Showing posts with label Tokoh Ulama'. Show all posts
Showing posts with label Tokoh Ulama'. Show all posts

Islam Anti Kekerasan, Sejarah Islam Nusantara, Fungsi Masjid

islam anti kekerasan Agama Islam di nusantara itu berkembang tidak melalui pedang atau dengan suatu peperangan. Akan tetapi, agama Islam tersebar dengan metode yang lain dari pada yang lain. Yaitu, dengan cara mendirikan padepokan atau pondok pesantren.

 

Pesantren pertama kali yang ada di pulau Jawa adalah terletak di Ampel Denta, suatu padepokan yang berada di Surabaya yang diberikan oleh Prabu Brawijaya kepada Sunan Ampel (Raden Rahmat). Dengan padepokan ini, Sunan Ampel mengajarkan Islam kepada putra-putri penduduk pribumi yang berasal dari bermacam-macam etnis dan latar belakang. Ada yang dari latar belakang mantan perampok, seperti Sunan Kalijaga. Ada yang dari paham Kejawen, seperti Sunan Muria. Dan ada yang berasal dari keluarga kerajaan, yaitu Sultan Fatah, Raden Hasan dan Raden Husein, dan lain-lain dari beberapa penduduk pribumi.

 

Semua santri-santri yang dari aneka etnis ini bersatu padu hidup dalam satu tempat. Mereka belajar dan menuntut ilmu kepada Raden Rahmat yang merupakan keponakan putri Campa, salah satu selir dari Raja Brawijaya.

 

Untuk mengembangkan persebaran agama Islam di nusantara, para Wali Songo yang diketuai oleh Sunan Ampel merintis sebuah masjib agung yang terletak di kota Demak, masjid Bintoro. Masjid ini merupakan perpaduan antara budaya Arab dan Jawa, sebab serambinya masjid ini diambil dari serambi yang ada di kerajaan Majapahit. Dari dua perpaduan yang antik ini banyak orang yang mengkeramatkan masjid Bintoro.

 

Keanehan masjid ini juga terletak pada sakanya. Mulanya oleh arsitekturnya (kanjeng Sunan Kalijaga), sakanya ini ada tiga (tiga ini merupakan lambang Iman, Islam dan Ihsan), kemudian setelah ditimbang-timbang oleh kanjeng Sunan Kalijaga, saka tiga ini kurang pas. Akhirnya, kanjeng Sunan Kalijaga menambahkan satu saka lagi yang akhirnya jumlahnya menjadi empat. Saka terakhir ini tidak seperti yang tiga. Tapi, saka terakhir ini terbuat dari tatal (serpih-serpih kayu yg ditarah (diketam). Dari jumlah empat yang digagas oleh Sunan Kalijaga ini mempunyai sebuah arti bahwa orang Islam yang ingin selamat dunia dan akhirat harus menjalankan empat perkara.Yaitu, Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Makrifat.

 

Masjid merupakan kunci syiarnya agama Islam. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw di awal dekade Hijriyah. Masjid yang pertama beliau bangun adalah masjid Quba. Kemudian di tengah perjalan hijrahnya, beliau membangun masjid lagi, yaitu masjid Jumat. Dan terakhirnya ketika Nabi Muhammad Saw sampai ke Madinah, beliau berhenti di mana unta yang dikendarai akan berhenti. Di situ beliau bertempat tinggal dan membangun masjid Nabawi. Dari uraian sejarah tadi menunjukan betapa pentingnya sebuah masjid sebagai pusat penyebaran agama Islam. Agama Islam di Sarang, tempat di mana kita menimba ilmu juga tidak bisa lepas dari peran penting masjid seperti fungsinya yang terdahulu. Masjid pertama kali di Sarang bertempat di Belitung yang didirikan oleh orang yang sakti mandraguna yang merupakan leluhur dari ulama-ulama Sarang. Kapan masjid Sarang itu berdiri tidak ada orang yang mencatat. Namun, di masjid itu banyak sekali terdapat keanehan sebagaimana yang disaksikan oleh Syaikhina Maimoen Zubair. Masjid ini tidak memakai paku. Usuk dan rengnya hanya ditumpukan pada sebuah lubang untuk pengerat.

 

Keanehan masjid Belitung juga dilambangkan pada sebuah ikan Lele yang berwarna Putih yang terletak di kolam yang tidak jauh dari masjid tersebut. Dahulu ketika bangunannya tidak memakai paku, Lele Putih itu masih sering menampakkan diri. Namun, setelah masjid tersebut sudah direnovasi sebagaimana masjid-masjid yang lain, ikan Lele tadi sudah tidak nampak lagi. Subhanallah. Sungguh kejadian ini pernah dialami oleh Syaikhina Maimoen Zubair sendiri.

 

Nenek moyang Syaikhina Maimoen Zubair zaman dahulu sering Jumatan di masjid Belitung. Beliau berasal dari Madura, beliau adalah Kiai Usmant bin Kiai Ya’qub bin Kiai Ma’ruf bin Kiai Shamad bin Kiai Abdurrafiq bin Kiai Abdul Mufid. Setelah masjid Agung Bintoro jadi, masjid itu tidak langsung diresmikan. Tapi, menunggu pembuatan Serambi yang diambil dari kerajaan Majapahit yang sering digunakan untuk pasebanan pembesar keraton.

 

Ketika kerajaan Majapahit tumbang, kemudian digantikan dengan kerajaan Demak dan karajaan yang berada di kota Solo, yaitu kerajaan Pajang. Kerajaan Demak dipimpin oleh Sultan Fatah, putra Brawijaya dari selirnya. Sedangkan kerajaan Pajang dipimpin oleh putra Brawijaya dari permaisurinya. Raden Fatah sejak dari kecil sudah menganut agama Islam, sebab ibunya beragama Islam. Di dalam Islam jika ada anak lahir dari ibu yang Islam dan ayah yang tidak Islam, maka anaknya menjadi Islam, karena agama Islam itu tinggi tidak ada yang mengungguli agama Islam.

 

Kedua kerajaan hasil perpecahan Majapahit tadi saling menghargai. Meskipun sebenarnya Pajang ini masih menganut ajaran Hindu yang sangat kental sekali dengan paham kejawennya. Kental dengan yang namanya mitos pantai Selatan. Namun, sedikit demi sedikit Islam tertanam di hati orang Solo, meskipun tidak sekuat dengan Islam yang ada di Demak. Maka dari itu, jangan kasar-kasar kalau mengajarkan agama Islam kepada orang Solo.

 

Sebagai simbol kerukunan kerajaan tersebut, Raja Pajang mengutus dua pemuda yang sudah masuk Islam untuk pergi ke Demak. Namun, belum sampai ke Demak kedua utusan tersebut meninggal di jalan, tepatnya di daerah Cepu, di Sumber Wates. Utusan tadi terkenal dengan sebutan dengan Sunan Janjang. Sunan Janjang ini adalah salah satu Sunan yang gemar akan budaya Wayang dengan lakon Semar dan Gareng.

 

Setelah masjid yang menjadi tanda syiarnya agama Islam, hendaknya umat Islam itu selalu berpegang teguh pada ajaran ulama salaf dengan mengkaji karangan-karangannya yang bertuliskan dengan literatur bahasa Arab tanpa diberi harakat dan makna. Mereka dapat memahami kitab tersebut. Tapi, sayangnya di zaman sekarang, kebudayaan dengan kedua metode tersebut kian hari tambah berkurang. Banyak orang yang memahami ajaran Islam lewat terjemahan. Mereka menjadi kiai tetapi tidak bisa membaca kitab gundul. Sungguh aneh kenyataan ini. Syarat untuk tafaqquh fiddin itu harus bisa berbahasa Arab, sebab Al-Quran dan al-Hadist itu berbahasa Arab.

 

Inilah rahasia Allah. Allah tidak bisa dipaksa. Allah berkehendak untuk melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya. ”Saya menginginkan kamu juga menginginkan tapi Allah melakukan apa yang diinginkan-Nya.” Tapi, jangan kamu hina mereka yang mempelajari agama Islam dengan lewat terjemahan. Biarlah mereka melakukan jalannya sendiri. Yang terpenting kamu sekalian melakukan jalan yang sesuai dengan ajaran yang ditempuh ulama salaf.

Berkaitan dengan permasalahan di atas, dahulu Syaikhina Maimoen Zubair pernah showan kepada salah satu kiai yang mempunyai keramat. Beliau adalah Kiai Rahmat. Di perjalan itu beliau ditemani dengan temannya. Namun, teman Syaikhina Maimoen tadi tidak sadarkan diri di tengah perjalannya. Tiba-tiba ada seseorang yang datang entah dari mana asalnya. Orang tersebut berpesan kepada Syaikhina Maimoen untuk mempertahankan tulisan yang ditulis dengan huruf alif, ba’, tak (huruf Hijaiyah). Kelak akan ada zaman, di mana seseorang belajar agama Islam tidak lagi menggunakan tulisan tersebut.

Setelah doa orang tersebut diamini oleh Syaikhina Maimoen, tiba-tiba orang tersebut hilang entah ke mana. Subhanallah. Marilah kita mewarisi jejak-jejak ulama salaf dengan cara mempelajari Islam yang sesuai dengan jejak ulama salaf tersebut. Yaitu, dengan cara memakai kitab yang berliteratur Arab. Tapi, kalau ada yang memakai terjemahan jangan diganggu-ganggu. Biarkanlah mereka menempuh jalan yang diyakininya.

Salah satu karya peninggalan ulama salaf adalah kitab Fathal Qarib dan Fathal Muin. Hal ini sesuai dengan apa yang dialami oleh Mbah Ghazali bin Lanah ketika manjalankan ibadah haji. Yaitu, ketika hendak menunaikan ibadah haji, beliau tidak menemui hari untuk wuquh di Arafah. Akhirnya, beliau terpaksa menginap di Arab guna untuk menyempurnakan ibadah hajinya di tahun mendatang.

 

Di sela-sela Mbah Ghazali menunggu datangnya musim haji lagi, beliau menyempatkan diri untuk mengaji kitab Fathal Muin karya Syaikh Zainudin al-Malibari dan tafsir Al-Jalailain karya Imam Jalalain kepada ulama setempat.

 

Sarang, 7 Desember 2011

Catatan: Artikel ini disarikan dari ceramah Syaikhina Maimoen Zubair pada saat pembacaan sanad Fathal Qorib dan Fathal Muin serta Mahalli di acara Muwada’ah PP. Al-Anwar pada 9 Juli 2011.

Read More >>

Isinya Al-Quran ada tujuh pembahasan, Kesinambungan Ulama

Sungguh ada kebahagiaan yang sangat mendalam jika masih ada umat Islam yang berpegang  teguh pada ajaran ahlusunnah waljamaah. Yaitu, golongan yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw dan yang mengikuti kelompok sahabat Rasulullah Saw yang mengembalikan suatu perkara kepada asalnya. Yaitu, Al-Quran dan al-Hadis. Sequran-ilmu-pengetahuanbab, keduanya ini saling berkaitan.

 

Sebaik-baiknya zaman adalah zamannya Rasulullah Saw, terus zaman setelahnya dan setelahnya. Masa kenabian itu berjumlah 23 tahun. 13 tahun Rasulullah Saw berada di Makkah dan 10 tahun berada di Madinah. Di kedua tempat mulia ini merupakan masa pokok keislaman. Banyak sahabat hafal Al-Quran yang mana Al-Quran di waktu itu belum ditulis. Al-Quran hanya di hati dan bibir.

 

Setelah Rasulullah Saw wafat, kekuasaan Islam pindah kepada masa Khulafaur Rasyidin. Islam di masa ini terus berkembang. Sehingga, banyak sesuatu yang belum ada di zaman nabi telah diadakan oleh para sahabat. Pembuatan Baitul Mal (zaman Abu Bakar), penyatuan salat Tarawih (masa sahabat Umar bin Kattab) dan pembukuan mushaf Al-Quran (zaman Usman bin Affan). Pembaharuan ini dijalankan karena memang karena adanya suatu kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan. Ini bukanlah bid'ah sebagaimana yang dianggap oleh orang-orang awam, bahwa segala bid'ah itu menyesatkan.

 

Pada masa Abu Bakar, Al-Quran itu dikembangkan menjadi sebuah tulisan, yang kemudian disempurnakan oleh khalifah yang ketiga, Usmant bin Affan. Pada zaman sahabat ini, Al-Quran masih berbentuk tiga kategori, Al-Quran yang masih di hati sanubari, Al-Quran yang berupa bacaan, dan Al-Quran yang sudah berbentuk tulisan. Namun, di sini yang paling banyak dikerjakan dan diamalkan oleh sahabat adalah Al-Quran yang di hati. Sehingga, membuat masanya sahabat adalah masa yang baik setelah zaman Rasulullah Saw.

Sedikit sekali pada zaman sahabat orang yang hafal Al-Quran secara utuh. Yang hafal secara awal sampai akhir cuma enam orang. Kebanyakan dari mereka hanya hafal surat-suratan. Namun, perlu diketahui, bahwa hafal Al-Quran itu tidak harus hafal semuanya. Sebab, Al-Quran itu pembahasan sering diulang-ulang dengan gaya bahasa yang berbeda. Isinya Al-Quran ada tujuh pembahasan,

    1. Mentauhidkan Allah,
    2. Memberi kabar gembira,
    3. Memberi kabar ancaman,
    4. Perintah untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya,
    5. Nasehat- nasehat,
    6. Cerita-cerita,
    7. Petunjuk.

Pada zaman 100 H ke atas, masa Islam pindah dari zaman sahabat menuju zaman Tabi’in. Di era ini kemajuan Islam terus berkembang terutama dalam segi masalah ilmu pengetahuannya. Ide-ide cemerlang terus berdatangan. Hingga pada masa Umar bin Abdul Aziz timbullah suatu gagasan yang berlian. Yaitu, tentang pembukuan hadist Nabawi. Dalam hal ini Umar memberi rekomendasi khusus kepada Imam az-Zuhri untuk menjadi pelopornya.

 

Tahun 200 H ke atas. tongkat kekuasaan Islam berpindah lagi. Dari zaman Tabi’in menuju zaman Tabi’it Tabi’in. Di asar ini perkembang Islam bertambah lagi. Yang asalnya cuma ada pembukuan Al-Quran dan al-Hadist ditambah lagi. Sekarang timbul iman-imam Madzhab yang menyusun kitab Fikih sedemikian rapinya.

Masa 300 H ke atas. Masa ini merupakan di mana pemikiran akal semakin berkembang. Semuanya harus dirasionalkan. Hingga muncul kaum Mu’tazilah yang selalu mengedepankan dari pada dalil Naqli. Maka dari permasalahan ini, oleh Imam Asy'ariyah dan Maturidayah mengawinkan antara Nash dan Akal hingga muncul dalil yang namanya dalil Naqli dan Aqli.

 

Era 400 H ke atas. Sanah ini adalah salah satu masa yang dipelopori oleh Imam Abu Bakar al-Bakilani. Di masa ini pembukuan kitab Fikih terus disempurnakan. Muncul madrasah Nizhamiyah yang mengeluarkan pemikir-pemikir Islam yang handal. Namun selain itu, muncul pula fitnah besar yang berupa adanya kaum Syiah Qororiroh yang sangat kejam. Kaum ini menjadi baksil atas kemajuan Islam. Mereka mencuri Hajar Aswad yang berada di Makkah dan membantu orang-orang kafir untuk menguasai Baitul Maqdis dari tangan umat Islam.

 

Tahun 500 H ke atas. Ketika umat Islam sebelum tahun ini terkena guncangan fitnah yang besar, maka Allah meredakan fitnah tersebut lewat Imam Al-Ghazali, salah satu pengajar di madrasah An-Nizhamiyah yang mempunyai salah satu murid yang terkenal "rawe-rawe rantas malang-malang putung." Shalahuddin al-Ayyubi namanya. Kelak di tangannya kejayaan Islam kembali lagi. Beliau berhasil merebut Madjidil Aqsha dari tangan-tangan orang kafir, dan mengembalikan Hajar Aswad yang asalnya dicuri oleh orang syi’ah ke tempat asalnya. Di masanya juga, muncul pensyiaran tentang acara Mauludiyah yang merupakan acara sebagai bukti kecintaan seseorang terhadap Rasulullah Saw. Dan tidak kalah hebohnya, setelah Imam Al-Ghazali, telah muncul Imam Nawawi dan Imam Rafii yang mana keduanya ini telah berhasil mengemas kitab karangan Imam al-Ghazali.

 

Tahun 600 H ke atas. Islam kembali diguncangkan oleh fitnah yang besar lagi. Pelakunya lagi-lagi adalah orang Syi’ah yang membantu orang-orang Mongol untuk menjatuhkan kerajaan Arab, Abbasiyyah. Di saat penaklukan Semenanjung Arab ini, banyak Ulama, seperti Imam Ibnu Daqiqil 'Id yang lari dari Bagdad menuju Syam. Namun, atas izin Allah, ada pembesar Mongol yang masuk Islam, Timur Leng. Dia yang menyebarkan Islam untuk rakyat Mongol.

 

Tahun 800 H ke atas. Lahir seorang ulama besar. Imam Al-Bulqini namanya. Kemudian setelahnya, muncul pula ulama yang agung. dialah yang menghasilkan beberapa ilmu pengetahuan Islam. Ulama itu tidak lain adalah Imam As-Suyuti.

 

1000 H ke atas. Kitab-kitab Islam telah mengalami perkembangan lagi. Sebab, di masa ini muncul kitab Hasyiyah yang dipelopori oleh sebagian ulama. Di antaranya adalah Imam Zam-Zami dan kawan-kawannya. Kitab Hasyiyah merupakan suatu kebutuhan untuk menjabarkan dan memperluas ilmu-ilmu yang ada pada kitab matan dan syarah. Dengan adanya kitab hasyiyah dapat memperjelas sesuatu yang ada di kitab Matan dan Syarah.

1100 H ke atas. Perkembangan ilmu pengetahuan Islam maju lagi. Yaitu, munculnya kitab al-Barjanji yang mensyiarkan tentang rasa cinta kepada Rasulullah Saw. Janganlah kalian melupakan kitab asal ini meskipun sudah ada kitab-kitab yang memuji terhadap Rasulullah Saw yang lain yang dikarang oleh ulama selain imam al-Barjanji.

 

1200 H ke atas. Lahir ulama yang berMadzhab Hanafi, akan tetapi dirinya juga cinta Madzhab Syafii. Beliau tidak lain adalah Sayyid Murtadlo. Ulama ini yang telah mensyarahi kitab Ihya karangan Imam Al-Ghazali yang merupakan pegangan Madzhab Syafii. Percampuran yang menyebabkan peralihan ini juga terjadi kepada keturunan Syaikh Baker al-Jugjawi yang kebanyakan keturunannya menjadi Muhammadiyah yang menganut organisasi Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan itu sendiri menjadi Muhammadiyah karena pengaruh dari gurunya. Syaikh As-Syukati namanya. Dia itu berpaham Muhammadiyah.

 

Karena sejarah yang bercampur ini, Syaikhina Maimoen tidak berani membenci orang-orang Muhammadiyah sebab banyak keturunan gurunya yang menjadi pengikut Muhammadiyah. Namun, Syaikhina Maimoen juga tidak mau mengikuti Muhammadiyah. Beliau tetap pada Nahdlatul Ulama. Sekarang banyak orang yang NU ngakunya, tapi tidak memenuhi ajaran ahlusunnah waljamaah. Orang yang seperti ini lebih baik orang-orang yang berpaham Muhammdiyah.

1300 H ke atas. Islam mencapai perkembangan dalam ilmu pengetahuan lagi lewat ulamanya yang handal. Beliau tidak lain adalah Sayyid Zaini Dahlan. Sosok yang alim yang tersegani di Makkah dan luar Makkah. Beliau banyak mengarang kitab yang kini tersebar di belahan dunia.

1400 H ke atas. Telah lahir pemikiran yang menjadi panutan umat Nabi Muhammad Saw. Namanya sesuai dengan nama Rasulullah Saw. Sosok itu tidak lain adalah Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliki. Beliau dikabarkan menjadi mujaddid yang menempati abad ini. Banyak ulama yang terdidik hasil dari tangannya, seperti halnya ulama yang ada di kota Sarang. Banyak masyayeh yang pergi belajar ke Makkah menuju Ribath yang diasuh Sayyid Muhammad. Adapun Syaikhina Maimoen itu sendiri adalah orang yang hidup pada masa 1300 H dan 1400 H. Yang terpenting bagi kita semua adalah mengikuti ajaran ahlusunnah waljamaah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu Qadim (dahulu) bukan hadis sebagaimana yang dikemukakan oleh orang Mu’tazilah.

 

Keistimewaan Al-Quran itu bersinar pada diri Rasulullah Saw. Duhulu pada zaman sahabat jika ada orang yang memandang Rasululah Saw, maka mereka bisa menjadi alim sebab keberkahan yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Dan sumber utama kealiman itu juga berasal dari Nabi Muhammad Saw yang ilmunya tidak dapat dibayangkan karena saking banyaknya.

 

Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasululah Saw pada awal dekade sangatlah asing dan kelak akan kembali asing lagi. Selain asing juga aneh. Mengapa? Karena ketika Islam itu besar, disebabkan oleh Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Akan tetapi, orang yang pertama kali masuk Islam bukan dari kalangan mereka. Tetapi yang pertama kali masuk Islam adalah Abu Bakar. Islam juga besarnya di daerah pedesaan, yaitu Yastrib bukan di Makkah. Aneh lagi, meskipun Abu Bakar adalah orang yang pertama kali masuk Islam, tapi ketika kita membaca shalawat itu diperuntukan kepada Rasulullah Saw dan keluarganya bukan untuk Abu Bakar.

 

Sarang, 20 Juli 2010

Catatan: Artikel ini disarikan dari caramah Syaikhina Maimoen Zubair pada saat pembacaan sanad kitab Fathul Qarib dan Fathul Muin 2010.

Read More >>

Kemuliaan rumah “Rumahku ini adalah rumah yang lemah, seperti sarang laba-laba. Tapi, setelah dikunjungi Habib (Habib Salim As-Syathiri), rumahku menjadi rumah yang perkasa, paling megah, bersinar dan bercahaya pada hari ini, melebihi dari hari-hari yang sebelumnya. Sebab beliau membawa kemuliaan ilmu dan nasab,” Ujar Syaikhina Maimoen ketika dikunjungi Habib Salim As-Syathiri.

 

Kemuliaan rumah itu bukan disebabkan oleh bagus dan mahalnya perabotannya, serta bukan pula karena hebatnya arsitekturnya. Tapi, bagusnya rumah itu, disebabkan oleh mulianya penghuninya. Kalau rumah itu dihuni oleh orang-orang yang dicintai Allah, yaitu mereka yang punya ilmu, para auliya’ dan ulama, niscaya rumah itu akan menjadi mulia meskipun dengan bentuk yang sederhana. Hal inilah yang diajarkan oleh para salafus shaleh untuk berprasangka baik kepada hamba Allah. Khususnya berbaik sangka terhadap orang-orang yang alim.

 

Ada sebuah cerita yang berkaitan dengan permasalahan di atas. Duhulu kala pada zaman khalifah Al-Ma’mun pernah dikisahkan bahwa khalifah Al-Ma’mun bertanya kepada anaknya, “Wahai putraku istana mana yang paling indah?” Lalu sang anak menjawab,” Istana yang paling indah adalah istana yang jika Engkau berada di dalamnya.” Selain itu ada juga cerita, duhulu ada seoarang khalifah yang bertanya kepada putranya, “Wahai anakku, lihatlah cincin ayah, mana yang lebih bagus, cincinnya atau batu akiknya?” Maka sang anak menjawab, ”Yang paling bagus adalah yang memakainya.”

Memuliakan dan menghormati ulama merupakan ciri-ciri orang yang bertaqwa. Hal itu termasuk mengagungkan syiar-syiar Allah. Karena Ulama merupakan syiar Allah. Allah berfirman:

 

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (32)

 

"Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." ( QS. Al-Hajj : 32)

Pesantren Al-Anwar itu mempunyai hubungan ruh yang erat dengan keturunan Rasulullah Saw dan para ulama. Sehingga, banyak ulama dan habaib yang berkunjung di pesantren ini dengan memberikan pandangan khusus bila dibanding dengan yang lainnya. Maka tidak mengherankan, jika banyak santri dari Sarang yang pergi menimba ilmu ke negeri ulama Timur Tengah khususnya Tarim, Hadrahmaut.

 

Mengapa di sini Hadrahmaut yang menjadi sorotan utama meskipun ada kota induk Islam, yaitu Makkah dan Madinah? Karena Hadrahmaut merupakan negeri para wali dan para ulama. Tidak ada wali yang agung dari Indonesia kecuali dia mempunyai intisab keturunan atau intisab ilmu dari Hadrahmaut, khususnya kota Tarim. Misalnya Wali Songo yang mempunyai hubungan khusus dengan Hadrahmaut. Sehingga, mereka menjadi ulama yang mempunyai banyak barakah.

 

Hadrahmaut merupakan kota Islam yang mempunyai keistimewaan lebih dari pada yang lainnya. Sebab, sudah diceritakan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam at-Tabrani bahwasanya Rasulullah Saw telah bersabda, “Hadrahmaut itu menumbuhkan para wali sebagaimana tanah menumbuhkan rumput.” Apabila ada satu wali yang meninggal, maka akan tumbuh seribu wali sebagai gantinya. Sehingga, dari prediket ini, Hadrahmaut menjadi pusat para wali di samping menjadi pusat ilmu. Selain itu, ada juga kisah yang memperkuat bahwa Hadrahmaut itu merupakan kota auliya. Telah dikisahkan oleh Habib Salim bin Jindan dengan sanad yang bersambung kepada kepada Rasulullah Saw. Suatu ketika ada seseorang yang datang kepada Rasulullah Saw.

 

“Dari mana engkau wahai Fulan?” tanya Rasulullah Saw.

 

“Aku datang dari negeri Hadrahmaut,” jawab Fulan.

 

“Apakah kamu tahu di sana ada daerah yang namanya Tarim?”

 

“Iya, ya Rasulullah.”

 

“Ketahuilah, di sana kelak akan muncul para auliya yang mereka itu termasuk dalam firman Allah:

 

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ (37

 

Sarang, 22 Juni 2007.

Catatan: Artikel ini disarikan dari ceramah Syaikhina Maimoen Zubair dan Habib Salim As-Syathiri saat ada kunjungan Habib Salim As-Syathiri yang kedua.

Read More >>

Para Kyai Pulau Jawa dan KH. Hasyim Asy’ari Menurut Mbah Mun

KH MAIMOEN ZUBAIR Dahulu kala, sebelum kiai-kiai nusantara mengembangkan agama Islam di tempat kelahirannya, mereka terlebih dahulu menuntut ilmu sebagai bekalnya. Kebanyakan dari mereka adalah menuntut ilmu di tanah suci Makkah. Kiai-kiai alumni Makkah ini kebanyakan mempunyai pengaruh tersendiri. Seperti Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Baidlowi Lasem.

 

Kiai-kiai Jawa ketika di Haramain belajar kepada ulama-ulama setempat. Baik yang masih keturunan Rasulullah Saw ataupun bukan, seperti Sayyid Alawi, Sayyid Amin al-Kutbi, Syaikh Mahfud at-Turmusi, Syaikh Imam Nawawi al-Bantani dan sederetan ulama lain yang mengajar di Masjidil Haram.

 

Kiai Hasyim Asy'ari merupakan salah satu Kiai yang mondoknya lama sekali. Saking lamanya menuntut ilmu, ada sebagian orang yang mengatakan beliau pernah membeli Amat (Budak Perempuan). Beliau masih senang tirakatan belajar dan mengaji hingga umurnya sampai tua, sudah layaknya menikah. Dari berkah lamanya Kiai Hasyim mondok ini, banyak orang yang belajar kepadanya. Murid-muridnya banyak yang menjadi ulama besar, seperti Kiai Ahmad bin Syuaib, Kiai Maksum Lasem dan kiai-kiai lain yang tersebar di mana-mana.

 

Selain Kiai Hasyim yang ahli tirakatan, leluhur Syaikhina Maimoen juga ahli tirakatan. Mereka kebanyakan menikah setelah umurnya empat puluh tahun. Seperti pernikahan Mbah Syamsyiyah dan Mbah Muhdlor, Mbah Ghazali bin Lanah dan Kiai Syuaib. Untuk itu, diharapkan bagi santri agar jangan tergesa-gesa ingin cepat boyong dari mondoknya.

 

Adapun masalah Syaikhina Maimoen, ketika mondok di Makkah beliau hanya sebentar. Di sana beliau belajar kepada Sayyid Alawi, Sayyid Amin al-Kutbi dan ulama Haramain lainnya. dari Sayyid Amin ini, Syaikhina Maimoen pernah diajak keponakannya untuk melihat Kiswah Ka'bah, sebab keponakan Sayyid Amin ini adalah Direktur Bagian Urusan Kiswah Ka'bah.

 

Syaikhina Maimoen Zubair juga belajar kepada Syaikh Abdullah bin Nuh. Beliau adalah ulama asal negeri Malaysia yang mengajar di Makkah. Dari Syaikh Abdullah bin Nuh ini, Syaikhina belajar bagaimana membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Beliau mengajarkan kepada Syaikhina Maimoen agar ketika membaca Al-Quran itu ketika waqof (tanda berhenti baca) harus sesuai dengan jumlah kalimatnya (stuktur kalimatnya). Bukan hanya sekedar waqof yang seperti sudah ditandakan di dalam Al-Quran yang sudah dicetak.

 

Selama di Makkah, banyak kitab yang dipelajari Syaikhina Maimoen dari ulama Makkah. Namun, yang khatam cuma ada tiga. Yaitu, kita Usul Fikih karya Imam Haramain, kitab Baiquniyyah dan kitab karya Syaikh Zam-Zami.

 

Belajar ilmu agama adalah suatu perkara yang sangat penting. Mengaji yang baik hendaknya tidak ada daftarnya. Hanya semata-mata karena Allah. Setiap santri yang belajar, mereka mengelilingi kiainya yang telah mengajarkan ilmu. Mereka mendengarkan dan menyimak apa yang telah disampaikan oleh kiainya tadi. Jika ada yang datang terlambat, maka dia akan diberi kelonggaran tempat duduk agar bisa mendengarkan ilmu sebagaimana orang yang datang terlebih dahulu.

Jika hal yang diajarkan Rasulullah Saw ini diamalkan sebagaimana mestinya, maka Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang mempunyai ilmu. Allah berfirman;

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ 11

 

"Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Mujaadilah : 8).

 

Akan tetapi, untuk merealisasikan mengaji sebagaimana tradisi ulama-ulama salaf terdahulu, kita membutuhkan usaha dan kerja keras yang maksimal. Sekarang, sedikit sekali orang yang mau mengaji. Tradisi belajar sudah diganti dengan praktik akademisi yang tentunya harus mendaftar siswanya yang mau belajar. Apabila kita tidak bisa meninggalkan tradisi akademisi, maka jangan pula meninggalkan tradisi mengaji secara total entah bagaimana caranya.

 

Sarang, 5 Januari 2013.

Catatan : Artikel ini disarikan dari ceramah Syaikhina Maimoen Zubair ketika ada acara HIMMA (Himpunan Mutakharrijin Mutakharrijat Al-Anwar) tahun 2009

Read More >>

KH. Maimoen Zubair Matahari Terbit di Perbatasan

KH. MAIMOEN ZUBAIR Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu'aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian.

 

Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.

 

Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.

 

Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.

 

Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara' yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahanda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa'id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.

 

Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi'I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu'in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.

 

Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.

 

Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.

 

Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu'aib.

 

Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid 'Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.

 

Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk "ngangsu kaweruh" yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Belaiau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama' besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlowi (mertua beliau), serta KH. Ma'shum, keduanya tinggal di Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma'shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori.

 

Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.

 

Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil "jadi orang" karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.

 

Tiada harapan lain, semoga Allah melindungi Beliau demi kemaslahatan kita bersama di dunia dan akhirat. Amin

 

Karangmagu sarang Rembang Perbatasan Jateng - Jatim
Read More >>

Arti Sebuah Karya Tulis Dr. Said Romadlon Al Buthy

write-by-science-news-dot-org

Dr. Sa’id Romdlon al-Buthy berkata, “Saya bertanya pada diri saya sendiri. Apa yang membuat saya tetap menulis dan menulis? Kalau untuk kemashuran, saya telah  mendapatkan lebih dari pada yang saya harapkan. Kalau untuk kesejahteraan dan kekayaan, Allah telah menganugerahi saya lebih dari pada yang saya butuhkan. Dan kalau ingin dihormati orang, saya sudah memperoleh lebih dari pada yang layak saya terima. Pada akhirnya, saya menyadari bahwa keinginan yang saya sebut tadi sia-sia dan hampa kecuali seuntai doa yang dihadiahkan kepada saya dari seorang muslim yang tidak saya kenal.”

"Menulis," sebuah konsep yang mudah dituturkan dengan lisan. Namun, terkadang sulit diimplementasikan. Tapi, terkadang juga mudah bagi mereka yang sudah membiasakan diri dan tertembaga dalam hati sanubari. Sebab dalam dunia menulis, modal awal yang dibutuhkan adalah sering membiasakan menulis. Entah dalam kontek apa, yang penting menulis. Dalam dunia menulis juga tidak terlalu membutuhkan intelektual yang tinggi. Tapi, cukup intelektual yang sederhana. Banyak sekali orang yang ilmunya tinggi, tetapi dia lemah dalam menuangkan ke dalam tekstual, karena tidak biasa menulis. Dan banyak orang yang akalnya sedang-sedang saja, tetapi dia lihai berimajinasi dalam dunia menulis.

Mengapa harus menulis? Karena dengan menulis dapat menjadikan sesuatu yang asalnya tiada menjadi ada. Dan dengan menulis pula dapat memberi kabar bagi selain kita tentang apa yang kita ketahui. Manfaatnya, kejadian yang seharusnya dikerjakan karena adanya suatu manfaat bisa di kerjakan oleh orang lain. Dan kejadian yang seharusnya ditinggalkan, karena adanya suatu madharot atau bencana bisa ditinggalkan orang lain. Sehingga bencana yang sama tidak terulang kembali di masa yang akan datang, karena sudah adanya warning dari seorang penulis.

Coba bayangkan seandainya tidak ada tulisan, yang tentunya akan membuat diri kita hidup dalam dunia yang tidak menentu. Hal tersebut terjadi karena kekurangan ilmu dan wawasan yang luas. Sebab kalau kita mengandalkan tutur kata yang ditransmisikan oleh seorang guru kepada seorang murid, akal kita tidak akan mampu menyimpan semuanya ke dalam memori. Zaman kita bukan lagi zaman sahabat yang hidup di masa Rasulullah SAW, yang selalu mendapat sinar keagungan dari beliau. Setiap apa yang sahabat dengar dari ilmu yang telah dituturkan oleh Rasulullah SAW bisa terekam di memori mereka dengan baik.

Meskipun para sahabat hafalannya sangat kuat, mereka tidak bisa melepaskan diri dari apa yang namanya menulis. Mereka menulis yang namanya wahyu. Penulisan dikerjakan dengan alat seadanya, seperti pelapah kurma yang terpencar-pencar di tangan para sahabat. Kemudian tulisan wahyu ini disempurnakan pada masa Khalifah Usman Bin Affan. Maka terbentuklah mushaf Ustmani yang dikepalai oleh Zaid Bin Tsabit.

Dari khalifah Ustman bin Affan, kemudian karya tulis bersafari menuju zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah bani Umayyah yang masih ada kerabat dengan Umar bin Khattab. Pada masa ini, dunia menulis terus berjalan seiring dengan waktu. Hingga suatu saat khalifah Umar bin Abdul Aziz memberi rekomendasi kepada imam az-Zuhri (Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihhab az-Zuhri) untuk menulis dan membukukan hadis nabawi. Hal ini dikarenakan beliau kawatir akan hilangnya hadis nabi tersebut bersama dengan periwayatannya ke alam kubur.

Yang paling menonjol dalam dunia penulisan Islam yang menghasilkan karya agung, yang patut diabadikan dengan tinta emas dengan ditaburi minyak kasturi di kanan kiri adalah penulisan yang pernah diraih pada masa kejayaan daulah bani Abbasiyyah (Bagdad) dan kerajaan bani Umayyah (Spanyol). Kedua kerajaan besar inilah mengeluarkan output-output yang menyinari dunia lewat ilmu pengetahuan yang di tuangkan dalam sebuah karya tulis. Bukan hanya ruang lingkup agama, melainkan mencakup segala aspek ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu. Seperti Ibnu Sina (ahli kedokteran), Abu Bakar ar-Rozi (penemu penyakit cacar), Ibnu Nafs (ahli biologi), Imam al- Ghazali (ahli filsafat), Ahmad bin Muhammad (penemu angka nol), Umar Khayyan (ahli kimia) Ibnu Malik (ahli sastra Arab) dan lain-lain. Kalau orang Yunani punya Plato, kita umat Islam punya Imam al-Ghazali. Kalau orang Barat punya Karl Mark, kita punya Ibnu Sina yang mampu mempunyai sebuah karangan al-Qonnun fittib lebih lengkap dari karya Karl Mark dalam masalah ilmu kedokteran, Sehingga Ibnu Sina lebih layak untuk diberi gelar bapak ilmu kedokteran bila dibandingkan dengan yang lainnya. Banyak sekali orang Barat yang menjadikan kitab Ibnu Sina sebagai rujukan dalam ilmu kedokteran.

Mengapa kami perlu memaparkan masa golden histori of Islamic? Hal itu semata-mata kami ingin umat Islam di zaman sekarang bisa bercermin dari kejayaan masa silam. Sehingga kita bisa tergugah dan bangkit dengan semangat dalam dunia tulis menulis. Memang benar bagi kita sekarang sangatlah sulit meniru prestasi yang dipredikatkan pada golden histori of Islamic. Namun, paling tidak kita bisa mengaca dan meniru secercah dari apa yang mereka raih.

Perlu kita sadari, di zaman globalisasi ini, orang yang tidak mempunyai skill akan diasingkan dalam percaturan hidup dan tidak bisa lulus dari seleksi alam. Banyak dari mereka menjadi tersia-sia. Lebih-lebih para intelektual muslim yang tidak mempunyai skill kerja. Dan tidak pula mempunyai ijazah yang tinggi. Dia hanya punya ilmu yang luas. Maka solusi yang tepat bagi mereka adalah menulis. Tuangkan intelektual anda. Jangan sampai ada karya yang ada kaitannya dengan Islam ditulis oleh orang yang non muslim. Tahukah anda tentang kamus Arab Munjid? Ternyata pengarangnya bukan umat Islam. Tetapi pendeta Nasrani yang bernama Fr. Louis Ma’luf al-Yassu’i dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu’i . Padahal kamus tersebut telah tersebar dibelahan dunia dan banyak dikomsumsi oleh umat muslim.

Imam al-Ghazali berkata, ''Kalau engkau bukan anak raja, bukan pula anak ulama` besar, maka jadilah seorang penulis.'' Marilah kita meniru jejak ulama'-ulama' terdahulu yang selalu rajin menulis sebuah karya. Karya-karya mereka bisa kita nikmati sampai sekarang ketika kita membaca buku milik pribadi atau milik perpustakaan.

Read More >>

Video - video KH. Maimoen Zubair

Berikut ini adalah video-video KH Maimoen Zbair Karang Mangu sarang rembang

Pengasuh pondok Pesantren al anwar

 

Pengajian kh Maimoen zubair

 

KH Maimoen Zubair

 

Mauidloh

 

Mbah Mun

 

Mbah Mun Di Kudus

 

Ceramah Mbah Mun

 

Mauidloh KH Maimoen Zubair

 

Romo KH Maimoen Zubair
Read More >>

Kiai Dahlan Sarang Rembang

Beliau dilahirkan di desa Gondan Sarang tahun 1287 H. Ketika usia beranjak dewasa, beliau menuntut ilmu di Sarang, yaitu dengan belajar ilmu syariat Islam kapada ulama-ulama di Sarang, sehingga beliau mengetahui dasar-dasar agama Islam.

Setelah mengeyam ilmu di Sarang, beliau melakukan pengembaraan lagi untuk menambah wawasan tentang syariat agama Islam. Kota yang dituju beliau adalah kota Blora, tepatnya di pesantren Ngadipura yang diasuh oleh K. Hamzah. Di pesantren ini, beliau menetap beberapa tahun untuk belajar dan berkhidmah kepada K. Hamzah.

Dari pesantren K. Hamzah, beliau melanjutkan pembaraan lagi untuk menambah wawasannya menuju kota Semarang untuk belajar di suatu pesantren yang diasuh oleh K. Shaleh.

Dari pengembaraan beliau yang begitu panjang, akhirnya beliau kembali ke tempat kelahiran lagi, Sarang. Namun, di Sarang beliau tidak berhenti mencari ilmu. Tetapi tetap belajar, mendengarkan korekan ilmu dari ulama-ulma setempat, lebih-lebih kepada K. Umar bin Harun dan K. Murtadha.

K. Dahlan adalah sosok yang terkenal sebagai orang yang mempunyai pengetahuan agama yang dapat dijadikan pegangan, sehingga beliau menjadi sosok yang terkemuka. Beliau mencurahkan hidupnya untuk kemanfaatan dan hal yang benar. Beliau membidangi fan-fan ilmu. Di antara fan-fan yang beliau baca adalah Khulashah Ibnu Malik, Tasriiful Izzi, Minhajul Qowiim, Fatahal Mu’in dan lain-lain.

K. Dahlan membangun bahtera rumah tangga dengan meminang Putri K. Syu’aib, Ibu Nyai. Hasanah. Dari pernikahan ini, beliau dianugrahi Allah swt beberapa anak. Di antaranya yaitu :

  1. K. Zubair Dahlan
  2. Ibu Nyai. Aisyah (istri K. Husain)
  3. Ibu Nyai. Fatimah (istri K. Munawar)

Pada tahun 1325 H, beliau pergi ke tanah haramain untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah di makan baginda Nabi Muhammad saw. Beliau wafat tahun 1343 H dengan umur 56. Semoga Allah swt menempatkan beliau di tempat yang mulia disisi-Nya. Amiin.

catatan: artikel dikutip dari buku Syaikhuna wa Usratuhu

 

Read More >>