ialah ayat 125 surah 16. al-Nahl, “Ud’u ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’izhatil hasanati wajaadilhum billatii hiya ahsan. Inna Rabbaka Huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi, waHuwa a’lamu bilmuhtadiin.” (Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui mereka yang mendapat petunjuk).

Dalam kalimat “Ajaklah ke jalan Tuhanmu…”, tidak disebutkan objeknya. Siapa yang harus diajak? Maka, dalam Al-Quran dan Terjemahannya, diberi tambahan dalam kurung (manusia) dan dalam beberapa kitab tafsir, diberi penjelasan bahwa yang diajak adalah mereka menjadi sasaran dakwah. Saya sendiri berpendapat bahwa kalimat ini memang tidak membutuhkan objek. Karena rangkaian kalimatnya sudah menunjukkan siapa yang harus diajak. Dari firman “Ajaklah ke jalan Tuhanmu”, sudah jelas siapa yang mesti diajak, yaitu mereka yang belum di jalan Tuhan.

Karena mengajak mereka yang belum di jalan Tuhan, maka-wallahu a’lam-diperlukan cara yang sesuai dengan yang namanya ajakan, dengan hikmah dan mau’idhah hasanah. Apabila mesti berbantah, hendaklah dengan cara yang paling baik. (Maka, kecenderungan melibas mereka yang belum/tidak di jalan Tuhan, sama halnya dengan menghendaki tidak difungsikannya ayat dakwah ini). Bahkan, untuk mendakwahi Firaun pun, Allah berfirman kepada kedua utusan-Nya, Nabi Musa dan Nabi Harun, “Faquulaa lahu qaulan layyinan…” (Q. 20: 44) “Dan berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut…”

Kiranya, dengan cara yang diajarkan Tuhannya inilah, Nabi Muhammad SAW sukses dalam dakwahnya. Dan untuk konteks Indonesia, cara ini pulalah kiranya yang menyebabkan dakwah Para Walisongo berhasil.

Lalu, bagaimana dengan amar-ma’ruf nahi ‘anil-munkar yang bernuansa lebih ‘keras’? Amar-ma’ruf nahi ‘an al-munkar (seharusnya) merupakan ciri komunitas orang-orang mukmin yang tentu saja sudah berada di jalan Allah. (Baca misalnya, Q. 3: 110, 114; 9: 71). Dalam bahasa al-Quran, mereka satu sama lain adalah waliy (dalam bahasa Jawa, saya mengartikan waliy dengan bala, kebalikan dari musuh). Di dalam komunitas seperti ini, perintah berbuat makruf dan larangan berbuat kemungkaran merupakan keniscayaan. Sebab, mereka semua ada di satu jalan dan menuju satu tujuan. Jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan bersama. Kalau boleh kita urutkan, pertama-tama dakwah, kemudian amar makruf nahi munkar. Wallahu a’lam bishshawaab.
Read More >>

Izinkan Aku Menikah Tanpa Pacaran

Pacaran…? Hari gini gg punya pacar? Helloooooowww……

Di zaman globalisasi ini, sering kita sebagai muslim/muslimah dipertanyakan?
“punya pacar?”, “punya mantan berapa?”, “koleksi loe uda berapa?” ato mungkin “uda ngapain aja sama si ayank?”…..Betul gg….?

Hyuuuh..hyuuhh…kita orang Indonesia yang dikenal sebagai bangsa Timur yaitu bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai malah lebih sering terlihat/mencerminkan seperti bangsa barat yang menganut paham liberalism (kebebasan). Apa pasal?

Bagi remaja, hidup di zaman millennium ini tuntutan gaul gg bisa terelakkan. Akan d’bilang aneh bin cupu, bahkan abnormal kalo gg gaul. Bahkan menjadi anak gaul kayakx menjadi impian setiap remaja. Menyandang label anak gaul bisa bikin pede abis…ke sekolah serasa jadi bintang, ke mal serasa jadi pusat perhatian, jalan-jalan serasa jadi jadi raja jalanan :D :D Apa iya gaul yng seperti itu suatu keharusan..?

Kalo kita gg tau gossip terkini, d’cap gg up to date. Kalo kita gg pake baju super mini dan ketat, d’bilang norak. Kalo alis masih orisinil dan rambut gg d’cat, berarti kita gg ngikutin tren. Kalo gg nenteng HP keluaran terbaru d’bilang cupu atau bahkan GA GANDENG COWO/CEWE (truck gandeng kali yaaa) d’bilang cupu bin kuper. Kalo belum pernah makan burger atau pizza d’cap kuno. Entar lama-kelamaan, kalo kita seumur hidup gg pernah ngejabanin kafe, diskotik d’anggap manusia purba kali yaaa :D :D

Walhasil, gara-gara pengen dapet anak gaul, anak SD yang mau lulus malu kalo belum ngerokok. Yang SMP juga berlomba ngumpulin koleksi artis idolanya. Si putih abu-abu juga tengsin kalo masih nyandang predikat JOMBLO, akhirnya pake serbu satu jurus buat menarik perhatian lawan jenis. Yang uda jadi mahasiswa? Lebih-lebih... Malu kalo gg tau ngerasain yang nama kissing atau making love. Sebaliknya, malah merasa bangga dan gaul kalo uda “macem-macem” sama pasangan ilegalnya itu

Apa seperti itu gaul yang sehat? Apa Islam gg punya tuntunan dalam bergaul? Jawaban ADA, termasuk menyikapi rasa cinta. Rasa cinta itu memiliki makna yang luas, gg cuma mencakup cinta sesame lawan jenis ajh. Cinta terhadap diri sendiri (bukan egois), cinta terhadap orang tua, cinta terhadap sesama dan CINTA yang PALING HAKIKI adalah Cinta pada Dzat Yang Maha Kekal, Allah Subhana wa Ta’ala.

Inilah cintanya orang musyrik. Barangsiapa mencintai sesuatu sebagaimana ia mencintai Allah, yang ia lakukan bukan karena allah dan bukan karena mencari ridha-Nya, sesungguhnya ia telah menjadikan sesuatu sebagai tandingan Allah. Dan inilah kecintaan yang d’lakukan oleh orang-orang yang musyrik
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Al-Baqarah ayat 165)

Mereka mencintai selain Allah sama atau bahkan melebihi cinta mereka pada Allah. Kehidupan dunia lebih d’cintai daripada kehidupan akhirat. Mereka tertipu dan berada dalam kerugian.
Allah berfirman: “Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat dan bahwasannnya Allah tiada member petunjuk kepada kaum yang kafir.” (An Nahl ayat 107)

Lantas bagaimana dengan cinta terhadap lawan jenis? Apakah Islam melarangnya? Apa Islam punya solusi bagaimana mengatasi persoalan cinta? Jawabannya : Iya, Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan. Sejatinya, kita sebagai muslim menjadikan Islam as our way life….kenapa? karena semua sudah tertera dalam Al-Qur’an yaitu Firman Allah
“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku ridhoi Islam sebagai agamamu” (Al-Maidah ayat 3)

Lantas bagaimana Islam mengatur soal cinta? Ada Firman Allah dalam surat Al-Imran ayat 14
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” Ada pula Firman Allah yang lain yaitu : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang." (Maryam ayat 96)

Jadi, cinta itu adalah fitrah. Jagalah ia jangan sampah jadi FITNAH. Jangan mentang-mentang cinta itu fitrah, kita jadikan alasan untuk bebas mencintai dan mengemas hubungan dgn pacaran. Bukan dengan alasan itu kemudian berdalih apa yang kita lakukan dalam pacaran adalah sebagai wujud dari sifat fitrah yang kita miliki. Pacaran d’identikan dengan bunga mawar, warna merah jambu, seabrek kado, perayaan hari jadian, jalan-jalan, SMS atau teleponan tiap hari, mojok dua-dua-duaan, perayaan valentine. Ooppss…masa kita sebagai Muslim uda pacaran bahkan ikut-ikutan budaya valentine..?

Katanya sih pacaran itu langkah awal mencari seseorang teman dekat dalam menuju proses pendewasaan kepribadian. Masa sih? Kepribadian yang dewasa gg ada hubungannya dgn pacaran. Orang yang pengalaman pacaran banyak gg menjamin memiliki kepribadian dewasa malah sebaliknya, gg sedikit gara-gara pacaran, kepribadian seseorang itu rapuh. Misalnya bgitu d’putusin pacar, gg sedikit yang lebih memilih bunuh diri? Apa itu orang yang memiliki kepribadian dewasa?

Pacaran juga sering d’anggap sebagai bentuk penjajakan untuk mendapatkan jodoh. Argumennya, sebelum mngambil keputusan menikah, ada baiknya “menguji” si calon itu tadi. Kalo memang pacaran untuk mncari jodoh, mestinya benar-benar yang punya pikiran matang donk yang melakukan? Tapi knp malah bnyak pelaku pacaran adalah pelajar ber-rok biru atau si rok abu-abu? Atau bahkan si bocah bau kencur ber-rok merah uda aktif dalam pacaran? Masya Allah…!!! Lantas apa tujuan pacaran? Apa karena punya rencana menikah? Jelas enggak! Jelas karena belum bisa menikah, mereka berpacaran. Semua syahwat yang d’larang (sebelum waktunya) oleh Islam justru mendapatkan penyaluran dlm pacaran. Mereka merasa bahwa pacaran itu membawa kebahagiaan dan kenikmatan, padahal mereka tercebur d’lautan dosa.

Ada pula yang menyebutkan untuk saling mengenal satu sama lain dan belajar untuk saling menyempurnakan, saling mngerti, saling berusaha mnjadi yg terbaik bagi pasangan, saling menasehati, saling melayani, saling membantu, saling bertumbuh keimanan pada Dia yang telah menciptakan pasangan yaitu Allah. Tentu kita akan terheran, sebelah mana pacaran dapat menumbuh keimanan? Apa dgn berdua-dua, berpegang tangan dan bhkan berhubungan intim? Naudzubillahi mindzalik. Saling melayani? Melayani dlm hal apa?

Ya, mereka memang saling melayani dlm berbuat maksiat dgn bersentuhan, berciuman bahkan bermesuman. Mungkin awalnya ereka hanya belajar bersama,makan bersama, berjalan bersama, hingga nantinya setan membisiki mereka untuk tidur bersama. Pacaran sendiri lebih menguntungkan pihak lelaki daripada perempuan. Lelaki bisa seenaknya merasakan tubuh wanita dgn alasan cinta. Ironisnya, si gadis juga merelakan bgitu saja tubuhnya d’sentuhi pacaranya krn janji akan d’nikahi. Hingga akhirnya hamil dan mengugurkan janinnya. Subhanallah, rentetan dosa telah terjadi.
Read More >>

Senyum yang Mengalahkan Pedang

Oleh | WAA. Ibrahimy

Sejarah senyum rasanya sudah setua usia peradaban manusia, atau bahkan sepurba semesta raya. Para nabi di samping terutus untuk membawa peringatan, mereka pun datang dengan membawa berita gembira. Disinilah fungsi senyum sangat berperan. Baginda Nabi Muhammad saw., keluhuran, kesantunan, dan kelembutan budi pekertinya telah lekat teridentifikasikan dengan senyumnya yang menawan.

Senyum adalah ekspresi dari keceriaan batin seseorang. Dan batin setiap muslim yang telah dialiri keimanan dari ladang amal kebaikannya, akan menumbuhkan kebahagiaan serta kedamaian yang hakiki, atau disebut juga hayâh thayyibah. Ini karena jiwa mereka menjadi benderang oleh cahaya kebenaran yang dengan tulus hati menerima, pasrah, dan tunduk mengikuti bimbingan Sang Maha Pencipta, Allah Swt., sebagaimana janji-Nya, "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (hayâh thayyibah), dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97)

Senyum tawa yang tampak pada permukaan wajah adalah aktifitas tubuh manusia sebagai wakil perasaan riang atau kasih sayang yang muncul dari lapisan bawah batinnya. Senyum juga merupakan hasil kerja otak kecil dan selaput otak secara bersama-sama. Dimana temperamen karakter seseorang – dalam anggapan fisiologi – berkaitan erat dengan sejenis cairan tubuh manusia yang disebut humour. Aktifitas senyum tadi telah berperan merangsang otak untuk mengeluarkan senyawa yang mampu menurunkan kadar kepekaan tubuh manusia yang menghubungkan sistem saraf, imun, dan endoktrin. Karena itu senyum sebenarnya adalah "kekuatan terpendam" yang sangat hebat, dan aktifitasnya merupakan sedekah berharga yang merawat tubuh agar tetap sehat. Benarlah sabda Baginda Nabi saw. : تَبَسَّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ "Senyumanmu pada wajah saudaramu adalah (bernilai) sedekah bagimu." (HR. Tirmidzi)

Kekuatan senyum tawa bila dikelola dengan baik akan mengalahkan ketajaman pedang sekalipun. Berapa banyak pedang yang tajam urung dihunuskan, berapa banyak genderang perang gagal ditabuhkan, berapa banyak susah gelisah reda menjadi ketenangan, berapa banyak luka menganga tak terasa menyakitkan, berapa banyak rasa amarah musnah terpadamkan, dan berapa banyak khianat kebencian surut menjadi cinta kesetiaan, hanya dengan satu senyum ketulusan. Lihatlah bagaimana ketika Baginda Nabi saw. sedang bertawaf di Baitullah al-Haram, tiba-tiba seorang pemuda mendekatinya perlahan. Ada gelagat tak nyaman dari raut wajah yang tampak tak tenang. Pemuda itu adalah Fadlâlah bin 'Umair yang sengaja datang membuntuti Nabi dengan memendam kebencian mendalam. Benaknya berencana hendak membunuh Nabi. Namun, ketika jarak antara keduanya semakin dekat, Baginda segera menyapanya ramah, "Bukankah engkau Fadlâlah?" Demi mendengar sapaan hangat itu, suasana hatinya pun tiba-tiba berubah ciut, "Benar ya Rasulallah!" "Apa yang engkau bicarakan dalam hatimu?" Selidik Baginda seketika. "Tidak ada, aku sedang berdzikir mengingat Allah 'Azza Wa Jalla!" Jawab Fadlâlah mengelak gugup. Mendengar itu Nabi saw. pun tersenyum, lalu bersabda, "Beristighfarlah kepada Allah!" Sambil tangannya yang mulia menyentuh dada pemuda tersebut. Sehingga menjadi damailah hatinya, dan "genderang" permusuhan di balik dadanya pun urung ditabuhkan. Di waktu yang lain, saat mengingat peristiwa bersejarah itu, Fadlâlah berkata, "Demi Allah, tidaklah Baginda mengangkat tangannya dari dadaku, sehingga tak ada satu pun makhluk Allah yang lebih aku cintai darinya!"

***

Lihatlah juga kisah Syaibah bin Utsman bin Thalhah – yang ayah dan pamannya terbunuh pada perang Uhud. Suatu ketika ia bersama pasukan Quraisy pergi menuju Hawazin di Hunain, ia berharap dapat membalaskan dendam seluruh kaumnya, membunuh Rasulullah di sela-sela pertempuran nanti. Dan bila mendengar perkataannya, tampaklah betapa besar kebencian Syaibah kepada Baginda Nabi saw. dahulu, "Andaikan tak seorang pun dari Arab atau lainnya kecuali menjadi pengikut Muhammad, aku tak kan pernah mengikutinya selama-lamanya!" Dengan kelihaian dan ketangkasan yang dimiliki, Syaibah dapat menembus pasukan kaum muslimin yang saat itu bercerai berai menjauh dari Rasulullah. Ia pun hunuskan pedang berjalan mendekati Baginda, dan ketika pedang diangkat sehingga hampir saja menebas diri Baginda, tiba-tiba sekilas cahaya api berkelebat di depan wajah Syaibah, bagai petir menyambar, hampir saja mencelakainya. Ia pun reflek menutup wajah dengan kedua tangannya, ketakutan. Belum juga reda rasa kaget dan takut di benak Syaibah, seketika ia mendengar seseorang memanggil namanya, "Wahai Syaibah mendekatlah padaku!" Dilihatnya orang itu tak lain adalah Rasulullah saw. Syaibah tak kuasa, ia pun tunduk mendekat mengikuti panggilan tersebut. Sekali lagi tangan Baginda yang mulia mengusap lembut dada orang yang hendak membunuhnya, seraya berdoa, "Ya Allah, lindungilah ia dari Syetan!" Maka ketika itu "pedang" kebencian yang terselip di balik dadanya pun urung dihunuskan. Nabi bersabda, "Mendekatlah kepadaku dan berperanglah!" Sekejap, Syaibah pun berdiri mengambil posisi di depan Baginda, berubah menjadi pembelanya yang setia, karena tak ada lagi yang lebih ia cintai dari telinga, mata, bahkan dirinya sendiri setelah itu, selain Baginda Nabi saw. "Allah Maha Mengetahui, sesungguhnya aku rela menjadikan diriku sebagai tameng Rasulullah dari apapun saja. Dan andai aku berhadapan dengan ayahku sendiri saat itu, pasti kutebas juga dengan pedang!" Tuturnya kemudian di hari-hari yang lain.

***

Subhânallôh, betapa hebat efektifitas senyum itu, senyum yang lahir dari ketulusan dan dikelola oleh kekuatan iman tentunya, akan benar-benar mengalahkan ketajaman pedang! Maka tersenyumlah, seperti senyum bisyârah (berita gembira) Nabi yang meredakan gelisah Ka'ab bin Malik, Murârah bin Rabi', Hilal bin Umayyah, dan Abû Lubâbah saat taubatnya dikabulkan. Atau senyum syafaqah (empati) beliau yang menyembuhkan pasukan muslimin di pertempuran Thaif, sehingga luka-luka yang menganga pun tak terasa menyakitkan. Atau senyum rahmah (kasih) beliau yang menyadarkan kebodohan seorang Badui dari kesalahan buang air kecil di dalam masjidnya yang mulia. Rasulullah saw. masih saja tersenyum ketika sedang i'tizâl dari isteri-isterinya. Bahkan menjelang akhir hayatnya, Nabi saw. – yang sempat beberapa saat tak shalat berjama'ah dengan kaum muslimin – keluar dari balik kamar, berdiri, memandangi sahabat-sahabat sedang melangsungkan shalat, dengan wajah bak selembar mushaf bercahaya, tersenyum sangat bahagia. Abu Bakar ra. yang ketika itu berada di depan, mundur selangkah ke shaf, demi menyilahkan Baginda untuk menjadi imam selanjutnya. Namun Baginda Nabi saw. memberi aba-aba agar mereka terus melanjutkan shalat. Lalu beliau kembali ke dalam kamar, menutup tirai, dan di hari itu pula Baginda bertemu Sang Rafîqil A'lâ.
Read More >>

Belajar Semangat dari Kisah Kalîmullâh Musa as

Sepuluh tahun lebih pemuda yang tercerahkan itu, Musa as. meninggalkan Mesir, tanah air tercinta, sejak ia menyelamatkan diri dari buruan Fir'aun. Hijrah dan bermukim di Madyan, hingga menemukan seorang wanita belahan jiwa, Shafura puteri Syu'aib as.

Sepuluh tahun adalah rentang waktu yang cukup lama bagi seseorang untuk mampu bertahan menyimpan rasa rindu kepada tanah kelahiran, tempat tumpah darahnya, meski ia tidak pernah merasakan kebahagiaan hidup di sana. Dimana seorang seperti Musa as. yang seharusnya memiliki kenangan hidup indah saat berada di negeri sendiri sebagaimana layaknya seorang dari keluarga kerajaan yang hidup mewah dan terhormat pernah memimpikannya. Bukankah ia dibesarkan sebagai putera angkat penguasa Mesir yang mengaku berperadaban tinggi itu? Bukankah dahulu Fir'aun, atas inisiatif isteri, juga kecenderungan hatinya, menginginkan bayi Musa yang mungil dan lucu itu menjadi bagian dari keluarganya? Maka, tentu wajarlah bila ia merindukan Mesir dan ingin pulang kembali setelah berkeluarga.

Bergegaslah Musa as. beserta isteri tercinta mengemas barang dan menyediakan kendaraan, lalu memohon diri kepada sang mertua, Syu'aib as., salah seorang nabi pilihan yang diutus untuk bangsa Madyan, yang telah membimbingnya laksana orang tua, bahkan guru spiritualnya. Dan bertolaklah rombongan keluarga kecil tersebut menuju selatan, menghindari jalan umum, agar tidak diketahui oleh Fir'aun dan kaumnya yang masih memburu Musa as.

Setibanya di Thur Sina, suatu daerah bebukitan, Musa kehilangan arah, bingung harus kemana ia meski melangkah? Dalam keadaan demikian, terlihatlah olehnya seberkas sinar yang berasal dari api menyala-nyala dari atas lereng sebuah bukit. Ia berhenti, lalu berlari menuju pancaran sinar itu, seraya berkata kepada isterinya, "Tinggallah kamu disini menantiku. Aku pergi melihat api yang menyala di atas bukit itu dan segera kembali. Semoga aku dapat membawa suatu berita atau setidaknya membawa sesuluh api untuk menghangatkan badanmu yang sedang menggigil kedinginan."

Tatkala Musa as. sampai di tempat api tersebut, terdengar suara seruan kepadanya berasal dari sebatang pohon di pinggir lembah, sebelah kanan, pada tempat yang diberkahi. Suara seruan yang didengar oleh Musa as. itu adalah, "Wahai Musa! Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya aku ini adalah Allah tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku." (QS. Thâhâ: 11-14)

Itulah wahyu pertama yang diterima langsung oleh Musa as. sebagai tanda kenabian, dimana ia telah dinyatakan Allah Swt. sebagai rasul dan nabi-Nya yang terpilih, dalam kesempatan berdialog langsung dengan Allah di atas bukit Thur Sina. Disanalah kemuian Allah Yang Maha Kuasa menganugerahi dua mukjizat sebagai persiapan untuk menghadapi Fir'aun yang sombong dan lalim.

Bertanyalah Allah kepada Musa as., "Apakah itu yang di tangan kananmu, wahai Musa!" (QS. Thâhâ: 17) Suatu pertanyaan yang mengandung arti lebih dalam dari apa yang sepintas lalu dapat ditangkap oleh Musa dengan jawabannya yang sederhana.

"Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul daun dengannya untuk makanan kambingku. Selain itu aku dapat pula menggunakan tongkatku untuk keperluan-keperluan lain yang penting bagiku." Ataukah dengan jawaban yang sederhana dan terkesan terlalu panjang itu, Nabi Musa as. sesungguhnya ingin menikmati suasana maha dahsyat nan memesona, yang seumur hidup baru sekali ia rasakan?!

Pertanyaan Allah Swt. yang terkesan sederhana itu baru dipahami dan diselami oleh Musa usai Allah memerintahkan kepadanya agar meletakkan tongkat yang dipegangnya di atas tanah, lalu menjelmalah menjadi seekor ular besar yang merayap dengan cepat sehingga membuat Musa lari terkejut, menjauhinya.

Allah Swt. berseru kepada Musa as., "Peganglah ular itu dan jangan takut. Kami akan mengembalikan kepada keadaannya semula." (QS. Thâhâ: 21) Maka begitu ular yang sedang merayap itu ditangkap dan dipegang oleh Musa, ia segera kembali menjadi tongkat yang diterimanya dari Syu'aib as., mertuanya tercinta, ketika ia bertolak dari Madyan.
Sebagai mukjizat yang kedua, Allah Swt. memerintahkan kepada Musa as. agar mengepitkan kedua telapak tangan ke bawah lengannya; yang nyata setelah perintah itu dilakukan, kedua telapak tangannya segera menjadi putih cemerlang tanpa suatu cacat atau penyakit pun.

***

Raja Fir'aun yang telah berkuasa di Mesir telah lama menjalankan pemerintahan yang lalim, kejam dan otoriter. Rakyatnya terdiri dari bangsa Egypt yang merupakan penduduk pribumi, dan bangsa Israel yang merupakan golongan pendatang, mereka semua hidup dalam suasana penindasan, tidak merasa aman, baik nyawa maupun harta benda.
Selain kelaliman, kekejaman, penindasan dan pemerasan yang ditimpakan oleh Fir'aun atas rakyatnya, terutama kaum Bani Israel. Lebih buruk dari hal itu semua adalah pernyataan dan pengukuhan dirinya sebagai tuhan yang harus disembah dan dipuja. Dengan demikian ia makin jauh membawa rakyatnya ke jalan yang sesat tanpa pedoman tauhid dan iman, sehingga makin dalamlah mereka terjerumus ke lembah kemaksiatan dan kerusakan moralitas.

Maka dalam kesempatan berdialog langsung di bukit Thur Sina itu diperintahkanlah Kalîmullâh Musa as. oleh Allah untuk pergi kepada Fir'aun sebagai Rasul-Nya, mengajak beriman kepada Allah, menyadarkan dirinya bahwa ia adalah makhluk biasa sebagaimana rakyatnya yang tidak pantas menuntut orang menyembahnya sebagi tuhan, dan menyeru bahwa Tuhan yang wajib disembah olehnya dan semua manusia adalah Tuhan Yang Maha Esa, Allah Swt. Yang telah menciptakan alam semesta ini.

Nabi Musa as. dalam perjalanannya menuju kota Mesir setelah meninggalkan Madyan, selalu dibayangi oleh kecemasan, jika saja peristiwa pembunuhan yang telah dilakukannya sepuluh tahun yang lalu itu, tidak juga terlupakan dan masih belum hilang dari ingatan para pembesar kerajaan Fir'aun. Ia tidak mengabaikan kemungkinan bahwa mereka akan melakukan pembalasan terhadap perbuatan yang tidak sengaja tersebut dengan hukuman pembunuhan atas dirinya, bilasuatu ketika ia sudah berada di tengah-tengah mereka. Ia hanya terdorong rasa rindunya yang sangat kuat kepada tanah kelahiran, tempat tumpah darah, dan kepada sanak familinya dengan memberanikan diri kembali ke Mesir tanpa memperdulikan akibat yang mungkin dihadapi.

Jika pada waktu bertolak dari Madyan dan selama perjalannya melalui Thur Sina, Musa as. dibayangi rasa cemas akan pembalasan Fir'aun, maka dengan perintah Allah Swt. yang sangat tegas, "Pergilah engkau kepada Fir'aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas!" (QS. Thâhâ: 24) Segala bayangan itu pun dilempar jauh-jauh dari pikirannya, dan bertekad akan melaksanakan perintah Allah menghadapi Fir'aun, apa pun resiko yang akan terjadi pada dirinya. Demi menenteramkan hatinya, berkatalah Musa kepada Allah, "Aku telah membunuh seorang dari mereka, maka aku cemas mereka akan membalas untuk membunuhku, berikanlah seorang pembantu dari keluargaku sendiri, saudaraku Harun, untuk menyertaiku dalam melakukan tugasku, meneguhkan hatiku, dan menguatkan tekadku menghadapi orang-orang kafir tersebut, terlebih Harun saudaraku itu lebih fasih lidahnya dan lebih cerdik dari diriku untuk berdebat."

Allah Swt. berkenan mengabulkan permohonan Musa as., maka digerakkanlah hati Harun yang ketika itu masih berada di Mesir untuk pergi menemui Musa mendampinginya, dan bersama-sama pergilah mereka ke istana Fir'aun dengan diiringi firman Allah Swt., "Janganlah kamu berdua khawatir. Sesungguhnya Aku beserta kamu, Aku mendengar dan melihat." (QS. Thâhâ: 46)

Bila peristiwa yang dialami Kalîmullâh Musa as. di bukit Thur Sina sebagaimana tersebut di atas adalah potret kondisi kejiwaan yang menggambarkan proses peralihan dari suatu tahapan mentalitas kepada tahapan mentalitas lain yang lebih baik, sempurna, sehingga dalam rentang waktu itu sangatlah dibutuhkan faktor penguat internal, suatu motivasi spiritual ketuhanan, sebagaimana Firman Allah, "Janganlah kamu berdua khawatir. Sesungguhnya Aku beserta kamu, Aku mendengar dan melihat." Maka demikan pula halnya dengan Baginda Nabi Muhammad saw.

Ingatlah, ketika wahyu pertama menjelang diterima Baginda Muhammad saw., diawali oleh suatu mimpi yang benar. Dimana setiap kali Nabi saw. bermimpi, mimpi itu datang bagaikan terbitnya Subuh. Dikala Nabi saw. sering menyendiri, menyepi di gua Hira’. Di sana, ia melakukan tahannuts beberapa malam. Kemudian pulang menemui keluarga, menemui Khadijah, istri tercinta, mengambil bekal lagi untuk beberapa malam. Hal itu terus dilakukan sampai suatu ketika, pada malam 17 Ramadlan, bertepatan dengan 6 Agustus tahun 610 Masehi, tiba-tiba wahyu itu datang kepadanya.

Tentang peristiwa tersebut, Nabi saw. pernah berkisah, "Malaikat itu menarik dan merengkuhku, hingga aku merasa kelelahan. Lalu ia melepaskanku seraya berkata, 'Bacalah!' Aku menjawab, 'Aku tidak dapat membaca!' Dia menarik dan merengkuhku lagi, hingga aku merasa kelelahan. Kemudian ia melepaskan sambil berkata, 'Bacalah!' Aku menjawab, 'Aku tidak dapat membaca!' Dan untuk yang ketiga kalinya ia menarik dan merengkuhku sehingga aku merasa kelelahan, lalu ia melepaskanku dan berkata, 'Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan! Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu teramat Mulia, Yang mengajarkan manusia dengan pena (tulis baca)! Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.'" (QS. Al-'Alaq: 1-5)
Baginda saw. pulang dalam keadaan gemetar, ia masuk ke rumah, seraya bersabda, "Selimuti aku, selimuti aku!" ia meminta kepada Khadijah ra. Demi mendengar itu, isteri yang penurut dan setia itu pun segera menyelimutinya.
Setelah sedikit reda cemasnya, Nabi saw. bersabda lagi, "Hai Khadijah, apa yang telah terjadi denganku?" Lalu ia menceritakan seluruh peristiwa yang dialaminya. "Aku benar-benar cemas terhadap diriku!" lanjut Nabi saw. kemudian.
Tatkala mendengar ungkapan kegelisahan suami tercinta, Khadijah ra. isteri yang bijaksana itu sedikitpun tidak memperlihatkan kekhawatiran, kecemasan hatinya, namun dengan khidmat ia menatap muka sang suami, seraya berkata, "Bergembiralah, wahai anak pamanku, tetapkanlah hatimu, demi Tuhan yang jiwa Khadijah di dalam tangan-Nya, aku berharap engkaulah yang akan menjadi nabi bagi umat kita ini. Allah tidak akan mengecewakan engkau! Bukankah engkau yang senantiasa berkata benar, yang selalu menguatkan tali silaturahim, bukankah engkau yang senantiasa menolong anak yatim, memuliakan tetamu, dan membantu setiap orang yang ditimpa kemalangan dan kesengsaraan?" demikianlah Ummu al-Mu'minîn Khadijah ra. menenteramkan hati suaminya tercinta, Baginda Nabi saw.

Dalam suatu riwayat disebutkan, selama kurang lebih dua setengah tahun lamanya sesudah menerima wahyu yang pertama, barulah kemudian Baginda Nabi saw. menerima wahyu yang kedua. Di kala menanti turunnya wahyu kedua itu, kembali Nabi saw. diliputi perasaan gelisah, cemas jika saja wahyu tersebut putus. Namun dalam keadaan setengah hati itu, dengan menetapkan tekad, Nabi saw. terus melakukan tahannuts sebagaimana biasa, menyepi, sendiri di Gua Hira'. Tatkala itu, tiba-tiba terdengarlah suara dari langit, ia menengadah, terlihatlah Malaikat Jibril as. sehingga ia menggigil terkejut, dan segera pulang ke rumah. Kemudian meminta Ummu al-Mu'minîn ra. saat itu, sekali lagi, untuk menyelimutinya. Dalam keadaan berselimut itulah, datang Jibril as. menyampaikan wahyu Allah Swt. yang kedua, sejumlah firman suci yang memberi kekuatan, semacam motivasi spiritual kepadanya, "Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak!" (QS. Al-Muddatstsir:1-6)

Sehingga dengan kalimat yang menyimpan kekuatan spiritual sebagai pemantapan mental maha dahsyat itulah semangat dan rasa percaya diri Nabi saw. dalam mengemban risalah suci Ilahi tersebut benar-benar tersimpul kuat dalam jiwanya, jiwa seorang utusan Tuhan, bahkan kekasih-Nya, sebagai teladan umat manusia.

***

Adalah menjadi sunnah orang berjuang, di awal langkah perjalanan spiritualnya akan mengalami suatu kondisi psikologis yang disebut dengan proses ishla<span>h</span>, semacam restorasi spiritual, improvement, atau dengan kata lain perbaikan kejiwaan menuju kesempurnaan mentalitas, disertai rasa yakin dan percaya diri yang terukur dengan baik.

Jika Nabi saw. mengalami peristiwa hampir serupa sebagaimana halnya Kalîmullâh Musa as., mengalami proses ishla<span>h</span> di awal hirarki perjuangannya, yang mungkin dapat dikatakan sebagai masa orientasi sebelum memasuki rentang waktu yang panjang mengemban rugas suci nan berat yang akan dijalaninya itu. Maka realitas tersebut, peristiwa pada lembaran sejarah yang mencatat kisah mereka, adalah entitas yang menjadi materi penting bagi kita, sebagai umat yang hidup sesudahnya, untuk mengambil teladan, belajar makna semangat, mempersiapkan mental, dan menanamkan rasa percaya diri yang kuat, demi suatu perjuangan yang panjang dalam menapaki hidup penuh rintangan.

Sebagaimana Kalîmullâh Musa as. memperoleh dukungan moral dan motivasi yang menenteramkan jiwa dari Nabi Syu'aib as., mertua sekaligus guru pembimbing spiritualnya. Demikian pula Baginda Nabi Muhammad saw. memperoleh hal yang serupa dari seorang kerabat dekatnya, Waraqah bin Naufal, dimana dalam suatu kesempatan ia berkata kepada Nabi saw., "Quddûs, Quddûs! Wahai (Muhammad) anak saudaraku, itu adalah rahasia paling besar yang pernah diturunkah Allah kepada Musa as. Wahai, kiranya aku dapat menjadi muda dan kuat, semoga aku masih hidup, dapat melihat, ketika engkau dikeluarkan (diusir) kaummu!"

Mendengar perkataan Waraqah yang sedemikian itu, Nabi saw. bertanya, "Apakah mereka (kaumku) akan mengusirku?"
Waraqah menjawab, "Ya, semua orang yang datang membawa seperti apa yang engkau bawa ini, mereka senantiasa dimusuhi. Jika saja aku menjumpai hari dan waktu engkau dimusuhi itu, aku akan menolong engkau dengan sekuat tenagaku!"

Kita butuh sosok spesial, berkarakter ideal, sebagaimana Syu'aib, Harun dan Shafura bagi Kalîmullâh Musa as. Kita juga butuh sosok spesial, berkarakter ideal, sebagaimana Waraqah bin Naufal, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Khadijah bagi Baginda Muhammad saw. Atau setidaknya sepersekian persen saja dari sejumlah karakter mulia tersebut, kita sangat membutuhkannya. Kita butuh rengkuhan dan dekapan ruhani, sebagai faktor penguat spiritual yang mampu mengukuhkan pijakan dalam melangkah. Kita juga butuh selimut keyakina, dan dukungan orang-orang tercinta, yang memberi hangat ketenteraman agar semangat, ketika kemudian harus bangkit kembali mendengar panggilan suci, qum fa andzir, bangun dan berilah peringatan!

Demikianlah para pejuang kebenaran, para pembela ajaran sejati, pengemban agama suci; di setiap periode, di ruang waktu yang berbeda, akan mengalami suatu masa sulit, sebagai sunnah perjuangan. Dan ketika itulah para pembela, pendamping setia, hadir membela, membuktikan perhatian dan dukungannya sepenuh jiwa raga.

Namun, ada hal yang lebih besar dari itu semua, suatu restosari spiritual, improvement Ilahi, akan datang, turun ke dalam hati para pejuang sejati, menguatkan semangat, meneguhkan tekad, dan menggerakkan nilai-nilai maknawi menjadi entitas, berwujud, mengejawantah, sebagai suatu gerak langkah bernama perjuangan nyata, menorehkan tinta emas dalam lembaran panjang sejarah.

Semoga semangat suci itu teranugerahkan pada setiap aktifitas kita, di antara hari-hari yang datang dan pergi; teresap oleh setiap dada, pada hasrat, pada helaan nafas, hirup hembus dan aliran darah. Maka, selalu bersemangatlah!
Read More >>

Doa adalah intisari ibadah

Bismillah Alhamdu lillah was shalatu wassalamu alaaa rasulillah
Wa ba'du.
Sesungguhnya berdoa adalah ibadah yang paling utama, karena dalam doa terkandung ma'na khusyu', tunduk, merendahkan diri kembali dan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Rahasia itu terkandung daam sebuah hadits :

الدعاء مخ العبادة
Doa adalah intisari ibadah.

A. Bertasbih Adalah :Mensucikan dzat Allah Yang Maha Agung dari segala bentuk kekurangan dan persekutuan. Maha suci Allah dengan segala kesempurnaan-Nya.

Tidak sedikit hadits yang menjelaskan keutamaan bertasbih. Sebagian haits menjelaskan hikmah-hikmah dzikir dan bertasbih yang dita'loqkan kepada jumlah-jumlah tertentu. Semisal ,33, 34, 100,200, dan sebagainya. Hanya Allah yang Maha Tahu rahasia dibalik angka-angka itu dan sebagian hamba-hamba yang telah diberi tahu oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.


Sebagaimana yang kewarid dalam hadits-hadits sahih :

1- barang siapa membaca سبحان الله وبحمده dipagi dan sore hari sebanyak seratus kali maka tidak ada seorang pun yang datang membawa amalan yang lebih afdol, kecuali orang yang membaca seperti apa yang dibacanya atau lebih dari pada
itu.

2-Barang siapa dipagi hari membaca subhanallahi Al-'adzim wa bihamdihi seratus kali dan disorehari seratus kali,maka diampunilah dosa-dosanya walau sebanyak buih dilautan (saking banyaknya).

3-Taasbih tiga puluh tiga kali, tahmid tiga puluh tiga kali, takbir tiga puluh empat kali setiap setelah shalat fardhu.

4- Barang siapa membaca "laa Ilaha illallah, wahdahu laa syarika lahu, lahu Al-mulku wa lahu Al-hamdu wa huwa 'alaa kulli syaiin qadiir" dua ratus kali dalam sehari maka tidak seorangpun yang mampu mendahului dan tidak satupun orang yang mampu menyusul setelahnya kecuali orang yang mengamalkan amalan yang lebih baik darinya.

5-Barang siapa membaca seratus ayat maka ia tergolong orang-orang yang merendahkan diri kepada Allah azza wa jalla.


Oleh karena itu Abu hurairah, sebagian sahabat dan tabi'in menghitung dzikir dan doa mereka dengan biji kurma ataupun kerikil diluar shalat. Dengan harapan mendapat fadilah dan pahala yang telah dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan. Bahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melihat sebagian sahabatnya menghitung tasbih mereka dengan hitungan biji-biji kurma dan Nabipun tidak menegurnya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud dalam bab Nikah ,dari abi nadhir beliau berkata :" seorang Syekh dari Thafawa berkisah kepadaku" : Aku bertamu kepada Abu Huraira diMadinah, "Aku tidak melihat seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam yang lebih semangat dan lebih memperhatikan tamu dari pada beliau. Pada suatu hari ketika aku didekatnya, dan beliau diatas tempat tidurnya dengan membawa kantong berisikan kerikil atau biji kurma yang menghitam, sedangkan beliau menggunakannya untuk bertasbih. ketika kerikil/ biji kurma didalam kantong itu habis beliau meletakkan kantongnya diatas kerikil/biji kurma. Kemudian aku kumpulkan kerikil/biji kurma itu, lalu aku masukkan kedalam kantong, kemudian aku haturkan kepada beliau.

Ibnu Majah, Abu dawud, At-tirmidzi, An- nasai dan Imam Hakim dalam Mustadraknya meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bertasbih menggunakan tangan beliau Shallallahu 'alaihi wasallam yang Mulia. Al-'Azizi dalam As-siraj Al-munir Syarah Al-jaami' Al-shaghir menjelaskan " artinya menghitung Dzikir/ Tasbih dengan menggunakan Jari-jari, agar jari-jari itu bersaksi untuknya . Karena jari-jari itu nanti akan berkata pada saat dimintak pertanggung jawaban(dihari penghitungan amal).

Dari kisah dalam riwayat Abi dawud dan riwayat-riwayat yang lain, bisa ditarik kesimpulan bahwa :

Boleh menghitung dzikir atau tasbih dengan menggunakan alat selain guratan-guratan jari. Baik berupa kerikil, biji kurma dan sebagainya. Dengan menggunakan tasbih yang dirangkai seperti kalung, ataupun dikumpulkan didalam kantong hukumnya sama saja karena semua itu adalah perantara untuk memudahkan kita dalam menentukan jumlah-jumlah dzikir yang diinginkan. Adapun batas pemisah dalam tasbih 33 x 3 itu hanya sekedar pemisah antara hitungan 33 pertama kepada 33 berikutnya sesuai dengan riwayat dzikir setelah shalat 33,33 dan 34. wallahu a'lam.

B. Beberapa faidah Tasbih
1- Mengingatkan kita kepada Allah Subhanahu wata'ala baik dalam keadaan berdiri,berjalan, berbaring dan sebagainya.
2-Sebagai sarana untuk melanggengkan kita dalam berdzikir. Sudah merupakan bukti nyata, dengan memegang Tasbih hati kita menjadi bergerak untuk selalu berdzikir dan mensucikan nama Allah Subhanahu wa Ta'ala.
3-Dengan menggunakan Tasbih kita mengikuti golongan orang-orang yang selalu mengingat kepada Allah Swt , sebagai mana dalam kutub al-asanid dijelaskan mengenai keberadaan ijazah munawalah Tasbih dari guru ke guru hingga al-imam Hasan Al-bashri at-tabi'i.
4-Tasbih juga merupakan alat penyelamat dunia dan akhirat. Dengan banyak berdzikir kita akan terselamatkan dari afat dunia dan adzab akhirat yang pedih. Wallahu a'lam bisshawab.

C.Niatan ketika bertasbih
Niat adalah menyengaja sesuatu pekerjaan bersertaan dengan melakukannya. Niat, menyengaja, bertujuan memiliki arti yang sama. Segala amal perbuatan tergantung dari niatnya, dan orang yang melakukan perbuatan, ia akan mendapatkan sesuai dengan tujuan dan niat dari hatinya. Dan barang siapa berbuat ataupun beramal dengan tujuan mendapat ridha Allah dan Rasul-Nya maka ia akan mendapat ridha Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa melakukan amal kebaikan hanya karena mendapatkan duniawi maka ia hanya akan mendapatkan duniawinya saja.

Dalam hadits innama Al-a'malu bi al-niyyaat. lafadz al-niyyat berbentuk jama' muannats saalim. Dari sini bisa ditarik kesimpulan "jika kita melakukan satu kebaikan namun dengan sepuluh niatan maka kita akan mendapatkan sepuluh niatan itu walaupun dalam satu kebaikan".contoh :dalam satu permasalahan, menuntut ilmu adalah satu kebaikan yang didalamnya kita bisa memasukkan beberapa niatan 1-melaksanakan perinta Allah dan mencari Ridha-Nya 2-Mengikuti sunnah dan perintah Rasul 3-memahami Agama 4-Menjaga Akidah 5-Menghilangkan kebodohan 6-Menjaga dan melestarikan Ajaran Allah 7-Mengamalkan setelah mengetahui dst… maka dengan satu kebaikan berupa menuntut ilmu dan dengan beberapa niatan yang positif kitapun akan mendapatkan sesuai dengan beberapa niatan tersebut.

Keberadaan manusia dimuka bumi hanya untuk berbakti sesuai dengan perintah Tuhan yang telah menciptakan mereka. Hal ini sesuai dengan firman Alah dalam
QS 51:56 :


"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku"


Dan bukan merupaka ketulusan dalam pengabdian jika seorang hamba tidak ikhlas dalam mentaati perintah Tuhan-nya. QS 98:5 :

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nyadalam (menjalankan) agama dengan lurus".

Dalam hadits mursal disebutkan : "barang siapa memakai wangi-wangian karena Allah maka dihari kiyamat dia akan datang sedangkan baunya lebih harum dari pada minyak misik ".

Betapa pentingnya kemurnian niat dalam kehidupan kita.Al-imam al-Ghozali dalam ihya'nya menjelaskan dalam hal pembenahan niat. seseorang ketika mengajar, berdagang , makan mengatakan "aku berniat mengajar karena Allah atau aku makan karena Allah " dan menyangka hal itu adalah niatnya ooh jauh sekali. Hal itu merupakan perkataan hati , lisan atau hanya bersitan dalam hati. Niat bukan hanya sekedar itu. Sedangkan niat adalah halyang dapat membangkitkan hati ,mengarahkan dan kecondongan hati yang dzahir sebagai pendorong dalam melakukan pekerjaan.
Oleh karena itu untuk melakukan amal kebaikan, agar kita mencapai keikhlasan dalam niat dan tujuan, kita membutuhkan keimanan dan keyakinan yang kuat kepada Syariat yang diajarkan oleh Allah melalui Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam.

Keikhlasan dalam beribadah adalah sebuah keharusan.walaupun keikhlasan itu memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri sesuai dengan kedalaman batin pelakunya. Allah Subhanahu wata'ala berfirman dalam (QS 18:110) :

"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya ".

Betapa pentingnya keikhlasan Imam Al-nasai dalam kitab haditsnya menyebutkan :

"Pertolongan Allah 'Azza wa jalla kepada ummat ini dikarenakan orang-orang lemah, doa dan keikhlasan mereka ".

Keikhlasan yang tertinggi adalah ketika seorang hamba melakukan segala sesuatu hanya karena Allah subhanahu wata'ala. Hanya karena-Nya kita semua ada dan diadakan , hanya dari-Nya segala sesuatu yang kita rasakan Laa Ilaha Illallah, Muhammad Rasulullah.

Ketika bertakbir (Allahu akbar ) : kita agungkan Dzat Allah Subhanahu wata'ala.
Ketika bertahmid (Alhamdulillah) : kita puji Allah, segala puji bagi Allah.
Ketika bertasbih (subhanallah) : kita sucikan Dzat Allah dari segala kekurangan, karena Dialah Dzat yang maha Sempurna.
Ketika bertahlil (laa Ilaha ilaa Allah) : kita Esakan Allah. Hanya Dialah Tuhan penguasa seluruh jagat raya, surga dan neraka.
Ketika ber hauqala ( Laa haula walaa quwwata illaa billah ): kita hayati dan kita salami bahwa tak ada kekuatan ibadah dan menjauh dari dosa kecuali hanya dari Allah.
Ketika bershalawat :Allahumma shalli wa sallim 'alaa Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam kita mintakkan rahmat, kasih saying dan keselamatan atas Rasul yang telah mengajarkan kitaakan kebenaran dan mengenalkan kita kepada Sang Pencipta.
Dan seterusnya yang pada intinya segala Taqarrub kita pendekatan kita amal kita kebaikan kita hanya karena Allah, mencari Ridha Allah semata. Wallahu A'lam bisshawab.( Allah Maha Mengetahui akan Kebenaran).
Read More >>

SHOLAT BUKAN BEBAN TAPI KEDEKATAN

Bismillah, Alhamdulillah,wa Assholatu, wassalamu ala Rasulullah...

Shalat...
Adalah doa menurut bahasa.
Menurut istilah Shalat adalah Ibadah yang didahului dengan takbiratul ihram dan di akhiri dengan salam.

Dalam 24jam hanya lima waktu sholat yang difardukan.
Sebagai mana dagangan yang anda perjual belikan, hanya 10% yang wajib kita zakatkan.

Jika ingin bersedekah, maka dengan sedekah nilai plus yang kita dapatkan. Shalat sunnah adalah Poin tersendiri selain shalat lima waktu yang diharuskan. Ibadah sunnah yang kita lakukan mampu menambah kan kedekatan kita kepada Dzat yang menciptakan kita.Dengan memanfaatkan kesempatan untuk menambah kedekatan maka Cinta Ilahi yang kita dapatkan.

Didalam shalat terdapat RUKUN QOULI, FI'LI dan QOLBI. Rukun Ucapan, gerakan dan niat dan khusyu' dalam hati.

Dengan sholat kita akan sehat. dengan bergeraknya tubuh kita dalam sholat maka bergerak pula otot dan saraf-saraf kita.

Sedangkan khusyu' dan konsentrasi dalam shalat akan menurunkan ketegangan dan tekanan dalam fikiran kita.

Setelah melakukan aktifitas sepanjang hari maka tubuh dan otak kita terasa tegang, dengan mandi (kalau sempat) wudhu' membasuh muka , bermunajat,berdoa kepada Allah maka fikiran dan tubuh kita akan kembali segar..Fresh... hingga mampu untuk beraktifitas kembali dengan fikiran yang segar bugar seperti kesegaran diwaktu pagi...


Dengan senam dan bernyanyi mungkin kita juga mendapatkan kesehatan jasmani. namun dengan senam saja kita tidak akan mendapatkan ketenangan,kedamaian Ruhani,sebagai mana yang kita dapatkan dalam shalat yang disertai dengan khusyu'. Hanya dengan shalat kita mendapatkan kesehatan dan kestabilan Ruhani. Kekhusyan menumbuhkan kecerdasan Ruhani kita.

Tubuh tanpa Ruh/nyawa tidak akan merasakan kelezatan.( tidak ada ceritanya mayat makan Sate hehehe...). Ruh tanpa tubuh bagai arwah gentayangan (hehehe). Shalat yang tidak khusyu' tidak akan menemukan kelezatan didalamnya.khusyu' tanpa Shalat bagaikan mencium aroma yang lezat tapi tidak boleh makan ( nggak bisa kenyang duuunk )

Ketenangan Jiwa bisa kita dapatkan melalui :

1-Banyak berdzikir . tidak sedikit hikmah atau faidah dari dzikir. dengan banyak berdzikir maka jasmani dan ruhani kita akan selalu terjaga.

2-Membaca Alquran dan menghayati ma'na kandungannya. min maa laa syakka " Quran adalah firman Tuhan yang Maha Mengetahui dan kaya akan solusi.

3-Shalat yang khusyu' / ibadah, shalat di 2/3 malam, (mengungkapkan semua doa,cita, harapan dan memohon kepada Allah ).

4-Puasa menahan Nafsu, lapar dan dahaga... memilah antara nafsu almuthmainnah dan lawwamah...(baik dan buruk) untuk memilih jalan yang paling diridhai Allah Subhanahu wa ta'ala...

5-Mendatangi majlis ta'lim orang-orang sholih...dengannya kita akan banyak mendapatkan siraman Ruhani..


SELAMAT MENI'MATI HIDUP DAN BERTAQORRUB


Wallahu a'lam bisshowab
Read More >>