Showing posts with label Hikam Ibu Athaillah. Show all posts
Showing posts with label Hikam Ibu Athaillah. Show all posts

Kebahagiaan Dibalik Cobaan dan Musibah

ورود الفاقات أعياد المريدين السالك

gus wafi2 “Datangnya musibah dan cobaan adalah hari raya yang indah bagi orang-orang yang sedang menempuh jalan menuju kepada Allah swt (السالك /المريد).”

1. Kelemahan manusia

الفاقة atau biasa diartikan sebagai puncak kelemahan dan kefakiran dan kekurangan adalah sebuah sifat yang tidak bisa lepas dari manusia dalam segala keadaan. Hanya saja datangnya musibah dan cobaan yang menimpa seseorang manusia, akan mengingatkannya kembali setelah beberapa saat meninggalkan sifat asal ini.

Artinya, kadang-kadang seseorang melupakan sifat lemah dan kurang yang melekat kepadanya ketika sedang diliputi nikmat dan jauh dari musibah. Ia menyangka bahwa dirinya adalah orang yang kuat, padahal sebenarnya lemah. Ia mengira dirinya kaya meskipun hakikatnya miskin. Tak lain karena yang dinamakan kuat adalah orang yang memiliki kekuatan serta mampu mempertahankannya sesuai apa yang ia inginkan, bukannya orang yang hanya mampu menggunakan kekuatan, namun tidak bisa mempertahankannya. Begitu juga yang dinamakan kaya adalah orang yang memikiki dan menguasai kekayaan.

Bukanlah dikatakan kaya seseorang yang membutuhkan harta yang banyak, agar ia menjadi tidak butuh kepada orang lain.

Dan jika kita mau berkata jujur, di dunia ini tidak ada manusia yang memiliki kekuatan kemudian mempertahankan sesuai kehendaknya. Sama halnya, tak ada seorang pun yang benar-benar memiliki kekayaannya, hingga ia sama sekali tidak membutuhkan orang lain.

Pada dasarnya, hakikat manusia seluruhnya adalah orang-orang yang fakir. Selalu membutuhkan kepada Dzat yang memberikan makanan agar mereka tidak kelaparan, yang menganugerahkan kekuatan serta menghadiahkan kekayaan kepada mereka sehingga mereka menjadi kaya dan tidak butuh kepada orang lain. Tak lain Dzat tersebut adalah Allah Yang Maha Sempurna.

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Q.S. Quraisy: 3-4)

Apabila Allah swt menganugerahkan kekayaan dan kekuatan atau memberikan makanan dan rasa aman kepada seseorang manusia, maka hal itu tidaklah serta merta menjadikannya lepas dari sifat lemah dan kurang, yang melekat pada dirinya. Karena kelemahan adalah sifat asli yang selalu melingkupi kehidupan manusia. Adapun kekuatan, kekayaan ataupun kemakmuran, semua itu hanyalah perkara-perkara yang datang dan pergi silih berganti, sesuai dengan ketetapan Allah swt dan selalu menyimpan hikmah-hikmah tertentu.

Kata pepatah, “Manusia adalah tempatnya salah dan lupa (الإنسان محل الخطاء والنسيان )”. Dan memang benar, kebiasaan manusia saat berada dalam limpahan rahmat dan nikmat-Nya, ia menjadi lupa diri dan sifat aslinya yaitu, kelemahan dan kehinaan. Ia baru teringat lagi sifat asalnya ketika sedang dirundung musibah dan kemalangan.

Berarti yang di kehendaki dengan kata الفاقات oleh Ibnu ‘Athaillah dalam hikmah ini adalah musibah-musibah dan cobaan-cobaan semisal sakit, kemiskinan dan ketakutan yang melanda seseorang, dimana ia telah merasakan sehat, kaya, ketentraman, dan lain sebagainya. Bukan seperti penjelasan di awal bab ini, yang mengatakan bahwa الفاقة ialah puncak kelemahan, kefakiran dan kekurangan.

2. Rahasia di balik musibah

Seorang hamba yang sedang berusaha menempuh jalan pendekatan diri kepada Allah swt, akan melihat rahasia di balik musibahdan bencana yang menimpanya. Cobaan yang ia terima akan menjadi alarm yang membangunkan tidurnya sehingga ia sadar dan ingat kembali akan jati dirinya yaitu kelemahan dan kekurangan. Ia menganggap bahwa musibah tersebut adalah snugerah yang sangat agung melebihi nikmat kesehatan atau kekayaan, dan lain-lainnya.

Karena itu, ia akan merasa gembira dan bahagia menyambut datangnya berbagai macam musibah dan bencana. Hari-hari yang ia lalui bersama musibah, akan ia anggap sebagai hari raya yang penuh dengan kebahagiaan, karena datangnya pertolongan dan kasih sayang Allah swt kepadanya. Ia menjadi sadar, ternyata Allah ‘Azza wa Jalla tidak membiarkan dirinya tersesat dalam khayalan-khayalan yang membingungkan, yaitu fenomena kekuatan, kekayaan serta kemakmuran dan kekuasaan. Akhirnya ia teringat kembali kepada sifat asli kehambaannya, jati diri yang selalu melekat dan tak akan pernah lepas darinya, yaitu sifat lemah dan butuh kepada pertolongan dan anugerah Allah swt.

Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang menjadi dalil tentang kebenaran hakikat ini. Saya pribadi juga pernah merasakan pengalaman seperti ini. Singkat saja, di Damaskus aku pernah mengenal seorang lelaki yang cukup terhormat dan ia juga menempati jabatan terkemuka. Setelah beberapa saat ia menikmati kemakmuran hingga mencapai titik puncaknya, Allah swt memberikan cobaan kepadanya berupa sakit yang menyebabkan kelumpuhan separuh badannya.

Tak terduga, ternyata dalam sakit yang menimpa tubuhnya, ia menemukan sebuah keadaan yang sangat mengagumkan. Ia merasa begitu dekat kepada Allah swt sehingga timbul kegembiraan dan kebahagiaan yang tak pernah ia temui dan sama sekali belum pernah ia nikmati. Sebelumnya, ia tek pernah membayangkan anugerah dan keindahan semacam ini.

Suatu hari, aku bersama orang tuaku menyempatkan diri untuk menjenguk laki-laki yang sedang sakit tersebut. Setelah dirasa cukup, orang tuaku berpamitan kepadanya dan tak lupa mendoakan agar ia segera sembuh dari sakit yang menderitanya. Mengejutkan sekali karena laki-laki tersebut kemudian berkata, “Wahai temanku, aku mempersaksikan ucapanku kedapamu jikalau kesembuhanku akan meyebabkan hilangnya sebuah anugerah Allah swt yang sangat agung, maka aku sungguh tidak membutuhkan kesembuhan seperti itu”

Dengan cukup terkesan orang tuaku membalas ucapannya, “Bukan seperti itu yang kuinginkan, maksudku adalah aku meminta kepada Allah swt agar melimpahkan kesembuhan dari sakit yang menimpamu, namun dengan tetap membiarkan anugerah agung (kebahagiaan [الحال] yang ia rasakan ketika sakit) tersebut berada dalam dirimu.

Dari kisah tersebut, kita bisa menemukan kebenaran hikmah Ibnu ‘Athaillah ini. Lihat saja, lelaki yang sakit tersebut ternyata malah merasakan sebuah kebahagiaan yang melebihi nikmat kesehatan. Tak lain karena sakit yang ia derita merupakan perantara yang mendekatkan dirinya kepada Allah swt ke dalam hati.

3. Hari raya selamanya

Orang-orang yang sedang berusaha keras menempuh jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, akan menyambut datangnya musibah dan bencana dengan gembira laksana hari raya yang penuh dengan kebahagiaan dan kesenangan. Lalu apakah orang-orang arif rabbani tidak merasakan kebahagiaan seperti ini ketika terkena musibah?

Orang-orang arif dan rabbani adalah hamba-hamba Allah SWT yang telah memiliki jiwa yang teguh dan stabil keadaanya. Tak ada perbedaan yang ia ia rasakan baik dalam masa indah ataupun masa-masa yang buruk. Artinya nikmat apapun yang ia terima tidak akan menyebabkan jiwanya lupa dan lalai dari Allah SWT. Sehingga jika ia dilanda oleh suatu musibah, maka hal itu tidaklah menjadi alarm pengingat baginya. Bagaimana mungkin cobaan itu jadi pengingat kalau ia tidak pernah lupa ataupun lalai.

Memang sudah menjadi sifat dasar bagi orang-orang yang termasuk dalam kategori hamba arif, bahwa ia selalu bersama Allah SWT disetiap waktu dalam setiap keadaan. Segala sesuatu yang datang kepadanya akn selalu ia sambut dengan gembira dan bahagiahingga hatinya senantiasa diliputi perasaan ridla kepada Allah SWT.

Ketika sedang memperoleh kenikmatan, ia akan menggunakan dengan sebaik-baiknya dengan tetap meyakini bahwa apa yang ia terima adalah anugerah agung dari Allah SWT. Ia tidak akan pernah cemas ataupun gelisah karena bencana atau musibah yang menimpanya. Sebaliknya ia akan menyambut musibah itu dengan tangan terbuka karena ia sadar bahwa itu semua itu adalah ketetapan Allah SWT. Tak hanya sekedar sabar, ia bahkan menerima cobaan itu dengan penuh keridloan serta yakin jika hal itu adalah yang terbaik untuknya.

Dengan keadaan seperti itu, tentunya seorang arif tak akan terdorong untuk menyambut musibah yang melandanya melebihi sambutan yang ia lakukan saat menerima nikmat. Penyebabnya tak lain karena ia selalu menjadi sorang tamu dihadapannya Allah SWT. Apa yang disuguhkan oleh Allah kepadanya akan selalu ia yakini sebagai hidangan penghormatan, baik musibah ataupun nikmat, semua itu ia yakini sebagai anugerah agung dari Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Hamba yang arif akan selalu merasa butuh kepada Allah ‘Azza wa Jalla baik di masa susah ataupun gembira. Kenyamanan dan kekayaan yang ia rasakan tidak akan menjadikannya mabuk kepayang dan terlena dari Allah swt.

Kejadian semacam ini sering kita jumpai dari kehidupan para sahabat dan ulama’ salaf yang telah mencapai kedudukan arif dan rabbani. Misalnya saja keberadaan Sayyidina Umar ibn Khaththab r.a setelah berhasil menaklukan negeri Kisro sehingga memperoleh harta rampasan perang yang sangat banyak dan melimpah ruah. Atau kehidupan Abdullah ibn Mubarak r.a yang menjadi teladan bagi pengusaha sukses yang kaya raya, dan lain-lain. Kekayaan dan kenyamanan yang mereka nikmati sama sekali tidak menghalangi untuk menyadari kelemahan yang menjadi jatidiri mereka. Mereka tidak membutuhkan musibah atau bencana untuk mengingatkan hakikat kemanusiaan yang selalu melekat pada diri mereka.

4. Kesimpulan

Meski sebenarnya manusia selalu diliputi sifat kelemahan dan kekurangan, namun terkadang hakikat ini terlupakan oleh seorang السالك المريد, yaitu orang yang sedang berusaha menempuh jalan untuk mendekat kepada Allah SWT. Biasanya keadaan ini terjadi saat ia sedang merasakan kenyamanan hidup dengan disertai kemewahan dan kekayaan yang berlimpah-limpah.

Ia baru teringat kembali jati diri kelemahannya saat tertimpa suatu musibah atau bencana. Karena itu ia akan menyambut musibah tersebut dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Ia bahkan bersyukur karena Allah SWT masih memperhatikannya dan tidak membiarkan dirinya larut dalam fenomena kesempurnaan yang menyebabkan lalai dari hakikat kehimaam yang melekat pada dirinya.

Lain halnya dengan keadaan hamba-hamba arif dan rabbani yang selalu ingat akan jatidiri kelemahannya. Dalam suka maupun duka, kaya atau miskin, mereka selalu yakin dengan sebenar-benarnya bahwa manusia adalah makhluk yang butuh kepada Allah dalam segala keadaan.

Nikmat yang mereka terima ataupun musibah yang melanda, semuanya mereka sambut dengan tangan terbuka tanpa perbedaan sedikit pun. Mereka menganggap semua itu adalah anugerah dari Allah SWT yang telah diputuskan dan pasti akan mereka rasakan. Semua hari yang mereka lalui adalah hari raya yang harus dijalani dengan kegembiraan dan kebahagiaan.

Read More >>

Menyembuhkan Luka Hati

(العجب كل العجب ممن يهرب مما لاانفكاك له عنه و يطلب ما لا بقاء له معه (فإنها لا تعمى الأبصار و لكن تعمى القلوب التى في الصدور

KH WAFI MZ “Keajaiban yang sungguh mengherankan ialah seseorang yang berlari dari sesuatu yang tidak mungkin lepas darinya. Dan (kemudian) ia mencri sesuatu yang tak akan kekal bersama dirinya. (Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada”.(QS. Al Hajj:46)

1. Penjelasan

Allah SWT adalah Dzat yang tak akan lepas/terpisah dari seorang manusia semenjak pertama kali ada hingga ia sampai ke dalam syurga atau malah kekal di dalam neraka. Baik ia kafir, fasik ataupun mukmin. Baik ia hidup di belahan bumi bagian barat maupun timur. Dalam semua keadaan, Allah SWT pasti selalu bersamanya. Sama saja apakah ia hidup di dunia fana ini ataupun menjalani kehidupan di akhirat kelak.

Namun kebersamaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan seorang manusia tidak terbatasi oleh posisi atau tempat tertentu dan tentunya tidak boleh di bayangkan dengan penggambaran-penggambaran yang menunjukkan keserupaan Allah SWT dengan makhluk. Maknaaa kebersamaan Allah SWT adalah bersama dengan ilmu, perlindungan dan pengaturan.

Allah SWT adalah satu-satunya Khaliq sedangkan selain Allah adalah makhluk. Apabila manusia hidup dengan dikelilingi berbagai macam makhluk, maka hal itu hanyalah sementara dan pasti segera meninggalkan atau ditinggalkannya. Mungkin ia akan mati lebih dahulu sehingga harus meninggalkannya dan mungkin juga makhluk yang melingkupinya musnah/pergi hingga ia berada jauh dari makhluk tersebut atau bahkan hilang sama sekali.

Tabiat manusia biasanya akan menyukai rumah yang telah ia bangun, perkakas-perkakas yang ia jadikan hiasan, anak dan istri, harta benda yang telah ia usahakan, pangkat yang ia miliki atau ketenaran yang ia nikmati dan sebagainya. Ia hanya melihat sebab dan media secara lahiriah tanpa menyadari adanya Dzat yang menjadikan sebab-sebab tersebut.

Ia memandang hujan yang turun dari langit kemudian berterima kasih kepada langit serta menceritakan agungnya kasih sayang langit. Saat melihat bumi yang menghijau oleh pepohonan atau mata air yang melimpah, maka hal itu hanya menggerakkan perasaannya untuk bersyukur kepada alam.

Mayoritas manusia beranggapan akan menjalani kehidupan yang panjang di dunia fana ini. Mereka mengumpulkan harta kekayaan dan menumpuk-numpuknya. Selalu mencari tambahan tanpa pernah puas karena terlanjur tergila-gila kepadanya. Mereka menjalin persahabatan dan koneksi-koneksi dengan mengatasnamakan sebagai perintah-perintah ketuhanan lalu berusaha mengabadikannya, namun sebenarnya alasan mereka hanyalah karena nafsu syahwat dan kenikmatan-kenikmatan yang ingin mereka rasakan selama-lamanya.

Akan tetapi, apakah hukum-hukum alam akan mengijinkan keabadian bayangan-bayangan mereka? Ataukah alam akan membiarkan ia hidup abadi bersama kesenangan-kesenangan yang mereka inginkan?

Sebenarnya Allah SWT telah menjadikan alam ini berbicara dan bahkan semua perkara yang ada di dunia ini berkata-kata melontarkan jawaban pada pertanyaan di atas. Hal itu bisa kita saksikan ketika Allah SWT menciptakan kebiasaan-kebiasaan alami yang tetap dan tidak berubah-ubah. Fase-fase wujud kehidupan segala sesuatu pasti tersusun dari permulaan yang lemah, semakin bertambah kekuatannya sedikit demi sedikit hingga mencapai puncaknya kemudian kembali lemah, layu, pudar dan akan hilang sama sekali.

Ini merupakan hukum alam yang selalu melekat kepada segala sesuatu di alam semesta, mulai dari manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, bunga-bunga yang bermekaran, hingga bintang-bintang dan bahkan bumi yang kita pijak setiap hari. Contoh yang sederhana bisa kita lihat dalam kehidupan sebatang pohon. Bermula dari sebiji benih yang merekah, berubah menjadi tumbuhan kecil lalu berkembang secara bertahap hingga mencapai puncaknya. Kemudian dengan segera akan mengalami fase-fase semakin lemah hingga layu dan akhirnya mati.

Kisah yang sama akan kita jumpai dalam perkembangan hidup bunga-bunga yang tumbuh pada musim tertentu, tumbuh dan berkembang kemudian layu dan hilang. Begitu juga matahari yang mengeluarkan sinar lemah di pagi hari lalu semakin terang hingga mencapai puncaknya pada siang hari. Kemudian kekuatan sinarnya akan semakin lemah hingga persis sebagaimana keadaannya di waktu terbit lalu akhirnya hilang dari pandangan.

Semua fenomena ala mini memberitahukan kepada kita tentang akhir yang akan menimpa segala sesuatu, yaitu musnah dan sirna. Tak lain agar kita tidak tertipu dan terperdaya oleh kekuatan dan kejayaan yang berada di depan kedua mata dengan iming-iming kebahagiaan yang tersimpan di balik semuanya.

2. Dalil

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”(QS. Al Hadid: 20)

Pemandangan yang semula tampak indah di depan mata lalu akhirnya layu, lemah kemudian hilang seperti dalam ayat di atas akan selalu berlaku dalam setiap kesenangan dan kemewahan duniawi yang kerap kali membutakan manusia. Lalu bagaimana kita menyikapinya?

Akal dan logika normal akan berkata, “Eratkanlah hubungan dan ikatanmu dengan Dzat yang menciptakan semua makhluk, yang memiliki kehendak dan kuasa serta mengatur dan menjaga semesta raya. Pergunakanlah apa yang kau butuhkan di dunia ini sebagai pinjaman yang wajib di kembalikan dan ingatlah bahwa apa yang kau lihat ini hanyalah substansi yang pasti akan segera hancur dan sirna.

Dengan begitu engkau akan melihat dan menerima perkara-perkara yang ada di dunia ini secara lahir, namun hatimu hanya berhubungan dan berpegangan kepada Dzat yang menciptakannya. Jika masanya selesai dan waktu perpisahan tiba, maka engkau akan tetap bersama Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Sempurna. Saat sebuah media yang ada dalam kekuasaanmu sirna, engkau tak akan bingung mencari sebab lain sebagai pegangan yang nantinya pun berakhir dengan kisah yang sama. Seperti seseorang yang berdiri di atas gumpalan salju, saat matahari memanasi bumi, salju akan melelh dan musnah. Akhirnya ia berpijak kepada bumi tanpa menyadari bahwa keadaan bumi akhirnya juga persis seperti salju. Dengan berpegang erat kepada Dzat yang menciptakan sebab, maka hilangnya perkara-perkara yang ada di hadapanmu tak akan berpengaruh apa-apa bagimu. Menjauhnya perantara tak akan berimbas buruk kepada kehidupanmu.

Setelah itu, saat episode kematian harus engkau jalani, maka takkan ada rasa sedih atau putus asa atas perpisahanmu dengan dunia. Hal itu karena engkau tahu bahwa dunia ini hanyalah perantara yang mengantarkanmu menuju kehidupan yang lebih mulia. Kematian juga tidak pernah memisahkanmu dengan teman yang selalu bersamamu dan menjadi satu-satunya pegangan dalam hidupmu. Maut yang mendatangimu tidaklah memutuskan hubunganmu dengan Allah Yang Maha Kuasa. Yaitu hubungan yang telah engkau jalin selama hidup di dunia fana.

Seseorang yang menjalani hidup dengan penuh keyakinan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Dzat yang menciptakan dan memberi pengaruh, maka ia pastinya akan mengalami kehidupan alam barzakh yang tidak jauh berbeda dengan kehidupannya di bumi. Kalau ia mengalami perubahan dan pergerakan di dunia dengan tetap selalu bersama Allah Yang Maha Pencipta, maka ketika ia sendirian terkubur dalam perut bumi pastinya juga bersama dengan Allah SWT. Bahkan ia akan lebih senang karena ia telah terpisah dari materi-materi dunia yang membingungkan dan menyesatkan.

Saat hari kiamat tiba dan nyawa-nyawa dikembalikan ke dalam jasadnya masing-masing, lalu semua manusia digiring ke hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, maka ia semakin bertambah gembira dan merasa bahagia. Bagaimana tidak? Ia telah menjalani tahap demi tahap kehidupan selama ini tanpa pernah terlepas dari Allah SWT. Sedangkan hari ini adalah waktunya untuk menghadap Allah SWT. Pasti ia akan merasa lebih bahagia dan hubungannya ikatannya akan semakin erat terjalin bersama Allah SWT.

3. Misteri keajaiban

Dengan demikian, layak sekali kalau sekarang ini kita bersama Ibnu ‘Athaillah terheran-heran dan terkagum-kagum kepada orang-orang yang berlari ingin meninggalkan Tuhan yang tak mungkin kekal bersamanya. Hal ini terjadi karena mereka hanya melihat dan mempergunakan media dan perantara secara lahiriah, berpegangan serta mengandalkan kemewahan yang mereka nikmati, namun mereka lupa dan lalai kepada Tuhan yang menganugerahkan segala kenikmatan tersebut. Bahkan mungkin juga mereka mengingkari adanya Tuhan Yang Maha Pencipta.

Kekaguman ini sangat wajar karena sebenarnya akal dan mata batin orang tersebut telah mengetahui bahwa media yang mereka nikmati dan mereka pergunakan adalah sesuatu yang pasti sirna dan tak akan abadi. Logika mereka juga mengerti bahwa dalam sebab-sebab lahiriah itu telah melekat tabiat rusak dan musnah.

Yang lebih mengherankan, setiap hari ia melihat sirnanya kenikmatan-kenikmatan duniawi itu dan ia juga menyaksikan hilang atau menjauhnya kesenangan meninggalkan orang-orang yang bergantung kepada materi-materi tersebut. Semua itu benar-benar meninggalkan mereka atau sebaliknya malah mereka sendiri yang meninggalkan segalanya. Hanya satu yang tak pernah lepas dari mereka, yaitu Tuhan yang selalu menyertai sepanjang hidup yang mereka jalani. Dengan kenyataan seperti ini, ternyata ia masih mengandalkan dunia yang ada di depan mata dan bahkan berlari menjauhi Allah, Tuhan seru sekalian alam.

Selain fakta dan kenyataan yang sangat jelas tersebut, ia sebenarnya sangat sering mendengar nasehat serta peringatan-peringatan tentang keburukan dan bahaya dunia. Anehnya ia masih saja berpijak kepada sebongkah salju tanpa peduli apakah ia nantinya akan terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam, ketika salju tersebut akhirnya leleh dan mencair.

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Orang-orang kafir, karena amal-amal mereka tidak didasarkan atas iman, tidaklah mendapatkan balasan dari Tuhan di akhirat walaupun di dunia mereka mengira akan mendapatkan Balasan atas amalan mereka itu.”(QS. An Nur: 39)

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”(QS. Al Kahfi: 46)

“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, Maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya? Maksudnya, hal-hal yang berhubungan dengan duniawi seperti, pangkat kekayaan keturunan dan sebagainya.”(QS. Al Qashash: 60)

4. Koneksi yang serasi

Menjalin hubungan dengan Allah SWT bukanlah berarti meninggalkan materi-meteri dunia secara total. Hal itu karena dunia ini diciptakan oleh Allah SWT sebagai anugerah yang disediakan untuk manusia seluruhnya. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla tidak rela apabila manusia berpaling sama sekali meninggalkan dunia.

Seorang muslim hanyalah dituntut agar ia yakin dengan sebenar-benarnya bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Dzat yang memberikan anugerah dan pemberian. Dengan begitu ia tidak akan mencari rizqi selain dari Allah SWT. Ia harus tahu hanya Allah –lah yang menciptakan semua sebab yang timbul di dunia ini. Akhirnya ia tidak akan menyangka bahwa sebab-sebab lahiriah itu mempunyai pengaruh-pengaruh yang harus di perhitungkan. Ia harus sadar bahwa dunia yang tampak elok dan sedap di pandang serta enak untuk dinikmati, itu pasti akan segera pergi atau bahkan sirna sama sekali. Tak ada teman, sahabat, keluarga ataupun kekasih yang setia bersamanya selain Allah ‘Azza wa Jalla.

Dengan keyakinan seperti ini, maka ia tidak akan pernah condong kepada dunia. Segenap jiwanya hanya tertertuju kepada Allah SWT, satu-satunya Dzat yang menjadi pelipur lara hatinya, tempat berlindung serta sumber kebahagiaannya. Itulah keadaan seorang mu’min sejati.

Secara lahir ia menggunakan berbagai sarana dunia, namun hatinya hanya meyakini bahwa Allah SWT adalah Dzat yang menciptakan semua itu. Hatinya selalu ingat dan terhubung kepada Allah yang menganugerahkan segala macam nikmat. Saat perasaan takut menghampiri, tak ada tempat pengaduan dan tempat berlindung selain Allah ‘Azza wa Jalla. Jiwanya senantiasa diliputi ketenangan, kegembiraan dan kebahagiaan.

5. Kisah teladan

Seorang lelaki shalih harus meninggalkan desanya karena suatu tuntutan urusan keagamaan. Ia memutuskan sebuah desa baru sebagai tempat tinggalnya. Suatu saat, seorang imam masjid yang menjadi tempat biasa shalat sang lelaki tersebut berkenalan dengannya. Si imam masjid bertanya mengenai sumber perekonomian sang lelaki hingga kemudian ia menjawab dengan tenang bahwa sesungguhnya Allah tidak pernah melupakannya.

Setelah beberapa hari berlalu, syaikh imam masjid kembali menanyakan keadaan sang lelaki shalih dan ingin tahu lebih jelas tentang sumber penghidupannya. Lelaki itupun meyakinkan kembali bahwa Allah SWT selalu memberikan anugerah kepadanya dan ia sama sekali tidak merasakan kesulitan dalam hal rizqi.

Jawaban tersebut ternyata belum memuaskan sang imam masjid, sehingga dalam pertemuan yang ketiga ia bertanya lagi kepada si lelaki shalih, “Dari mana sesungguhnya engkau mendapatkan penghidupan?”, si lelaki menjawab, “Sebenarnya di desa ini ada seorang Yahudi yang mengenal dan mengerti kondisiku. Ia kemudian mengirimkan sebagian hartanya kepadaku, hingga cukup untuk memnuhi kebutuhanku sehari-hari”.

Syaikh imam masjid berkata, “baiklah kalau begitu, sungguh baru sekarang kegelisahanku yang selama ini menyelimutiku, hilang dan sirna”. Lelaki shalih tersebut kemudian menimpali, “Wahai orang yang ada di depanku, sunggu aku bersumpah untuk melakukan qadha’ atas shalat-shalat yang aku dirikan di belakangmu. (kiasan bahwa pada saat itu, sang imam berada dalam keadaan yang kurang sempurna imannya). Berkali-kali aku telah meyakinkanmu, sesungguhnya Allah SWT telah menjamin rizqiku dan tak akan melupakanku, tapi mengapa hal itu belum bisa menenangkanmu. Namun sebaliknya, saat aku memberitahukan kepadamu bahwa yang membantu permasalahan rizqiku adalah seorang Yahudi, engkau baru percaya akan adanya jaminan dan tanggungan Allah SWT.

Seperti itulah keadaan sebagian besar kaum muslim dewasa ini. Mereka mengagungkan dan membangga-banggakan materi serta bentuk-bentuk lahiriah, hingga melalaikan siapa yang menciptakan semua itu. Akhirnya mereka hidup dalam imajinasi dan khayalan, tanpa mengerti substansi sebenarnya. Mereka terperangkap oleh fatamorgana yang tiada berwujud nyata, sehingga lupa kepada Dzat yang memiliki eksistensi paling nyata memenuhi semesta raya. Mereka berbicara mengenai kasih sayang langit, namun tak menyadari Dzat yang menciptakan dan sangat mengasihinya. Mereka tak memperhitungkan tangan yang penuh belas kasih, menyuapkan sendok yang berisi makanan ke dalam mulut mereka, namun malah membangga-banggakan sendok yang menuangkan makanan, mengisi sudut-sudut mulut mereka.

6. Di balik misteri

Ibnu ‘Athaillah mengakhiri hikmah ini dengan sebuah firman Allah ‘Azza wa Jalla,

“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.(QS. Al Hajj: 46)

Read More >>