KAIDAH HUKUM ADAT ACUAN DALAM MENJAWAB PROBLEMATIKA MODERN

PP MUS (http://www.ppmus.com/artikel/278-kaidah-hukum-adat-acuan-dalam-menjawab-problematika-modern-1)

Islam adalah ajaran terakhir yang diwahyukan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallama. Sesudah itu, tidak ada lagi Rasul yang diutus dan tidak terdapat lagi wahyu yang diturunkan untuk mengatur umat manusia di muka bumi. Hal ini mengisyaratkan bahwa agama Islam yang dinyatakan sempurna di akhir hayat Rasulullah, benar-benar membawa ajaran yang memiliki dinamika sangat tinggi, mampu menampung segala macam persoalan baru yang ditimbulkan oleh perkembangan sosial. Persoalannya kemudian adalah, bahwa pada kenyataannya ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang masalah hukum sangat terbatas jumlahnya. Sementara itu, terdapat kenyataan lain yang tidak dapat dibantah yaitu berkembangnya persoalan sosial yang selalu mendesak ditambah beraneka-ragamnya adat dan tradisi dalam kehidupan masyarakat. Dua kenyataan inilah yang menyebabkan umat Islam selalu dihadapkan pada suatu tantangan, apakah relevansi hukum Islam dapat dibuktikan dalam realita kehidupan yang selalu berkembang ini.
 
I.’URF (HUKUM ADAT)
A. Pengertian
Secara etimologi, al-‘Urf kadang diartikan kebiasaan baik, sifat dermawan, sabar, pengakuan, dan berurutan. Sedangkan al-‘aadah yang diambil dari kata ‘awada (عود) berarti terus-menerus dan gigih dalam melakukan sesuatu.
Dipandang dari terminologi fiqh, Imam Al-Ghazali dalam kitab al-mustashfa, mendefinisikan ‘urf sebagai berikut: “’Urf adalah suatu praktek yang berlaku dan menjadi satu ketetapan dengan bersandar pada apa yang di anggap baik oleh akal serta dapat diterima oleh manusia normal[1], beliau juga tidak membedakan antara adat dengan ‘aadah. Akan tetapi, sebagian ulama membedakan diantara keduanya. Mereka memberi definisi ‘aadah dengan praktek yang terjadi berulang-ulang dengan tanpa adanya hubungan emosional (nafsani)[2]. Dari definisi ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa ‘aadah lebih luas cakupannya dari pada urf

B. Proses Timbulnya Adat
Bila dicermati, segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia tidak lepas dari hal yang mendorong dan menarik hatinya untuk menjalankannya, baik timbul dari dirinya sendiri, seperti; perasaan malu ketika dihina orang yang lantas membuat dirinya untuk balas dendam, ataupun timbul dari kondisi lingkungan sekitarnya, seperti; hasil penelitian ilmiah bahwa dalam aktivitas tertentu terdapat satu kemaslahatan. Kemudian, jika aktivitas tersebut dapat diterima, diikuti dan dijalankan  oleh kalangan masyarakat setempat dengan berulang-ulang sehingga menjadi suatu ketetapan, maka lahirlah apa yang di sebut adat.

Demikian juga proses terjadinya istilah-istilah tertentu, karena sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin lepas dari rasa saling membutuhkan satu sama lain. Untuk itu, mereka sangat memerlukan alat komunikasi, baik lewat perkataan atau isyarat, yang dapat membantu mengekspresikan keinginan-keinginan mereka. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, bertambahnya kebutuhan dari satu generasi ke generasi yang lain, dan tersebar luasnya manusia ke seluruh permukaan bumi, mereka tidak mungkin untuk tetap menggunakan bahasa asli tanpa adanya tambahan dan perubahan sama sekali. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar dalam satu komunitas terdapat penggunaan istilah tertentu yang tidak terdapat dalam komunitas yang lain.
Tidak semua adat, yang tak terhitung jumlahnya ini, mempunyai tujuan atau pendorong yang sama. Akan tetapi kebanyakan timbul dari sebab-sebab yang berbeda tergantung kondisi dan dinamika yang terjadi. Sedangkan sebagian besarnya kembali pada  faktor hajat dan 'umum al-balwa. Adakalanya, adat yang berjalan dalam satu kalangan tidak berdasarkan kebutuhan, mereka melakukannya lebih karena warisan dari generasi sebelumnya, seperti apa yang berlaku dalam keyakinan umat jahiliyah dahulu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ.  
“bahkan mereka berkata; Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. (QS. Az-Zukhruf: 22)

C. Kekuatan Adat
Adat yang telah mengakar dalam suatu komunitas, akan sangat mempengaruhi mental dan emosi mereka. Adat tersebut akan senantiasa dimulyakan, dianggap sebagai kebutuhan primer dalam kehidupan dan bahkan dianggap sebagai “agama” yang harus disucikan dan tidak boleh disentuh. Hal itu, seperti dikatakan psikolog, dikarenakan suatu pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang akan menimbulkan interaksi langsung dengan syaraf dan anggota tubuh lainnya dan akan memberi pengaruh kejiwaan.
Mereka mengatakan;”Adat adalah tabiat manusia yang kedua”. Maksudnya adalah, adat mempunyai kekuatan yang hampir sama dengan kekuatan pembawaan asal manusia, sehingga sangat sulit untuk dibendung, dialihkan ataupun dihilangkan lebih-lebih jika menjadi tuntutan kebutuhan. Sebab itu, kita melihat para Nabi dan juru dakwah seringkali mendapatkan perlawanan, mengalami kesulitan dan menanggung beban berat dalam menyebarkan dakwah demi untuk mencabut semua bentuk adat yang tidak dibenarkan. Berbagai metode harus mereka terapkan, mulai dari pelarangan secara bertahap, bahkan kadang harus menempuh jalan peperangan. ‘Aisyah Ummil Mu’minin berkata:
إنما نزل أول ما نزل سورة من المفصل فيها ذكر الجنة والنار حتى إذا ثاب الناس الى الإسلام نزل الحلال والحرام, ولو نزل أول   شيء: لا تشربوا الخمر.., لقالوا: لاندع الخمر أبدا. ولو نزل: لا تزنوا.., لقالوا: لا ندع الزنا أبدا.
“Sesungguhnya (Al-Qur’an) yang pertama kali diturunkan adalah ayat-ayat yang menerangkan tentang surga dan neraka. Kemudian setelah manusia berkumpul (masuk) ke dalam Islam, maka diturunkanlah ayat-ayat (yang menerangkan) halal dan haram. Seandainya pertama kali diturunkan “Janganlah kalian minum khamr”, maka pastilah mereka mengatakan: ”Kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya”. Dan seandainya yang diturunkan “Janganlah kalian berzina”, pastilah mereka bilang: “Kami tidak akan meninggalkan perzinahan selamanya”.(HR. Bukhori)[3]
Maksud dari adanya syari'at adalah menghilangkan kesempitan dan kesulitan dalam kehidupan manusia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ... الأية 
".....Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu....."(QS. Al-Baqarah; 185).  
Demikian juga, Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:  
بعثت بالحنيفيّة السمحة 
"Aku diutus dengan (membawa agama) yang lurus dan penuh dengan kemudahan" (HR. Khatib Al-Bagdadi).[4]  
Oleh karena itu, kita harus benar-benar memperhatikan, apakah adat yang sudah terlanjur mengakar di masyarakat, memang dibenarkan dan ditetapkan oleh kaidah-kaidah syara’ atau tidak, sehingga harus dilestarikan atau harus dihentikan walaupun dengan menghunus pedang, demi menjaga manusia dari kesempitan dan kesulitan hidup dan demi terciptanya tatanan yang dapat dibanggakan.[5] Dalam hadist yang diriwayatkan ‘Aisyah Radliyallahu ‘Anhaa. 
أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلّم ما خيّر بين شيـئين إلا اختار أيسرهما ما لم يكن إثما. 
“Sesungguhnya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah diperintahkan untuk memilih diantara dua perkara kecuali akan memilih perkara yang paling mudah selagi bukan merupakan dosa” (HR. Bukhori Muslim).[6]
 
D. Pembagian Adat
Adat terdiri atas beberapa hal dengan memandang tiga aspek penting:
  1. Memandang sebab. Hal ini dibagi menjadi (a) qauly, yaitu istilah yang telah disepakati bahwa ketika diucapkan maka dengan sendirinya dan tanpa membutuhkan qarinah, akan tertuju pada arti yang dimaksud dan bukan madlulnya secara sempurna, seperti kata “dirham” yang sebelumnya mencakup semua jenis mata uang, kemudian dikhususkan pada mata uang perak, dan (b) amaly, pekerjaan yang telah berlaku baik secara umum ataupun terbatas dalam komunitas tertentu.
  2. Memandang orang yang meletakkannya. Bagian ini terbagi atas (a) 'aam, yaitu kebiasaan yang telah berjalan dalam semua Negara Islam, baik di masa lampau atau di masa kini. Misalnya: kata tholaq digunakan untuk putusnya hubungan suami-istri. (b) khosh, yaitu kebiasaan yang hanya berlaku dalam suatu daerah tertentu, seperti; kebiasaan penduduk Irak menggunakan istilah “al-dabbah” untuk menunjukkan arti kuda. (c) syar'iy, yaitu istilah yang digunakan oleh syara' untuk menunjukkan arti tertentu, seperti istilah sholat yang semula mempunyai arti do'a kemudian digunakan oleh syara' untuk menunjukkan ritual ibadah tertentu. Sebenarnya adat ini termasuk adat khosh, tetapi Fuqaha memberi istilah tersendiri karena dianggap sakral. 
  3. Memandang arti etimologisnya, (a) al-muqorrir lahu, yaitu kebiasaan yang pengertiannya tidak berubah dari arti etimologisnya. Misalnya; ketika seseorang bersumpah untuk tidak membeli Mawar, maka menurut fuqaha, dia tidak dianggap melanggar sumpahnya kecuali dengan membeli bunga mawar, dengan alasan adat. Hal ini, sesuai dengan arti etimologi dari mawar itu sendiri yang berarti bunga Mawar. (b) al-qodli ‘alaih, yaitu adat yang berubah dari pengertian etimologinya. Misalnya; bersumpah tidak akan membeli Violet (nama bunga), maka dia dianggap melanggar sumpahnya kalau membeli minyak wangi yang terbuat dari bunga tersebut dan tidak melanggar dengan membeli bunganya, karena adat penggunaan kata violet secara mutlak pada produk minyak wangi. Padahal, secara etimologi violet berarti jenis bunga tertentu.  
Dari segi aplikasi hukumnya, adat dibagi menjadi dua. Pertama, ‘Aadah Syar'iyyah, yaitu suatu adat yang ditetapkan oleh syara', baik berbentuk perintah, larangan atau ibahah. seperti keharusan menutup aurat dalam sholat, diperbolehkannya bai’ al-‘aroya[7], kewajiban qishas dalam pembunuhan dan lain-lain. Adat yang seperti ini, setelah wafatnya Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam, tidak dapat berubah. Apa yang oleh syara’ dianggap baik, maka itulah kebaikan yang sebenarnya. Demikian juga adat yang dianggap tidak baik, walaupun terjadi penjungkir-balikan pengertian dari sebagian golongan dengan mengatakan; “Sistem talak dalam Islam sudah tidak relevan dengan zaman modern ini dan bertentangan dengan kemaslahatan manusia, dan sesungguhnya hukum qishas dalam masalah pembunuhan adalah hukum yang kejam, bertentangan dengan HAM, maka sepantasnyalah dua hukum tersebut direvisi”. Hal ini dikarenakan, aktifitas-aktifitas yang telah ditetapkan syara’ melalui nash-nashnya adalah bentuk hukum-hukum syariat yang tidak bisa dirubah hanya dengan pertimbangan baik atau buruk oleh akal pikiran. Adapun pada masa Rasulullah masih bisa terjadi perubahan hukum yang kita kenal dengan istilah naskh. 

Kedua, ‘Aadah ghoiru syar'iyyah, yaitu adat yang tidak ada ketetapan dari syara'. Adat ini terbagi menjadi; (a) tsabitah, yaitu adat yang tidak pernah mengalami perubahan dalam setiap kondisi, ruang, dan waktu. Seperti, perasaan ingin makan, minum dan lainnya. Dan (b) mutabaddilah, yaitu adat yang bisa berubah tergantung situasi dan kondisi, ruang dan waktu. Adat ini sangat banyak ragamnya, sebagian darinya terjadi akibat perbedaan cuaca yang mempengaruhi cepat atau lambatnya pertumbuhan, perbedaan istilah, perbedaan sistem kerja dan atau perbedaan asumsi dalam menentukan aktivitas tertentu yang dianggap baik dan buruk, seperti; perbedaan “Apakah menanggalkan tutup kepala dapat menjatuhkan harga diri atau tidak”.

Ketetapan hukum yang didasarkan pada ‘aadah ghoiru syar’iyah, implementasinya tergantung pada jenis adat itu sendiri. Jika adatnya permanen, maka hukumnya juga permanen, dan jika masih bisa mengalami perubahan, maka hukumnya juga bisa berubah sesuai dengan adat tersebut. 

II. MAKNA PERHATIAN ISLAM TERHADAP ADAT DAN DALILNYA 
Para fukaha dengan madzhab yang berbeda-beda, sepakat bahwa adat merupakan salah satu pertimbangan dalam mengambil ketetapan hukum dan  menjadikan adat sebagai dasar dari beberapa sumber hukum fiqh. Ibn ‘Abidin dalam Nasyr al-‘Urf menyatakan: “ketahuilah, bahwa sebagian ulama (Syihabuddin Al-Qarafi Al-Maliki[8]) menjadikan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:  
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ... الأية 
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (baik)…” (Al-A’raaf: 199), sebagai salah satu dalil bahwa Islam sangat memperhitungkan adat”. Dalil ini tentunya mengacu pada keterangan bahwa yang dimaksud “Al-‘Urfi” dalam ayat di atas adalah adat yang telah dikenal dan dijalankan oleh manusia. Mereka juga mengambil dalil, seperti yang dikutip oleh Jalaluddin As-Suyuthi Asy-Syafi’i dalam Al-Asybah wa An-Nadzo’ir, dari sabda Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam: 
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
"apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itupun merupakan kebaikan menurut Allah" (HR. Ahmad). [9]
Berikut ini adalah beberapa posisi penting adat dalam kaitannya dengan hukum-hukum syariat.
A. Adat sebagai Dasar Penetapan Hukum
Sebagai agama yang universal, Islam sangat menaruh perhatian (concern) terhadap segala budaya dan adat yang berlaku di kalangan umat manusia dalam setiap waktu dan kondisi, baik yang bersifat umum atau hanya berlaku dalam satu komunitas tertentu. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya ketetapan-ketetapan hukum dalam Islam yang berdasarkan adat yang berlaku.  
Meskipun demikian, menurut fuqoha, adat tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum (dalil) untuk menetapkan suatu hukum. Karena definisi dari adat, seperti yang telah dikemukakan di atas, adalah: suatu praktek yang timbul dari dorongan akal pikiran, kemudian diikuti oleh orang lain yang pada akhirnya menjadi suatu ketetapan tersendiri. Dari definisi ini, dapat diketahui bahwa timbulnya suatu adat bersumber dari akal pikiran.
Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa akal tidak dapat dijadikan suatu petunjuk dari adanya hukum Allah dalam suatu perkara. Mereka menyatakan, akal pikiran pada hakikatnya tidak bisa menentukan antara baik, buruk, maslahah dan mafsadah. Karena tidak pernah ada jaminan bahwa akal, sejernih apapun, akan selalu benar, jaminan itu hanya ada pada agama dan syariat yang diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja. Pendapat ini menjadi sangat jelas ketika satu individu atau kelompok mempunyai hak membuat undang-undang. Seringkali mereka mengambil kebijakan-kebijakan hukum yang menurutnya sesuai dengan situasi dan kondisi di waktu tersebut tergantung dengan tujuan serta kepentingan yang ada. Kemudian, keesokan harinya, mereka akan menghujat peraturan yang mereka tetapkan sendiri di hari kemarin. Oleh karena itu, sering kita mendengar adanya amandemen atau revisi ulang undang-undang produk manusia.
Memang tidak bisa dipungkiri, dalam perkara-perkara yang sudah jelas merupakan suatu bentuk kebajikan dalam kehidupan sosial, seperti akhlak mulia, atau perkara yang jelas dapat menimbulkan efek negatif atau membahayakan seperti perzinahan, pembunuhan, pencurian dan lainnya, akal dapat dengan sendirinya menentukan yang baik dan yang buruk. Akan tetapi, hal ini tidaklah cukup untuk menjadikannya sebagai petunjuk akan adanya hukum Allah pada perkara tersebut. Karena kalau kenyataannya demikian, mestinya manusia akan diberi pahala dengan mengerjakan kebajikan dan akan disiksa karena melakukan kejahatan walaupun tidak ada agama dan utusan dari Allah yang memberi kabar tentang hal tersebut.
Demikian pula halnya dengan adat yang timbul dari akal pikiran, ia tidak mungkin dijadikan petunjuk dari suatu kebenaran atau kemaslahatan yang merupakan dasar dari hukum-hukum agama. Bahkan, sangat banyak adat yang berlaku dikalangan masyarakat disamping sama sekali tidak mengandung nilai kemaslahatan, sebenarnya juga membawa pada kemudharatan. Seperti, adat yang berlaku dikalangan kaum jahiliyah yang dengan tega mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka karena merasa malu. Dalam hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : 
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ 
"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah                        (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, di sebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya kedalam tanah (hidup-hidup)?......" (QS. Al-Nahl : 58-59). 
Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa adat dengan sendirinya tidak dapat dijadikan standart untuk menentukan baik dan buruk, dan tidak bisa dijadikan sumber dalam mengambil ketetapan hukum selama tidak didukung oleh salah satu dasar dari beberapa dasar pengambilan hukum yang telah ditetapkan, baik didukung oleh As-Sunnah, yaitu adat yang berlaku di masa Rasullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan tanpa adanya pengingkaran dari beliau (Taqriri), atau  Al-Ijma', baik ijma' fi'ly atau sukuty, dan atau adat tersebut dikembalikan pada hukum asal manafi' dan madharat, yaitu sebagaimana disebutkan oleh ulama ushul, hukum asal dari setiap yang membawa kemanfaatan, sekiranya tidak ada dalil, selain wanita, harta milik dan harta waqafan, adalah diperbolehkan (ibahah) berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا....الأية
"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu....."(QS. Al-Baqarah; 29). Sedangkan perkara yang membawa kemudharatan adalah dilarang (tahrim) dengan dalil sabda Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam.: 
لاضرر ولا ضرار.  
"tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain" (HR. Malik, Ibn Majah Dll).[10] Dan ketika suatu hukum ditetapkan dengan alasan adat, seperti pernyataan ulama; ”perkara ini diperbolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku", maka tidak lain hal itu karena melihat apa yang ada di balik adat tersebut dan bukan memberi pengertian bahwa adat bisa dengan sendirinya dijadikan sumber hukum.
Adat yang diperkuat oleh dasar-dasar yang telah disepakati seperti; As-Sunnah dan Ijma', akan dijaga dan dilestarikan menurut kesepakatan para ulama. Dan kalau yang memperkuatnya adalah dasar yang masih dipertentangkan seperti; Maslahah Mursalah, Istihsan dan Ijma' penduduk Madinah, maka keberadaannya juga diperdebatkan. 

B. Adat sebagai Parameter Aplikasi Hukum-Hukum Mutlak (yang belum mempunyai ketetapan pasti)
     Merupakan kebijaksanaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dzat yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, dengan mensyariatkan beberapa hukum yang mutlak dan menyerahkan kepada orang-orang yang kredibel (ulama) untuk menjelaskan dan mengaplikasikannya sesuai dengan tuntutan kemaslahatan dan adat (tradisi) yang berlaku di kalangan umat Islam pada waktu itu. Sehingga Islam mampu menjadi agama yang elastis, adaptif dan tetap relevan dalam setiap ruang dan waktu. Karena seandainya dalam Islam hanya ada satu ketetapan hukum tanpa memandang kemaslahatan dan adat yang berlaku di berbagai penjuru dunia, maka manusia akan berada dalam kesulitan yang tidak terperikan dan kiranya tidak pantas Islam menyandang predikat "Rahmatan li al-'alamin". Sebaliknya, kalau ketetapan Islam mengikuti semua kemaslahatan umat manusia dalam setiap dimensi waktu yang terus mengalami perubahan, maka perintah yang di bebankan kepada manusia akan tak terhitung banyaknya sedangkan mereka tidak sanggup lepas darinya. Hal itu akan menyebabkan hancurnya tatanan syariat yang diletakkan di atas dasar yang kuat ini, yaitu meringankan beban.    

 Di bawah ini, kami akan mencoba menyebutkan sebagian contoh hukum-hukum mutlak yang aplikasinya di sandarkan pada adat yang berlaku;

 1. Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda;
من رأى منكم منكرا فليغيّره بيده, فإن لم يستطع فبلسانه......الحديث
"Barang siapa diantara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah dia menghilangkannya dengan tangannya, kalau tidak sanggup maka dengan ucapannya......" (HR. Muslim).[11] Fuqoha menjadikan hadist ini sebagai salah satu landasan dari kewajiban hukum ta'zir bagi mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang sanksinya tidak ditetapkan secara khusus (had). Mereka mengatakan, ta'zir bisa diwujudkan dengan segala cara yang dapat mendidik dan mencegah terulangnya pelanggaran tersebut, selagi tidak sepadan dengan had yang ditentukan Allah. Pernyataaan ini, tentunya mengikut sertakan adat untuk mengimplementasikan hukum ta'zir tersebut, meskipun, ada beberapa sanksi hukum yang bertujuan mendidik dan mencegah tanpa adanya perbedaan, seperti; memukul dan memenjarakan. Al-Qarafi berkata, seperti apa yang dituturkan Ibn Farhun dalam kitab Tabshiroh; "Kebijakan ta'zir bisa saja berubah tergantung masa  dan daerahnya, karena banyak sekali bentuk sanksi dalam satu daerah dianggap ta'zir, sebaliknya dalam daerah lain justru merupakan bentuk memulyakan, seperti melepas pakaian luar (thoilasan) di negara Syiria bukanlah ta'zir tapi memulyakan, dan menanggalkan tutup kepala pada warga Andalus (Spanyol) bukan merupakan bentuk penghinaan sedangkan di Mesir dan Irak itu adalah penghinaan". Demikian juga, sebagian pelanggaran yang dapat mewajibkan ta'zir terkadang bisa berbeda-beda tergantung adat yang berlaku, seperti; menyakiti orang Islam.

 2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ...الأية
"......dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu......" (QS. Al-Tholak; 2). 


Dari ayat ini ulama’ mencetuskan syarat 'adaalah (adil) bagi seorang saksi agar persaksiannya dapat dikatakan sah atau diterima terdapat perbedaan dalam dua madzhab yang berbeda. Fuqoha’ berkata;" 'adaalah adalah tabi'at dalam diri seseorang yang dapat menarik orang tersebut untuk tetap konsis dalam taqwa dan menjaga martabat (muru'ah). Perbuatan yang dapat menjatuhkan muru'ah, yaitu perbuatan yang menurut tokoh masyarakat menunjukkan nilai moralitas rendah, dapat pula menggugurkan 'adaalah". Perlu diketahui bahwa perbuatan-perbuatan tersebut kadangkala sama dalam setiap daerah, seperti; kencing berjalan di jalanan, dan adakalanya berbeda-beda tergantung negara dan daerahnya, seperti; pekerjaan yang dianggap hina. Suatu pekerjaan tidak akan selamanya dianggap hina dalam setiap masa dan daerah, seperti; tukang tenun, dahulu mungkin dianggap sebagai pekerjaan hina, akan tetapi pada masa sekarang tidak lagi.
Walhasil, dalam Islam terdapat beberapa ketetapan yang masih dimutlakkan kemudian diserahkan ke tangan para Mujtahid, Mufti atau Qodli untuk mengaplikasikannya dengan mengambil rujukan adat yang berlaku dalam masyarakat setempat. Termasuk diantaranya, jenis nafkah yang harus diberikan pada keluarga, bentuk penjagaan dalam masalah pencurian, dan lainnya. 

C. Adat Sebagai Ganti Pernyataan
Adat, terkadang dapat mengganti hal yang semestinya membutuhkan ungkapan perkataan. Seperti; menunjukkan idzin, larangan, bahkan menunjukkan hal yang bisa dijadikan pegangan oleh saksi, hakim atau mufti. Dengan arti, adat tersebut bagi mereka dianggap seperti hal yang didengar atau dilihat sehingga mereka bisa bersaksi atau mengambil keputusan dengannya. Adat yang seperti ini, kapasitasnya diakui syara' sama dengan kapasitas perkataan dan dapat menimbulkan ketetapan yang sama dengan pernyataan. Dalam "I'lam Al-Muwaqqi'in" disebutkan: "adat diberlakukan seperti halnya syarat yang diucapkan". Dalam "Al-Qawa'id" Izzuddin bin Abdussalam menyatakan: "Pasal dalam menerangkan bahwa apa yang ditunjukkan adat dan suatu kondisi tertentu bisa mengkhususkan keumuman dan membatasi kemutlakan seperti halnya kata-kata"[12]. Hal senada juga diungkapkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah.

Salah satu contohnya adalah menghidangkan makanan pada tamu, menunjukkan bahwa tuan rumah telah memberinya idzin untuk memakannya. Memagari area tanah, menunjukkan larangan bagi orang lain mengunakan tanah tersebut. Pengunaan toilet umum tanpa mengucapkan akad sewa, menjelaskan waktu di dalamnya dan kadar air yang dipakai. Dan dalam beberapa hal, seorang hakim bisa memvonis dengan apa yang berlaku di kalangan masyarakat setempat, seperti, menentukan harta (gono-gini) milik suami atau istri ketika terjadi pertentangan antara keduanya. 

D. Adat Penggunaan Istilah Tertentu 
Penggunaan istilah tertentu dalam suatu komunitas, menurut kesepakatan ulama, juga menjadi pertimbangan dalam menentukan satu ketetapan hukum, baik menyangkut perintah syari'at atau dalam masalah sosial. Maksudnya, perkataan seseorang akan diartikan sesuai dengan arti yang biasa dipakai  daerah tersebut. Karena, secara dzohir, orang tersebut tidak akan menggunakan suatu istilah kecuali dengan arti yang berlaku. Contohnya, lafadz haji secara bahasa berarti menuju sesuatu yang diagungkan, menurut urf syar'i, haji mempunyai pengertian menuju Ka'bah pada bulan-bulan haji. Ketika Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
ياأيها الناس كتب عليكم الحج فحجوا
“Wahai sekalian manusia, telah diwajibkan atas kalian (ritual) haji, maka berhajilah kalian” (HR. Muslim),[13]  
maka, yang diperintahkan oleh Beliau adalah haji menurut urf syar’i. Hal ini, berlaku juga dalam berbagai bentuk akad dan hubungan sosial lainnya, seperti jual-beli, syarat, talak dan sumpah.
Mereka juga sepakat bahwa istilah tersebut bisa dijadikan mukhoshsish (yang mengkhususkan keumuman) dan muqayyid (yang membatasi kemutlakan). Dalam ketentuan ini, tidak ada perbedaan antara istilah yang berlaku secara umum atau hanya dalam satu komunitas tertentu, kecuali hukum yang diambil dari istilah umum akan diimplementasikan secara umum pula dan yang diambil dari istilah komunitas tertentu akan dikhususkan pada kalangan tersebut. 


[1] . DR. Ahmad Fahmi Abu Sinnah, al-adatu wa al-‘Adah fi Ra’yi al-Fuqaha’, hal. 10. 
[2] . Ibn ‘Amir al-Hajj, Syarah Tahrir, vol. 1, hal. 282. 
[3] . Shahih Bukhori, Kitab Fadloil al-Qur’an, bab, Ta’lif al-Qur’an, no-Hadist 4993. 
[4] . Khatib al-Baghdady, Tarikh Baghdad.  
[5] . Attaqrir Syarah Attahrir vol. 1/68, vol.2/2, muqoddimah Ibnu khuldun hal. 128, kutub Ilm al-Ijtima’ fi Bahst al-adati, Ilm an-Nafsi fi Bahts al-Adah, Al-Mabsuth fi Mabahits Mukhtalifah. 
[6] . Shahih Bukhori, - Kitab al-Anbiya’ – bab – Shafhah an-Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam. No-Hadist, 3560. 
[7] . Yaitu, menjual kurma atau anggur basah yang masih dibatang pohonnya dengan kurma atau anggur kering. Transaksi ini diperbolehkan di bawah kadar nishob zakat (5 wasaq) dengan catatan yang di atas batang pohon ditaksir terlebih dahulu dan yang kering di takar. Abi Zakariya al-Anshori, Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala Tuhfah ath-Thullab, Dar al-Fikr, Beirut, vol- II, hal. 63-64. 
[8] . Abu al-‘Abbas Syihabuddin Al-Qarafi Al-Maliki, Al-Faruq, vol. 3, hal. 149. 
[9] . ini adalah sebagian ucpan dari Abdullah bin Mas’ud  ra.  Yang lengkapnya :
إن الله تعالى نظر إلى قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله عليه وسلم خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه ….. الحديث إلى أن قال وما رأوه سيئا فهو عند الله سيئ .
Imam Ahmad, al-Musnad vol. 1/379.  
[10] . Imam Malik, al-Muwattho’,-Kitab al-Aqdliyah- bab – al-Qodlo’ fi al-Mirfaq.  
[11] . Shahih Muslim, - Kitab al-Iman – bab – Kaun an-Nahyi ‘an al-Munkar min al-Iman. 
[12] . Ibn Abdissalam, Al-Qawa’id, vol. 2, hal. 121. 
[13] . Shahih Muslim, kitab al-Hajj, - bab- Furidlo al-Hajj Marrotan fi al-‘Umr.

Artikel ini pernah dimuat dalam jurnal Teras Pesantren edisi VIII
Editor: Irham Ma'arif

1 comments:

download kaspersky said...

info bermanfaat nihh
tema winamp keren

Post a Comment