Showing posts with label Tasawuf. Show all posts
Showing posts with label Tasawuf. Show all posts

Pengajian Ihya’ Ulumuddin Menurut KH. Maimoen Zubair

ihyaulumudin Di beberapa pesantren, khataman pengajian Ihya’ dimeriahkan dengan berbagai acara, seperti pengajian umum, tahlil dan sebagainya. Mengomentari fenomena ini Mbah Moen berpandangan bahwa khataman Ihya’ kalau dimeriahkan, biasanya tidak sampai lima kali Kiainya sudah meninggal. Beliau menyebut beberapa contoh diantaranya, Kyai Ihsan Jampes Kediri, Kyai Jazuli Jember, Kyai pesantren Mayang Ponorogo, dan seorang kyai dari Palembang yang diceritakan panjang lebar.

 

Ketika saya tanyakan, mengapa demikian, Beliau menjawab, “yo ngono iku”. Setelah jeda beberapa saat Beliau melanjutkan, “Ihya’ iku zuhud”. Saya mengartikan dawuh beliau bahwa karena Ihya’ bersifat zuhud, maka ia tidak cocok dengan hiruk-pikuk kemeriahan yang diadakan dalam rangka memungkasi pengajian Ihya’ tersebut.

 

Oleh karena itu Mbah Moen berpantang memeriahkan khataman Ihya’. Pernah suatu kali para santri berencana, bahkan sudah mengumpulkan dana, untuk memeriahkan khataman Ihya’. Ketika mengetahui hal tersebut beliau melarangnya. Dan alhamdulillah sejak pertama kali mengampu pengajian Ihya’ di tahun enam puluhan hingga kini, Beliau sudah lebih dari lima kali khataman Ihya’. Semoga Allah memanjangkan dan memberkati umur Beliau.

 

Menurut Mbah Moen, beberapa kyai terdahulu juga mengambil sikap kehati-hatian serupa. Mbah Dlowi Lasem, misalnya, kalau ngaji Ihya’ tidak pernah dikhatamkan. Demikian pula Mbah Ber. Mbah Moen sendiri selalu mengkhatamkan Ihya’, tetapi disertai dengan dua langkah antisipasi: Pertama, tidak memeriahkan khtaman; kedua, membuat jeda antara akhir pengajian dengan awal pengajian berikutnya.

 

Meski demikian Mbah Moen merasa bahwa cara yang ditempuhnya masih ada yang kurang tepat. Beliau menuturkan, setiap kali beliau sampai pada kitab dzikr al-maut ada santri yang meninggal.

 

Disamping keunikan di atas, Mbah Moen juga menuturkan, “moco Ihya’ iso nyebabno tentrem lan rame”. Saya menangkap pengertian “rame” di sini adalah “rame santrine”.

 

Tentang “tentrem” ini saya teringat dengan dawuh Beliau ketika pengajian di Dasin Tambakboyo Tuban, “Nduwe duit ora bungah, ora nduwe duit ora susah”. Ini sikap hidup yang bisa mendatangkan ketentraman, tetapi tidak mudah diresapkan. Bisa jadi dengan mengaji Ihya’ seseorang secara perlahan bisa meresapkan sikap hidup semacam itu yang pada gilirannya bisa mendatangkan ketentraman.

 

Dan tentang “rame santrine”, saya melihatnya sebagai berkah yang dialami Mbah Moen. Umumnya pesantren besar didirikan oleh pengasuh generasi pertama. Setelah diwariskan ke pengasuh generasi kedua atau ketiga barulah pesantren tersebut mengalami peningkatan jumlah santri yang pesat. Tetapi pesantren Al-Anwar yang didirikan Mbah Moen memiliki fenomena yang berbeda. Mbah Moen adalah perintis berdirinya Pesantren Al-Anwar, dan di tangan beliau pula peningkatan jumlah santri mengalami perkembangan pesat. Hingga kini trend pertumbuhan jumlah santri masih berada pada grafik naik. Semoga Allah memanjangkan dan memberkati usia Beliau.

Read More >>

Kebahagiaan Dibalik Cobaan dan Musibah

ورود الفاقات أعياد المريدين السالك

gus wafi2 “Datangnya musibah dan cobaan adalah hari raya yang indah bagi orang-orang yang sedang menempuh jalan menuju kepada Allah swt (السالك /المريد).”

1. Kelemahan manusia

الفاقة atau biasa diartikan sebagai puncak kelemahan dan kefakiran dan kekurangan adalah sebuah sifat yang tidak bisa lepas dari manusia dalam segala keadaan. Hanya saja datangnya musibah dan cobaan yang menimpa seseorang manusia, akan mengingatkannya kembali setelah beberapa saat meninggalkan sifat asal ini.

Artinya, kadang-kadang seseorang melupakan sifat lemah dan kurang yang melekat kepadanya ketika sedang diliputi nikmat dan jauh dari musibah. Ia menyangka bahwa dirinya adalah orang yang kuat, padahal sebenarnya lemah. Ia mengira dirinya kaya meskipun hakikatnya miskin. Tak lain karena yang dinamakan kuat adalah orang yang memiliki kekuatan serta mampu mempertahankannya sesuai apa yang ia inginkan, bukannya orang yang hanya mampu menggunakan kekuatan, namun tidak bisa mempertahankannya. Begitu juga yang dinamakan kaya adalah orang yang memikiki dan menguasai kekayaan.

Bukanlah dikatakan kaya seseorang yang membutuhkan harta yang banyak, agar ia menjadi tidak butuh kepada orang lain.

Dan jika kita mau berkata jujur, di dunia ini tidak ada manusia yang memiliki kekuatan kemudian mempertahankan sesuai kehendaknya. Sama halnya, tak ada seorang pun yang benar-benar memiliki kekayaannya, hingga ia sama sekali tidak membutuhkan orang lain.

Pada dasarnya, hakikat manusia seluruhnya adalah orang-orang yang fakir. Selalu membutuhkan kepada Dzat yang memberikan makanan agar mereka tidak kelaparan, yang menganugerahkan kekuatan serta menghadiahkan kekayaan kepada mereka sehingga mereka menjadi kaya dan tidak butuh kepada orang lain. Tak lain Dzat tersebut adalah Allah Yang Maha Sempurna.

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Q.S. Quraisy: 3-4)

Apabila Allah swt menganugerahkan kekayaan dan kekuatan atau memberikan makanan dan rasa aman kepada seseorang manusia, maka hal itu tidaklah serta merta menjadikannya lepas dari sifat lemah dan kurang, yang melekat pada dirinya. Karena kelemahan adalah sifat asli yang selalu melingkupi kehidupan manusia. Adapun kekuatan, kekayaan ataupun kemakmuran, semua itu hanyalah perkara-perkara yang datang dan pergi silih berganti, sesuai dengan ketetapan Allah swt dan selalu menyimpan hikmah-hikmah tertentu.

Kata pepatah, “Manusia adalah tempatnya salah dan lupa (الإنسان محل الخطاء والنسيان )”. Dan memang benar, kebiasaan manusia saat berada dalam limpahan rahmat dan nikmat-Nya, ia menjadi lupa diri dan sifat aslinya yaitu, kelemahan dan kehinaan. Ia baru teringat lagi sifat asalnya ketika sedang dirundung musibah dan kemalangan.

Berarti yang di kehendaki dengan kata الفاقات oleh Ibnu ‘Athaillah dalam hikmah ini adalah musibah-musibah dan cobaan-cobaan semisal sakit, kemiskinan dan ketakutan yang melanda seseorang, dimana ia telah merasakan sehat, kaya, ketentraman, dan lain sebagainya. Bukan seperti penjelasan di awal bab ini, yang mengatakan bahwa الفاقة ialah puncak kelemahan, kefakiran dan kekurangan.

2. Rahasia di balik musibah

Seorang hamba yang sedang berusaha menempuh jalan pendekatan diri kepada Allah swt, akan melihat rahasia di balik musibahdan bencana yang menimpanya. Cobaan yang ia terima akan menjadi alarm yang membangunkan tidurnya sehingga ia sadar dan ingat kembali akan jati dirinya yaitu kelemahan dan kekurangan. Ia menganggap bahwa musibah tersebut adalah snugerah yang sangat agung melebihi nikmat kesehatan atau kekayaan, dan lain-lainnya.

Karena itu, ia akan merasa gembira dan bahagia menyambut datangnya berbagai macam musibah dan bencana. Hari-hari yang ia lalui bersama musibah, akan ia anggap sebagai hari raya yang penuh dengan kebahagiaan, karena datangnya pertolongan dan kasih sayang Allah swt kepadanya. Ia menjadi sadar, ternyata Allah ‘Azza wa Jalla tidak membiarkan dirinya tersesat dalam khayalan-khayalan yang membingungkan, yaitu fenomena kekuatan, kekayaan serta kemakmuran dan kekuasaan. Akhirnya ia teringat kembali kepada sifat asli kehambaannya, jati diri yang selalu melekat dan tak akan pernah lepas darinya, yaitu sifat lemah dan butuh kepada pertolongan dan anugerah Allah swt.

Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang menjadi dalil tentang kebenaran hakikat ini. Saya pribadi juga pernah merasakan pengalaman seperti ini. Singkat saja, di Damaskus aku pernah mengenal seorang lelaki yang cukup terhormat dan ia juga menempati jabatan terkemuka. Setelah beberapa saat ia menikmati kemakmuran hingga mencapai titik puncaknya, Allah swt memberikan cobaan kepadanya berupa sakit yang menyebabkan kelumpuhan separuh badannya.

Tak terduga, ternyata dalam sakit yang menimpa tubuhnya, ia menemukan sebuah keadaan yang sangat mengagumkan. Ia merasa begitu dekat kepada Allah swt sehingga timbul kegembiraan dan kebahagiaan yang tak pernah ia temui dan sama sekali belum pernah ia nikmati. Sebelumnya, ia tek pernah membayangkan anugerah dan keindahan semacam ini.

Suatu hari, aku bersama orang tuaku menyempatkan diri untuk menjenguk laki-laki yang sedang sakit tersebut. Setelah dirasa cukup, orang tuaku berpamitan kepadanya dan tak lupa mendoakan agar ia segera sembuh dari sakit yang menderitanya. Mengejutkan sekali karena laki-laki tersebut kemudian berkata, “Wahai temanku, aku mempersaksikan ucapanku kedapamu jikalau kesembuhanku akan meyebabkan hilangnya sebuah anugerah Allah swt yang sangat agung, maka aku sungguh tidak membutuhkan kesembuhan seperti itu”

Dengan cukup terkesan orang tuaku membalas ucapannya, “Bukan seperti itu yang kuinginkan, maksudku adalah aku meminta kepada Allah swt agar melimpahkan kesembuhan dari sakit yang menimpamu, namun dengan tetap membiarkan anugerah agung (kebahagiaan [الحال] yang ia rasakan ketika sakit) tersebut berada dalam dirimu.

Dari kisah tersebut, kita bisa menemukan kebenaran hikmah Ibnu ‘Athaillah ini. Lihat saja, lelaki yang sakit tersebut ternyata malah merasakan sebuah kebahagiaan yang melebihi nikmat kesehatan. Tak lain karena sakit yang ia derita merupakan perantara yang mendekatkan dirinya kepada Allah swt ke dalam hati.

3. Hari raya selamanya

Orang-orang yang sedang berusaha keras menempuh jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, akan menyambut datangnya musibah dan bencana dengan gembira laksana hari raya yang penuh dengan kebahagiaan dan kesenangan. Lalu apakah orang-orang arif rabbani tidak merasakan kebahagiaan seperti ini ketika terkena musibah?

Orang-orang arif dan rabbani adalah hamba-hamba Allah SWT yang telah memiliki jiwa yang teguh dan stabil keadaanya. Tak ada perbedaan yang ia ia rasakan baik dalam masa indah ataupun masa-masa yang buruk. Artinya nikmat apapun yang ia terima tidak akan menyebabkan jiwanya lupa dan lalai dari Allah SWT. Sehingga jika ia dilanda oleh suatu musibah, maka hal itu tidaklah menjadi alarm pengingat baginya. Bagaimana mungkin cobaan itu jadi pengingat kalau ia tidak pernah lupa ataupun lalai.

Memang sudah menjadi sifat dasar bagi orang-orang yang termasuk dalam kategori hamba arif, bahwa ia selalu bersama Allah SWT disetiap waktu dalam setiap keadaan. Segala sesuatu yang datang kepadanya akn selalu ia sambut dengan gembira dan bahagiahingga hatinya senantiasa diliputi perasaan ridla kepada Allah SWT.

Ketika sedang memperoleh kenikmatan, ia akan menggunakan dengan sebaik-baiknya dengan tetap meyakini bahwa apa yang ia terima adalah anugerah agung dari Allah SWT. Ia tidak akan pernah cemas ataupun gelisah karena bencana atau musibah yang menimpanya. Sebaliknya ia akan menyambut musibah itu dengan tangan terbuka karena ia sadar bahwa itu semua itu adalah ketetapan Allah SWT. Tak hanya sekedar sabar, ia bahkan menerima cobaan itu dengan penuh keridloan serta yakin jika hal itu adalah yang terbaik untuknya.

Dengan keadaan seperti itu, tentunya seorang arif tak akan terdorong untuk menyambut musibah yang melandanya melebihi sambutan yang ia lakukan saat menerima nikmat. Penyebabnya tak lain karena ia selalu menjadi sorang tamu dihadapannya Allah SWT. Apa yang disuguhkan oleh Allah kepadanya akan selalu ia yakini sebagai hidangan penghormatan, baik musibah ataupun nikmat, semua itu ia yakini sebagai anugerah agung dari Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Hamba yang arif akan selalu merasa butuh kepada Allah ‘Azza wa Jalla baik di masa susah ataupun gembira. Kenyamanan dan kekayaan yang ia rasakan tidak akan menjadikannya mabuk kepayang dan terlena dari Allah swt.

Kejadian semacam ini sering kita jumpai dari kehidupan para sahabat dan ulama’ salaf yang telah mencapai kedudukan arif dan rabbani. Misalnya saja keberadaan Sayyidina Umar ibn Khaththab r.a setelah berhasil menaklukan negeri Kisro sehingga memperoleh harta rampasan perang yang sangat banyak dan melimpah ruah. Atau kehidupan Abdullah ibn Mubarak r.a yang menjadi teladan bagi pengusaha sukses yang kaya raya, dan lain-lain. Kekayaan dan kenyamanan yang mereka nikmati sama sekali tidak menghalangi untuk menyadari kelemahan yang menjadi jatidiri mereka. Mereka tidak membutuhkan musibah atau bencana untuk mengingatkan hakikat kemanusiaan yang selalu melekat pada diri mereka.

4. Kesimpulan

Meski sebenarnya manusia selalu diliputi sifat kelemahan dan kekurangan, namun terkadang hakikat ini terlupakan oleh seorang السالك المريد, yaitu orang yang sedang berusaha menempuh jalan untuk mendekat kepada Allah SWT. Biasanya keadaan ini terjadi saat ia sedang merasakan kenyamanan hidup dengan disertai kemewahan dan kekayaan yang berlimpah-limpah.

Ia baru teringat kembali jati diri kelemahannya saat tertimpa suatu musibah atau bencana. Karena itu ia akan menyambut musibah tersebut dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Ia bahkan bersyukur karena Allah SWT masih memperhatikannya dan tidak membiarkan dirinya larut dalam fenomena kesempurnaan yang menyebabkan lalai dari hakikat kehimaam yang melekat pada dirinya.

Lain halnya dengan keadaan hamba-hamba arif dan rabbani yang selalu ingat akan jatidiri kelemahannya. Dalam suka maupun duka, kaya atau miskin, mereka selalu yakin dengan sebenar-benarnya bahwa manusia adalah makhluk yang butuh kepada Allah dalam segala keadaan.

Nikmat yang mereka terima ataupun musibah yang melanda, semuanya mereka sambut dengan tangan terbuka tanpa perbedaan sedikit pun. Mereka menganggap semua itu adalah anugerah dari Allah SWT yang telah diputuskan dan pasti akan mereka rasakan. Semua hari yang mereka lalui adalah hari raya yang harus dijalani dengan kegembiraan dan kebahagiaan.

Read More >>

Menyembuhkan Luka Hati

(العجب كل العجب ممن يهرب مما لاانفكاك له عنه و يطلب ما لا بقاء له معه (فإنها لا تعمى الأبصار و لكن تعمى القلوب التى في الصدور

KH WAFI MZ “Keajaiban yang sungguh mengherankan ialah seseorang yang berlari dari sesuatu yang tidak mungkin lepas darinya. Dan (kemudian) ia mencri sesuatu yang tak akan kekal bersama dirinya. (Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada”.(QS. Al Hajj:46)

1. Penjelasan

Allah SWT adalah Dzat yang tak akan lepas/terpisah dari seorang manusia semenjak pertama kali ada hingga ia sampai ke dalam syurga atau malah kekal di dalam neraka. Baik ia kafir, fasik ataupun mukmin. Baik ia hidup di belahan bumi bagian barat maupun timur. Dalam semua keadaan, Allah SWT pasti selalu bersamanya. Sama saja apakah ia hidup di dunia fana ini ataupun menjalani kehidupan di akhirat kelak.

Namun kebersamaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan seorang manusia tidak terbatasi oleh posisi atau tempat tertentu dan tentunya tidak boleh di bayangkan dengan penggambaran-penggambaran yang menunjukkan keserupaan Allah SWT dengan makhluk. Maknaaa kebersamaan Allah SWT adalah bersama dengan ilmu, perlindungan dan pengaturan.

Allah SWT adalah satu-satunya Khaliq sedangkan selain Allah adalah makhluk. Apabila manusia hidup dengan dikelilingi berbagai macam makhluk, maka hal itu hanyalah sementara dan pasti segera meninggalkan atau ditinggalkannya. Mungkin ia akan mati lebih dahulu sehingga harus meninggalkannya dan mungkin juga makhluk yang melingkupinya musnah/pergi hingga ia berada jauh dari makhluk tersebut atau bahkan hilang sama sekali.

Tabiat manusia biasanya akan menyukai rumah yang telah ia bangun, perkakas-perkakas yang ia jadikan hiasan, anak dan istri, harta benda yang telah ia usahakan, pangkat yang ia miliki atau ketenaran yang ia nikmati dan sebagainya. Ia hanya melihat sebab dan media secara lahiriah tanpa menyadari adanya Dzat yang menjadikan sebab-sebab tersebut.

Ia memandang hujan yang turun dari langit kemudian berterima kasih kepada langit serta menceritakan agungnya kasih sayang langit. Saat melihat bumi yang menghijau oleh pepohonan atau mata air yang melimpah, maka hal itu hanya menggerakkan perasaannya untuk bersyukur kepada alam.

Mayoritas manusia beranggapan akan menjalani kehidupan yang panjang di dunia fana ini. Mereka mengumpulkan harta kekayaan dan menumpuk-numpuknya. Selalu mencari tambahan tanpa pernah puas karena terlanjur tergila-gila kepadanya. Mereka menjalin persahabatan dan koneksi-koneksi dengan mengatasnamakan sebagai perintah-perintah ketuhanan lalu berusaha mengabadikannya, namun sebenarnya alasan mereka hanyalah karena nafsu syahwat dan kenikmatan-kenikmatan yang ingin mereka rasakan selama-lamanya.

Akan tetapi, apakah hukum-hukum alam akan mengijinkan keabadian bayangan-bayangan mereka? Ataukah alam akan membiarkan ia hidup abadi bersama kesenangan-kesenangan yang mereka inginkan?

Sebenarnya Allah SWT telah menjadikan alam ini berbicara dan bahkan semua perkara yang ada di dunia ini berkata-kata melontarkan jawaban pada pertanyaan di atas. Hal itu bisa kita saksikan ketika Allah SWT menciptakan kebiasaan-kebiasaan alami yang tetap dan tidak berubah-ubah. Fase-fase wujud kehidupan segala sesuatu pasti tersusun dari permulaan yang lemah, semakin bertambah kekuatannya sedikit demi sedikit hingga mencapai puncaknya kemudian kembali lemah, layu, pudar dan akan hilang sama sekali.

Ini merupakan hukum alam yang selalu melekat kepada segala sesuatu di alam semesta, mulai dari manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, bunga-bunga yang bermekaran, hingga bintang-bintang dan bahkan bumi yang kita pijak setiap hari. Contoh yang sederhana bisa kita lihat dalam kehidupan sebatang pohon. Bermula dari sebiji benih yang merekah, berubah menjadi tumbuhan kecil lalu berkembang secara bertahap hingga mencapai puncaknya. Kemudian dengan segera akan mengalami fase-fase semakin lemah hingga layu dan akhirnya mati.

Kisah yang sama akan kita jumpai dalam perkembangan hidup bunga-bunga yang tumbuh pada musim tertentu, tumbuh dan berkembang kemudian layu dan hilang. Begitu juga matahari yang mengeluarkan sinar lemah di pagi hari lalu semakin terang hingga mencapai puncaknya pada siang hari. Kemudian kekuatan sinarnya akan semakin lemah hingga persis sebagaimana keadaannya di waktu terbit lalu akhirnya hilang dari pandangan.

Semua fenomena ala mini memberitahukan kepada kita tentang akhir yang akan menimpa segala sesuatu, yaitu musnah dan sirna. Tak lain agar kita tidak tertipu dan terperdaya oleh kekuatan dan kejayaan yang berada di depan kedua mata dengan iming-iming kebahagiaan yang tersimpan di balik semuanya.

2. Dalil

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”(QS. Al Hadid: 20)

Pemandangan yang semula tampak indah di depan mata lalu akhirnya layu, lemah kemudian hilang seperti dalam ayat di atas akan selalu berlaku dalam setiap kesenangan dan kemewahan duniawi yang kerap kali membutakan manusia. Lalu bagaimana kita menyikapinya?

Akal dan logika normal akan berkata, “Eratkanlah hubungan dan ikatanmu dengan Dzat yang menciptakan semua makhluk, yang memiliki kehendak dan kuasa serta mengatur dan menjaga semesta raya. Pergunakanlah apa yang kau butuhkan di dunia ini sebagai pinjaman yang wajib di kembalikan dan ingatlah bahwa apa yang kau lihat ini hanyalah substansi yang pasti akan segera hancur dan sirna.

Dengan begitu engkau akan melihat dan menerima perkara-perkara yang ada di dunia ini secara lahir, namun hatimu hanya berhubungan dan berpegangan kepada Dzat yang menciptakannya. Jika masanya selesai dan waktu perpisahan tiba, maka engkau akan tetap bersama Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Sempurna. Saat sebuah media yang ada dalam kekuasaanmu sirna, engkau tak akan bingung mencari sebab lain sebagai pegangan yang nantinya pun berakhir dengan kisah yang sama. Seperti seseorang yang berdiri di atas gumpalan salju, saat matahari memanasi bumi, salju akan melelh dan musnah. Akhirnya ia berpijak kepada bumi tanpa menyadari bahwa keadaan bumi akhirnya juga persis seperti salju. Dengan berpegang erat kepada Dzat yang menciptakan sebab, maka hilangnya perkara-perkara yang ada di hadapanmu tak akan berpengaruh apa-apa bagimu. Menjauhnya perantara tak akan berimbas buruk kepada kehidupanmu.

Setelah itu, saat episode kematian harus engkau jalani, maka takkan ada rasa sedih atau putus asa atas perpisahanmu dengan dunia. Hal itu karena engkau tahu bahwa dunia ini hanyalah perantara yang mengantarkanmu menuju kehidupan yang lebih mulia. Kematian juga tidak pernah memisahkanmu dengan teman yang selalu bersamamu dan menjadi satu-satunya pegangan dalam hidupmu. Maut yang mendatangimu tidaklah memutuskan hubunganmu dengan Allah Yang Maha Kuasa. Yaitu hubungan yang telah engkau jalin selama hidup di dunia fana.

Seseorang yang menjalani hidup dengan penuh keyakinan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Dzat yang menciptakan dan memberi pengaruh, maka ia pastinya akan mengalami kehidupan alam barzakh yang tidak jauh berbeda dengan kehidupannya di bumi. Kalau ia mengalami perubahan dan pergerakan di dunia dengan tetap selalu bersama Allah Yang Maha Pencipta, maka ketika ia sendirian terkubur dalam perut bumi pastinya juga bersama dengan Allah SWT. Bahkan ia akan lebih senang karena ia telah terpisah dari materi-materi dunia yang membingungkan dan menyesatkan.

Saat hari kiamat tiba dan nyawa-nyawa dikembalikan ke dalam jasadnya masing-masing, lalu semua manusia digiring ke hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, maka ia semakin bertambah gembira dan merasa bahagia. Bagaimana tidak? Ia telah menjalani tahap demi tahap kehidupan selama ini tanpa pernah terlepas dari Allah SWT. Sedangkan hari ini adalah waktunya untuk menghadap Allah SWT. Pasti ia akan merasa lebih bahagia dan hubungannya ikatannya akan semakin erat terjalin bersama Allah SWT.

3. Misteri keajaiban

Dengan demikian, layak sekali kalau sekarang ini kita bersama Ibnu ‘Athaillah terheran-heran dan terkagum-kagum kepada orang-orang yang berlari ingin meninggalkan Tuhan yang tak mungkin kekal bersamanya. Hal ini terjadi karena mereka hanya melihat dan mempergunakan media dan perantara secara lahiriah, berpegangan serta mengandalkan kemewahan yang mereka nikmati, namun mereka lupa dan lalai kepada Tuhan yang menganugerahkan segala kenikmatan tersebut. Bahkan mungkin juga mereka mengingkari adanya Tuhan Yang Maha Pencipta.

Kekaguman ini sangat wajar karena sebenarnya akal dan mata batin orang tersebut telah mengetahui bahwa media yang mereka nikmati dan mereka pergunakan adalah sesuatu yang pasti sirna dan tak akan abadi. Logika mereka juga mengerti bahwa dalam sebab-sebab lahiriah itu telah melekat tabiat rusak dan musnah.

Yang lebih mengherankan, setiap hari ia melihat sirnanya kenikmatan-kenikmatan duniawi itu dan ia juga menyaksikan hilang atau menjauhnya kesenangan meninggalkan orang-orang yang bergantung kepada materi-materi tersebut. Semua itu benar-benar meninggalkan mereka atau sebaliknya malah mereka sendiri yang meninggalkan segalanya. Hanya satu yang tak pernah lepas dari mereka, yaitu Tuhan yang selalu menyertai sepanjang hidup yang mereka jalani. Dengan kenyataan seperti ini, ternyata ia masih mengandalkan dunia yang ada di depan mata dan bahkan berlari menjauhi Allah, Tuhan seru sekalian alam.

Selain fakta dan kenyataan yang sangat jelas tersebut, ia sebenarnya sangat sering mendengar nasehat serta peringatan-peringatan tentang keburukan dan bahaya dunia. Anehnya ia masih saja berpijak kepada sebongkah salju tanpa peduli apakah ia nantinya akan terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam, ketika salju tersebut akhirnya leleh dan mencair.

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Orang-orang kafir, karena amal-amal mereka tidak didasarkan atas iman, tidaklah mendapatkan balasan dari Tuhan di akhirat walaupun di dunia mereka mengira akan mendapatkan Balasan atas amalan mereka itu.”(QS. An Nur: 39)

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”(QS. Al Kahfi: 46)

“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, Maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya? Maksudnya, hal-hal yang berhubungan dengan duniawi seperti, pangkat kekayaan keturunan dan sebagainya.”(QS. Al Qashash: 60)

4. Koneksi yang serasi

Menjalin hubungan dengan Allah SWT bukanlah berarti meninggalkan materi-meteri dunia secara total. Hal itu karena dunia ini diciptakan oleh Allah SWT sebagai anugerah yang disediakan untuk manusia seluruhnya. Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla tidak rela apabila manusia berpaling sama sekali meninggalkan dunia.

Seorang muslim hanyalah dituntut agar ia yakin dengan sebenar-benarnya bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Dzat yang memberikan anugerah dan pemberian. Dengan begitu ia tidak akan mencari rizqi selain dari Allah SWT. Ia harus tahu hanya Allah –lah yang menciptakan semua sebab yang timbul di dunia ini. Akhirnya ia tidak akan menyangka bahwa sebab-sebab lahiriah itu mempunyai pengaruh-pengaruh yang harus di perhitungkan. Ia harus sadar bahwa dunia yang tampak elok dan sedap di pandang serta enak untuk dinikmati, itu pasti akan segera pergi atau bahkan sirna sama sekali. Tak ada teman, sahabat, keluarga ataupun kekasih yang setia bersamanya selain Allah ‘Azza wa Jalla.

Dengan keyakinan seperti ini, maka ia tidak akan pernah condong kepada dunia. Segenap jiwanya hanya tertertuju kepada Allah SWT, satu-satunya Dzat yang menjadi pelipur lara hatinya, tempat berlindung serta sumber kebahagiaannya. Itulah keadaan seorang mu’min sejati.

Secara lahir ia menggunakan berbagai sarana dunia, namun hatinya hanya meyakini bahwa Allah SWT adalah Dzat yang menciptakan semua itu. Hatinya selalu ingat dan terhubung kepada Allah yang menganugerahkan segala macam nikmat. Saat perasaan takut menghampiri, tak ada tempat pengaduan dan tempat berlindung selain Allah ‘Azza wa Jalla. Jiwanya senantiasa diliputi ketenangan, kegembiraan dan kebahagiaan.

5. Kisah teladan

Seorang lelaki shalih harus meninggalkan desanya karena suatu tuntutan urusan keagamaan. Ia memutuskan sebuah desa baru sebagai tempat tinggalnya. Suatu saat, seorang imam masjid yang menjadi tempat biasa shalat sang lelaki tersebut berkenalan dengannya. Si imam masjid bertanya mengenai sumber perekonomian sang lelaki hingga kemudian ia menjawab dengan tenang bahwa sesungguhnya Allah tidak pernah melupakannya.

Setelah beberapa hari berlalu, syaikh imam masjid kembali menanyakan keadaan sang lelaki shalih dan ingin tahu lebih jelas tentang sumber penghidupannya. Lelaki itupun meyakinkan kembali bahwa Allah SWT selalu memberikan anugerah kepadanya dan ia sama sekali tidak merasakan kesulitan dalam hal rizqi.

Jawaban tersebut ternyata belum memuaskan sang imam masjid, sehingga dalam pertemuan yang ketiga ia bertanya lagi kepada si lelaki shalih, “Dari mana sesungguhnya engkau mendapatkan penghidupan?”, si lelaki menjawab, “Sebenarnya di desa ini ada seorang Yahudi yang mengenal dan mengerti kondisiku. Ia kemudian mengirimkan sebagian hartanya kepadaku, hingga cukup untuk memnuhi kebutuhanku sehari-hari”.

Syaikh imam masjid berkata, “baiklah kalau begitu, sungguh baru sekarang kegelisahanku yang selama ini menyelimutiku, hilang dan sirna”. Lelaki shalih tersebut kemudian menimpali, “Wahai orang yang ada di depanku, sunggu aku bersumpah untuk melakukan qadha’ atas shalat-shalat yang aku dirikan di belakangmu. (kiasan bahwa pada saat itu, sang imam berada dalam keadaan yang kurang sempurna imannya). Berkali-kali aku telah meyakinkanmu, sesungguhnya Allah SWT telah menjamin rizqiku dan tak akan melupakanku, tapi mengapa hal itu belum bisa menenangkanmu. Namun sebaliknya, saat aku memberitahukan kepadamu bahwa yang membantu permasalahan rizqiku adalah seorang Yahudi, engkau baru percaya akan adanya jaminan dan tanggungan Allah SWT.

Seperti itulah keadaan sebagian besar kaum muslim dewasa ini. Mereka mengagungkan dan membangga-banggakan materi serta bentuk-bentuk lahiriah, hingga melalaikan siapa yang menciptakan semua itu. Akhirnya mereka hidup dalam imajinasi dan khayalan, tanpa mengerti substansi sebenarnya. Mereka terperangkap oleh fatamorgana yang tiada berwujud nyata, sehingga lupa kepada Dzat yang memiliki eksistensi paling nyata memenuhi semesta raya. Mereka berbicara mengenai kasih sayang langit, namun tak menyadari Dzat yang menciptakan dan sangat mengasihinya. Mereka tak memperhitungkan tangan yang penuh belas kasih, menyuapkan sendok yang berisi makanan ke dalam mulut mereka, namun malah membangga-banggakan sendok yang menuangkan makanan, mengisi sudut-sudut mulut mereka.

6. Di balik misteri

Ibnu ‘Athaillah mengakhiri hikmah ini dengan sebuah firman Allah ‘Azza wa Jalla,

“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.(QS. Al Hajj: 46)

Read More >>

Dasar Penciptaan Manusia Adalah Untuk Beribadah

jin__manusia_diciptakan_untuk_ “Orang yang banyak membaca tapi tak pernah menulis, itu adalah orang yang sakit. Seperti orang yang banyak makan, tapi tak buang air besar.” Habiburrahman al-Shirazy.

Jika kita mau menengok sejarah bangsa Indonesia dan umat-umat terdahulu yang kaya akan budaya dan peradaban, niscaya kita akan mengetahui betapa besarnya perhatian mereka terhadap perkembangan hasanah intelektual. Kita bisa mengetahui semua itu lewat peninggalan-peninggalan yang berupa prasasti, artefak dan karya tulis. Mereka sadar betul akan pentingnya suatu karya untuk generasi yang akan datang. Sebab dari sebuah karya tadi dapat diketahui bahwa di zaman itu ada suatu kemajuan atau kemerosotan. Sendainya tidak ada tulisan, baik yang tertera di dalam prasasti atau sebuah buku kuno yang dikarang para pujangga atau para empu, niscaya kita akan hidup dalam kebingungan. Kalau mengandalkan tutur kata dan cerita rakyat yang diwarisi secara turun temurun, bisa dikawatirkan akan adanya perubahan yang tidak sesuai dengan kejadian yang asli. Hal ini disebabkan ingatan manusia itu ada yang kuat dan ada yang lemah. Imam Malik Ra berkata,”Ilmu itu bagaikan binatang buruan yang liar, dan tulisan adalah sebagai pengendalinya. Maka kendalikanlah binatang buruan tadi dengan kendali yang kuat dan kokoh.”

Ilmu yang sedikit jika kita mau menulisnya, maka dia akan menjadi banyak, sebab dibaca oleh generasi setelahnya. Dan ilmu yang banyak apabila tidak ditulis maka akan hilang bersama pemiliknya. Ahmad Thohari di dalam buku antologi cerpen pesantren “ludah Surga” pernah mengutip sebuah pepatah,”Ilmu yang berhenti itu malah menjadi penyakit.” Jadi, jangan jadikan ilmumu menjadi sebuah penyakit sebab tidak dituangkan ke dalam sebuah tulisan.

Dalam menulis tidak membutuhkan banyak persyaratan. Menulis itu yang dibutuhkan adalah keinginan yang kuat dan ketekunan. Biarpun status kita adalah orang yang rendah di mata manusia, tapi kalau kita mempunyai kemauan dan ketekunan untuk menulis dan berkarya, insyaallah kita akan menjadi seorang penulis. Imam al-Ghazali mengatakan, “Jika engkau bukan anak raja, bukan pula anak ulama besar. Maka jadilah seorang penulis.”

Seorang penulis itu tidak merasa terhalangi untuk menuangkan tulisannya dengan sedikitnya fasilitas yang kurang memadai. Mereka tetap semangat dengan keadaan yang ada. Kalau kita mau menengok sejarah di awal Islam. Menulis pernah dikerjakan dengan memakai pelapah kurma, yaitu masa penulisan wahyu Allah atau al-Quran. Dan juga, ada yang memakai tulang, seperti imam As-Syafi’i. Sampai-sampai tendanya penuh dengan tulang, sebab banyaknya ilmu yang ia tulis dari para ulama. Sehingga dari banyaknya tulisan yang ditinggalkan oleh Imam As-Syafi’i menjadikan beliau ada sampai sekarang. Dalam arti, banyak kaum muslimin yang mengikuti madzhabnya. Sebab sebenarnya imam madzhab itu banyak. Tapi, karena tidak adanya karya yang ditinggalkan, maka yang diakui oleh para ulama hanya ada empat, yaitu imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Hal ini disebabkan keempat imam tersebut meninggalkan karya tulis yang dilestarikan oleh pengikutnya masing-masing sampai zaman sekarang.

Orang yang sudah mempunyai keinginan atau bakat untuk menulis, tidak ada alasan untuk merasa terhalangi oleh sesuatu untuk menghasilkan karya tulis. Musibah dan ujian, jika bisa bersikap sahabat dengannya, niscaya dia akan menjadi sahabat kita juga. Dia akan menjadikan tulisan kita lebih terkesan karena penuh dengan perjuangan. Ahmad bin Hanbal yang pernah dipenjara dan dihukum dera, tetapi karenanya pula ia kemudian menjadi imam salah satu madzhab. Ibnu Taimiyyah pernah dipenjara, tetapi justru di penjara itulah ia banyak melahirkan karya. As-Sarakhsi pernah dikurung di dasar sumur selama bertahun-tahun, tetapi di tempat itulah ia berhasil mengarang buku sebanyak dua puluh jilid. Ketika Ibnul-Atsir dipecat dari jabatannya, ia berhasil menyelesaikan karya besarnya yang berjudul Jami'ul Ushul dan an-Nihayah, salah satu buku paling terkenal dalam hadist. Demikian halnya dengan Ibnul-Jawzy, ia pernah diasingkan dari Baghdad, dan sebab itu ia dapat menguasai qiraah sab'ah. Malik bin ar-Raib salah seorang penderita penyakit yang mematikan, namun dengan penyakit itu ia mampu melahirkan syair-syair yang sangat indah yang tidak kalah dengan karya-karya para penyair besar zaman Abbasiyah. Ketika semua anak Abi Dzuaib al-Hudzali mati meninggalkannya seorang diri, ia justru mampu menciptakan nyanyian-nyanyian puitis yang mampu membekam mulut zaman, membuat setiap pendengarnya tersihir, memaksa sejarah untuk selalu bertepuk tangan saat mendengarnya kembali. Dan Buya Hamka yang pernah dikurung dibalik jeruji, justru ia dapat menyesaikan sebuah karyanya yang agung, yaitu tafsir al-Azhar.

Orang yang meninggalkan sebuah karya tulis meskipun jasadnya sudah terkubur di balik tanah selama bertahun-tahun, namun dia seolah-olah masih hidup dalam keabadian. Namanya terukir di tinta emas sepanjang masa. Dan orang yang tidak mau menulis apabila sudah mati, maka namanya hilang dengan jalannya masa, meskipun dia orang yang pandai. Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Wallahu a’lam.

 

Read More >>

Romantisme Dunia

Berbicara perihal dunia, sepertinya kita akan agak kesulitan untuk menemukan titik akhirnya. Persis sebagaimana kita kalau membahas tentang cinta, tahta, harta bahkan wanita.

Boleh dikata selama lidah manusia masih basah, mereka tidak akan berhenti membahasnya. Hal ini memang tidak terlepas dari banyaknya komentar tentang dunia itu sendiri. Coba kita hitung berapa banyak ayat Alloh yang menjelaskan dunia, juga tidak sedikit hadits dan pendapat para Alim berkaitan alam fana. Namun yang perlu kita garis bawahi dari kesemuanya adalah kesimpulan yang mengarah pada satu muara yaitu: “Dunia pada hakekatnya sama sekali tidak berharga”.

Terlepas dari firman Alloh dan hadits Nabi serta berbagai pendapat kalangan Ulama, kalau kita menganalisa dunia dari sisi lafdhiyah tekait maknanya, maka kita juga akan menemukan kesimpulan yang sama dengan yang di atas. Dunia yang dalam tata letak ilmu arab adalah isim sifat yang mengikuti wazan fu’la memiliki dua opsi pengartian, yaitu : 1. sesuatu yang dekat (teradopsi dari lafadh ad-dunuwwu), dan 2. sesuatu yang hina (teradopsi dari lafadh ad-dana’ah).

Harus diakui kalau kita memperhatikan pergeseran waktu dan masa di dunia ini dengan menggunakan indra dhohir (luar) saja, maka kita tidak akan merasakan perpindahan detik menuju menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan seterusnya. Sehingga waktu di dunia ini seolah tidak beranjak dari tempatnya. Dan kita baru akan merasakannya kalau kita sudah sampai pada penghujung waktu. Tak jarang pada saat seperti itu kita berucap, “tak terasa waktu sudah siang/sore/malam/dan seterusnya”. “rasanya baru tadi/kemarin aku……..”.

Fenomena di atas sama persis dengan keberadaan bayang-bayang. Secara dhohir seakan ia menetap dalam posisinya. Namun pada hakekatnya ia terus merambat bergerak. Namun kalau kita menghadapi kenyataan tersebut dengan menggunakan indra dhohir dan bathin (luar-dalam) atau yang biasa disebut dengan bashiroh, maka kita dapat merasakan betapa waktu di dunia ini bergerak begitu cepat melaju menembus alam kefanaan menuju gerbang keabadian. Dan sudah barang tentu hanya orang yang mempunyai akal saja yang dapat melakukan hal ini. Mereka tidak akan pernah tergoda dunia dan tak akan merisaukan apakah dia hidup bahagia atau sengsara yang penting akhiratnya terselamatkan.

Pada hakekatnya, kehidupan manusia itu memiliki tiga fase atau tahapan. Fase pertama adalah tahapan dimulai ketika ia masih belum berupa apa-apa. Dan fase ini akan berakhir pada yang disebut dengan Azali. Fase kedua adalah fase pertengahan. Yakni tahapan antara azali dengan kematian (awal keabadian). Dan dalam fase kedua inilah manusia menjalani masa-masa kehidupannya di alam dunia. Fase ketiga adalah masa di mana anak Adam pada waktu itu tidak lagi bisa melihat dunia yakni fase yang dimulai dari kematian seorang hamba sampai batas waktu yang tak terbatas (abadi)..

Sekarang mari kita mencoba untuk berhitung, mambagi dan membanding di antara semua fase yang pasti dilalui manusia tersebut. Secara naluri akal sehat kita dapat membayangkan betapa singkat dan terbatasnya kehidupan manusia di alam dunia kalau dibandingkan dengan dua fase yang lain. Secara kalkulasi dunia kita bisa mengetahui berapa lama manusia hidup di alam fana ini. Tapi adakah alat yang mampu menghitung keberadaan manusia selama hidup dalam fase pertama dan fase ketiga. Sesuai dengan keberadaannya sebagai fase pertengahan maka tidak salah kalau ada yang berkata “Dunia hanyalah tempat persinggahan sementara”. Dan memang perkataan tersebut bukanlah omong kosong belaka. Karena pada kenyataannya hal itu merupakan kesimpulan dari Ayat Al Qur’an dan hadits Nabi yang menjelaskan tentang kefana’an dunia ini. Maka sangatlah ironis orang yang beranggapan akan kekal hidup dunia ini atau menganggap tidak akan ada lagi fase kehidupan setelah selesai di dunia.

Dunia memang indah. Dihiasi dengan berbagai macam pesona. Hamparan samudra, rerimbunan hutan yang menghijau, gurun padang pasir yang membentang, belum lagi segala macam keindahan yang didesain dan disetting oleh manusia itu sendiri. Gedung-gedung pencakar langit, tempat-tempat hiburan dan rekreasi yang dipenuhi dengan segala macam fasilitas yang selalu menawarkan kesenangan. Setidaknya demikianlah gambaran miniatur dunia. Menarik dan selalu menggoda kita untuk ikut hanyut masuk di dalamnya. Belum lagi peran serta syetan yang tidak henti-hentinya memberi percikan-percikan dan bumbu-bumbu penyedap agar umat manusia semakin lelap dan nyenyak dibuai dunia.

Namun pernahkah kita sadar dan menyadari kalau semua yang ada didunia ini hanyalah semu dan fatamorgana belaka. Tidak lebih dari sekedar mimpi dalam tidur yang kemudian sirna ketika kita terbangun. Dunia tidaklah lebih baik dari seonggok sampah dan bangkai busuk. Penjilat dunia juga sudah selayaknya dipersandingkan dengan sekelompok anjing-anjing yang kelaparan.

Alloh memang sengaja tidak menampakkan wujud asli dunia kepada khalayak manusia. Tetapi Alloh justru memoles dan membungkus dunia dengan berbagai macam perhiasan keindahan. Karena dunia akan menjadi barometer dan tolak ukur sejauh mana keimanan seorang hamba. Ibarat wanita, hakekat dunia adalah nenek jompo yang didandani dengan berbagai macam perhiasan indah. Ia selalu merayu dan menggoda setiap lelaki. Di luar begitu tampak manis dan cantik dengan aneka macam intan berlian. Tetapi di dalam hatinya menyimpan niat buruk akan membunuh setiap lelaki yang mendekatinya. Lelaki yang terlena dengan goda dan rayunya pasti akan terpesona. Lain dengan lelaki yang masih mampu melihat dengan mata hatinya.

Tidak hanya sekali dua kali Rosululloh menyampaikan pesan dari Alloh SWT. agar umatnya jangan sampai tertipu oleh dunia. Walaupun hanya sekedar memikirkannya saja. Karena dampak yang akan ditimbulkan tidaklah sekecil dan seringan dunia yang akan didapatkan. Alangkah menyesalnya kita nanti kalau sampai dunia fana ini bisa memporak-porandakan tatanan akhirat kita yang kekal dan abadi.

Bukanlah hal yang gampang untuk menghidarkan diri kita dari dunia tempat kita hidup sekarang ini. Tidak semudah jika kita ingin masuk ke dalamnya. Butuh perjuangan dan pengorbanan yang ekstra, karena hidup di alam fana ini seperti kita ketika berjalan di atas comberan. Kalau kita tidak berhati-hati maka badan kita akan ternoda olehnya. Atau bahkan mungkin akan terpeleset dan terjerembab kedalamnya. Celakalah mereka orang-orang yang malah asyik bermain dengannya. Sekali lagi mereka tidak lebih baik dari sekelompok anjing yang sedang memperebutkan seonggok bangkai.

Sejujurnya dunia bukanlah tempat orang-orang mu’min untuk bersenang-senang, berfoya-foya menikmati berbagai macam keindahan yang ada. Karena dunia ini sebenarnya tak lebih dari sebuah penjara bagi mereka. Dan sebaliknya yang berhak menjadikan dunia sebagai surga adalah orang-orang kafir yang hidup tanpa perlu mengindahkan berbagai macam aturan-aturan agama. Hal ini karena memang sejak awal Alloh menjadikan dunia menjadi tiga bagian. Bagian untuk orang mu’min, orang munafik dan orang kafir. Bagian orang mu’min di dunia adalah supaya mereka menjadikannya sebagai tempat pencarian bekal untuk perjalanan yang sangat panjang yakni akherat. Sedangkan orang munafiq dan orang kafir mereka menjadikan dunia ini sebagai tempat pelampiasan bersenang-senang dan menghiasi dhohir mereka dengan berbagai macam hiasan tanpa mau peduli apakah yang mereka dapatkan itu dari hasil halal atau haram.

Kita sudah sepatutnya bersyukur karena menjadi umatnya Nabi Muhammad Saw. Meskipun semenjak beratus-ratus tahun kita sudah diberi peringatan keras agar tidak terlalu asyik dengan dunia apalagi memperebutkannya. Tetapi kenyataanya banyak orang dengan segala cara, baik halal atau haram, saling berlomba-lomba mengumpulkan dunia. Kalaupun diperlukan dengan cara membunuh orang lain bahkan keluarga sendiri, itu pun mereka jalani apalagi kalau hanya sekedar merampas dan menipu. Sama sekali itu bukanlah hal yang tabu. Tidak dapat kita bayangkan seandainya kita adalah umatnya Nabi-Nabi yang lain. Tentu kita sudah diluluhlantakkan oleh Alloh karena terlalu senang dan cinta dunia.
Read More >>

Arti kata Pengajian Oleh KH . A Mustofa Bisri

Pengajian Umum isilah populernya dari dulu. Entah mulai kapan, belakangan panitia-panitia lebih suka menyebutnya Pengajian atau Tabligh Akbar. Tidak perduli seberapa banyak orang yang akan menghadiri pengajian, di dalam undangan dan spanduk mesti disebut-tambahkan kata akbar.
Di banyak daerah terutama di Jawa, pengajian umum atau Tabligh Akbar sudah merupakan 'menu' tetap dalam setiap agenda kegiatan kaum muslimin. Boleh dikata, tidak ada hari besar Islam tanpa pengajian. Pengajian juga merupakan acara inti dalam setiap kegiatan khataman pesantren atau madrasah, dalam peringatan haul ulama, walimatul 'ursy; khitanan, syukuran haji, bahkan pindahan rumah.

Mungkin, semangat pengajian itu terutama didorong oleh gairah dakwah yang agaknya oleh umat Islam memang baru dipahami sebatas pengajian semacam itu. Maka, galibnya pembicara atau penceramahnya disebut dai atau mubaligh Dari sisi lain, karena namanya pengajian, maka yang mengisi atau berceramah pun juga umum disebut kyai.

Agaknya, masyarakat pun tidak merasa perlu membedakan antara "kyai mubaligh dan "mubaligh kyai". Padahal, keduanya-satu dengan yang lain-sangat berbeda. "Kyai mubaligh" artinya orang yang disebut kyai, karena mengisi pengajian alias mubaligh. Dia tidak harus memiliki pesantren atau bisa mengajar para santri. Sedangkan, "mubaligh kyai" ialah kyai yang-karena bisa tablig-diminta mengisi pengajian. Pembicara atau penceramah yang disebut kyai hanya karena pandai berbicara atau berceramah tentu tidak sama dengan kyai yang bisa berbicara atau berceramah. Katakanlah, yang pertama adalah orang yang 'berprofesi' sebagai dai atau mubaligh, sedangkan yang satunya lagi adalah kyai yang menjalankan fungsi tabligh atau dakwahnya.

Mereka yang 'berprofesi' sebagai dai atau mubaligh, umumnya memang memiliki bakat atau kemampuan berbicara dan pintar menarik perhatian. Mereka biasanya juga pandai melihat situasi. Ini kelebihan mereka. Kelemahan mereka, terutama bagi mereka yang sudah terlanjur 'laris', adalah dari segi mutu materi dakwah mereka. 'Bahan' yang terbatas, sering kali tidak sempat dikembangkan justru karena terus 'terpakai. Ibarat baterei yang tidak sempat di-charge.
Sebaliknya, mereka yang kyai umumnya tidak begitu mementingkan metode dakwahnya. Kadang-kadang, kita jumpai kyai yang mengisi pengajian umum persis seperti kalau beliau mengajar santri-santrinya di pesantren.

Di samping soal dai dan mubalighnya, pengajian atau ceramah agama yang juga mulai marak di kota-kota besar juga menarik diamati. Boleh jadi, menyadari keampuhan-atau dan 'kemurahan'-pengajian ceramah atau majelis taklim, banyak kelompok, golongan, organisasi, partai, bahkan instansi, yang menggunakannya untuk kepentingannya. Sering kali, kepentingan itu jauh dari kepentingan da'wah ila Allah atau da'wah ila al-lkhair.

Anda bayangkan sendiri. Berapa banyak golongan, kelompok, organisasi, partai dan instansi yang ada di negeri ini. Bayangkan, bila masing-masing memiliki majelis taklim sendiri, memiliki dai atau mubaligh sendiri-sendiri, dan mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Alangkah banyaknya jalan di depan kita. Masih mending, bila jalan-jalan itu menuju ke satu tujuan.

Kalau pun ada dakwah yang memang dimaksudkan mengajak ke jalan Tuhan atau kepada kebaikan, dai dan mubalighnya pun-sebagaimana dakwahnya itu sendiri yang 'alamiah'- boleh dikata juga 'alamiah', untuk tidak mengatakan amatiran.

Kita belum pernah mendengar ada semacam evaluasi terhadap kegiatan pengajian yang begitu intens itu. Misalnya, untuk sekedar mengetahui sejauh mana pengaruh kegiatan pengajian itu terhadap akhlak masyarakat. Atau, adakah korelasi antara pengajian-pengajian yang begitu semangat dengan perilaku masyarakat? Bila pengajian itu amar-makruf-nahi-munkar, mengapa makruf masih tetap mewah dan munkar merajalela?

 Majalah MataAir Edisi ke-8
Read More >>

Perintah dan Ajakan Oleh: A. Mustofa Bisri

Kata amar yang berasal dari bahasa Arab sama artinya dengan perintah. Perintah ialah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu. Baik dalam kata amar maupun padanannya (perintah), kita merasakan adanya nuansa paksaan atau keharusan. Berbeda dengan ajakan yang ‘hanya’ berarti undangan; anjuran, atau permintaan supaya berbuat.
Ajakan lebih menyiratkan kelembutan. Sering kali, bahkan bernuansa ‘merayu’ seperti yang sering diperlihatkan suami terhadap isteri yang dicintainya atau sebaliknya. Tapi, banyak juga yang mengacaukan antara ajakan dan perintah sebagaimana yang sering dilakukan oleh kebanyakan calo terminal.

Di terminal, kita banyak menjumpai calo-calo yang menawarkan ‘busnya’ kepada calon-calon penumpang. Umumnya, dengan menyampaikan kelebihan dan keistimewaan bus yang ditawarkannya. Tapi, ada saja calo yang begitu bersemangat, sehingga kesannya bukan mengajak, tapi memaksa.

Berbicara tentang perintah dan ajakan, kita teringat kepada dua istilah yang sangat populer di kalangan kaum muslimin; yaitu dakwah dan amar makruf nahi munkar. Selama ini, umum menganggap kedua istilah itu sama. Padahal, minimal dari segi pengertian bahasa, keduanya berbeda seperti halnya perintah dan ajakan tadi.

Di dalam al-Quran sendiri, kedua istilah itu sering digunakan. Kita pisahkan dulu istilah dakwah yang digunakan dengan pengertian doa dan menyeru yang juga banyak digunakan dalam al-Quran. Karena kita hanya sedang membicarakan dakwah-atau dalam bahasa Indonesia, dakwah-yang berarti ajakan dan sering disamakan dengan amar makruf nahi munkar.

Ayat yang sering disebut-sebut sebagai dalilnya dakwah ialah ayat 125 surah 16. al-Nahl, “Ud’u ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’izhatil hasanati wajaadilhum billatii hiya ahsan. Inna Rabbaka Huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi, waHuwa a’lamu bilmuhtadiin.” (Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui mereka yang mendapat petunjuk).

Dalam kalimat “Ajaklah ke jalan Tuhanmu…”, tidak disebutkan objeknya. Siapa yang harus diajak? Maka, dalam Al-Quran dan Terjemahannya, diberi tambahan dalam kurung (manusia) dan dalam beberapa kitab tafsir, diberi penjelasan bahwa yang diajak adalah mereka menjadi sasaran dakwah. Saya sendiri berpendapat bahwa kalimat ini memang tidak membutuhkan objek. Karena rangkaian kalimatnya sudah menunjukkan siapa yang harus diajak. Dari firman “Ajaklah ke jalan Tuhanmu”, sudah jelas siapa yang mesti diajak, yaitu mereka yang belum di jalan Tuhan.

Karena mengajak mereka yang belum di jalan Tuhan, maka-wallahu a’lam-diperlukan cara yang sesuai dengan yang namanya ajakan, dengan hikmah dan mau’idhah hasanah. Apabila mesti berbantah, hendaklah dengan cara yang paling baik. (Maka, kecenderungan melibas mereka yang belum/tidak di jalan Tuhan, sama halnya dengan menghendaki tidak difungsikannya ayat dakwah ini). Bahkan, untuk mendakwahi Firaun pun, Allah berfirman kepada kedua utusan-Nya, Nabi Musa dan Nabi Harun, “Faquulaa lahu qaulan layyinan…” (Q. 20: 44) “Dan berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut…”

Kiranya, dengan cara yang diajarkan Tuhannya inilah, Nabi Muhammad SAW sukses dalam dakwahnya. Dan untuk konteks Indonesia, cara ini pulalah kiranya yang menyebabkan dakwah Para Walisongo berhasil.

Lalu, bagaimana dengan amar-ma’ruf nahi ‘anil-munkar yang bernuansa lebih ‘keras’? Amar-ma’ruf nahi ‘an al-munkar (seharusnya) merupakan ciri komunitas orang-orang mukmin yang tentu saja sudah berada di jalan Allah. (Baca misalnya, Q. 3: 110, 114; 9: 71). Dalam bahasa al-Quran, mereka satu sama lain adalah waliy (dalam bahasa Jawa, saya mengartikan waliy dengan bala, kebalikan dari musuh). Di dalam komunitas seperti ini, perintah berbuat makruf dan larangan berbuat kemungkaran merupakan keniscayaan. Sebab, mereka semua ada di satu jalan dan menuju satu tujuan. Jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan bersama. Kalau boleh kita urutkan, pertama-tama dakwah, kemudian amar makruf nahi munkar. Wallahu a’lam bishshawaab.
Read More >>

Mengenal Sifat Lahirah Batiniah

HAWA NAFSU berasal dan napas api neraka. Ketika napas itu berembus dari api, syahwat terbawa ke pintu neraka tempat perhiasan dan kesenangan berada, lalu ia mendatangi nafsu.

Ketika nafsu mendapatkan kesenangan dan perhiasan, ia bergolak akibat kesenangan dan perhiasan yang diletakkan di sisinya dalam wadah itu, dan ia berupa angin panas. Ia lalu mengalir dalam urat-urat, sehingga semua saluran darah terisi olehnya dalam waktu lebih cepat daripada kedipan mata.

Saluran darah mengaliri seluruh tubuh dan kepala hingga kaki. Jika angin itu sudah berembus di dalamnya, lalu jiwa manusia merasakan embusannya dalam tubuh, kemudian ia merasa nikmat dan senang dengannya, itulah yang disebut dengan syahwat dan kenikmatannya.

Apabila nafsu serta syahwat berikut kenikmatannya sudah menempati seluruh tubuh, syahwat menyerang hati. Apabila syahwat sudah demikian hebat, ia menguasai hati, sehingga hati tertawan, yakni takluk kepada syahwat. Selanjutnya, syahwat dapat memainkannya. Kekuatan hawa nafsu dan syahwat ada bersama jiwa dan bertempat dalam perut, sedangkan kekuatan makrifat, akal, ilmu, pemahaman, hafalan, dan pikiran berada di dada. Makrifat ditempatkan di kalbu, pemahaman di fu’ad, serta akal di pikiran, dan hafalan menyertainya.

Syahwat diberi sebuah pintu yang menghubungkan tempatnya ke dada, sehingga asap syahwat yang bersumber dari hawa nafsu bergolak sampai ke dada. Ia menyelubungi fu’ad dan kedua mata fu’ad berada dalam asap itu. Asap tersebut adalah kebodohan. Ia menghalangi mata fu’ad untuk melihat cahaya akal yang dipersiapkan baginya.

Demikian pula amarah ketika bergolak. Ia seperti awan yang menutupi mata fu’ad, sehingga akal pun tertutup. Akal bertempat di otak dan cahayanya memancar ke dada. Ketika awan amarah keluar dari rongga ke dada, ia memenuhi dada dan menyelubungi mata fu’ad.

Karena cahaya akal terhalang, sementara awan menutupi fu’ad, fu’ad orang kafir berada dalam gelapnya kekafiran. Itulah tutup yang Allah sebutkan dalam Al-Quran:

Mereka berkata, “Hati kami tertutup.” (QS Al-Baqarah : 2)
Tetapi, hati orang-orang kafir dalam kesesatan terhadap hal ini. (QS Al-Mu’minun : 63)

Adapun fu’ad mukmin berada dalam asap syahwat dan awan kesombongan. Inilah yang disebut kelalaian.

Dari kesombongan itulah amarah berasal. Kesombongan bertempat dalam jiwa. Ketika jiwa manusia menyadari penciptaan Allah atasnya, kesombongan berada di dalamnya. Inilah sifat lahiriah dan batiniah manusia.

Allah Swt. memilih dan memuliakan manusia yang bertauhid. Dan setiap seribu orang, satu orang dipilih, sementara sembilan ratus sembilan puluh sembilan lainnya tidak dipedulikan. Dia hanya memerhatikan satu dari setiap seribu manusia. Dia mendistribusikan bagian pada Hari Penetapan dan menolak orang yang Dia abaikan, sehingga mereka tidak mendapat bagian.

Ketika mengeluarkan keturunan \[manusia] lewat sulbi, Dia menjadikan mereka berbicara, Manusia yang diperhatikan Allah mengakui-Nya secara sukarela saat Allah berfirman, “Bukankah Aku Tuhan kalian?” (QS Al-A’raf:172). Orang yang tidak mendapat bagian dan tidak mendapat perhatian Allah menjawab, “Ya, Engkau Tuhan kami” dengan terpaksa.

Itulah makna firman Allah Swt.: “Seluruh yang terdapat di langit dan di bumi berserah diri kepada-Nya baik dengan sukarela maupun terpaksa.” (QS Al-Imran:83)

Dia menjadikan mereka dalam dua kelompok: kelompok kanan dan kelompok kiri.

Allah Swt. kemudian berfirman, “Sebagian mereka berada di surga dan Aku tidak peduli; Aku tidak peduli ampunan-Ku tercurah kepada mereka. Sebagian lagi berada di neraka dan Aku pun tidak peduli; Aku tidak peduli ke mana kembalinya mereka.”

Dia lalu mengembalikan mereka ke sulbi Nabi Adam as. Dia mengeluarkan mereka pada hari-hari dunia untuk (memberi mereka kesempatan) melakukan amal dan menegakkan hujah. Manusia yang telah dipilih dan dimuliakan Allah, kalbunya dicelup dalam air kasih sayang-Nya sampai bersih. Allah Swt. berfirman, “Itulah celupan Allah, dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada Allah?!” (QS Al-Baqarah:138)

Dia kemudian menghidupkannya dengan cahaya kehidupan setelah sebelumnya ia hanya berupa seonggok daging.

Ketika dihidupkan dengan cahaya kehidupan, ia pun bergerak dan membuka kedua mata di atas fu’dd. Ia lalu diberi-Nya petunjuk dengan cahaya-Nya yang tidak lain adalah cahaya tauhid dan cahaya akal. Ketika cahaya itu menetap di dadanya serta fu’ad dan kalbu merasa teguh dengannya, Ia pun mengenal Tuhan. Itulah maksud firman Allah Swt.: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian Dia kami hidupkan ...“ (QS Al-Baqarah:138). Yaitu, dihidupkan dengan cahaya kehidupan.

Allah Swt. kemudian berfirman, “Lalu, Kami berikan untuknya cahaya yang dengan itu ia berjalan di tengah-tengah man usia.” (QS Al-An’am : 122) Yakni, cahaya tauhid.

Dengan cahaya itu, kalbunya menghadapkannya kepada Allah, sehingga jiwa menjadi tenteram dan mengakui bahwa tiada Tuhan selain Dia. Ketika itulah lisan mengungkapkan ketenteraman jiwanya dan kesesuaiannya dengan kalbu berupa ucapan: “laa ilaaha illaa Allah (tiada Tuhan selain Allah).” Itulah makna firman Allah Swt.: “Tidaklah jiwa seseorang beriman kecuali dengan izin Allah” Yunuus dan firman-Nya: “Wahai jiwa yang tenteram.” (QS Al-Fajr : 27)

Kala jiwa sudah merasa tenteram saat melihat perhiasan karena akal menghiasi mata fu’ad dengan tauhid, saat melihatnya itu jiwa merasakan kenikmatan cinta Allah yang meresap dalam kalbu bersama cahaya tauhid. Saat melihat perhiasan, ia merasakan kenikmatan cinta dalam cahaya tauhid. Ketika itulah jiwa menjadi tenang dan senang kepada tauhid. Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Firman-Nya, menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman indah dalam kalbu kalian.”135

Kala jiwa mendapatkan perhiasan itu, ia membenci kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.

Ketika seorang mukmin berbuat dosa, Ìa melakukan itu dengan syahwat dan nafsunya, padahal ia membenci kefasikan dan kekufuran. Karena benci, ia berbuat fasik dan bermaksiat dalam kondisi lalai. Ia sebenarnya tidak bermaksud kepada kefasikan dan kemaksiatan seperti halnya iblis.

Kebencian itu tertanam dalam jiwa, namun syahwat menguasai jiwa. Kebencian itu ada, karena tauhid terdapat dalam dirinya. Hanya saja, kalbu dikalahkan oleh sesuatu yang merasukinya, akal terhijab, dada dipenuhi asap syahwat, dan nafsu menguasai kalbu.

Ini terjadi lantaran akal kalah, makrifat tersudut, dan pikiran buntu, sementara hafalan dan akal terkurung dalam otak. Jiwa melakukan dosa karena kekuatan syahwat, sementara musuh menghiasi, membangkitkan angan, mengiming-imingi ampunan, serta mempertunjukkan tobat, sehingga hati berani berbuat dosa.

www.sufinews.com
Read More >>

Syareat dan Tarekat itu Menyatu

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh puji syukur kepada Allah (Swt) atas nikmat, rahmat, taufik, dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad (saw), keluarga dan sahabatnya, dan semoga rahmat serta inayah-Nya tercurah kepada Habib Luthfi bin Yahya dan keluarga. Amin. Saya sering mendengar kata syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat; tetapi saya belum begitu paham apa arti semua itu. Tolong Habib jelaskan satu per satu. Bagaimanakah caranya jika saya berbaiat langsung kepada Habib, olehkan melalui surat, atau datang sendiri? Bolehkah seorang santri memiliki dua atau tiga guru tarekat? Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
M. Riyafiy, Pamiritan, BalapulangTegal, Jawa Tengah

Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Syariat, tarekat, dan hakikat itu tidak bisa dipisah-pisahkan. Bertarekat meninggalkan syariat, tidak benar. Karena, tarekat adalah buah syariat. Jadi, kalau bertarekat, tidak terlepas melalui pintunya dahulu, yaitu syariat. Syariatlah yang mengatur kehidupan kita, dengan menggunaka hukum, dart mulai akidah, keimanan, keislaman, sehingga kita beriman kepada Allah, malaikat, kltab Allah, Rasul, hari akhir, dan takdir baik dan buruk. Dan syariat pula mengetahui rukun Islam, yaitu dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Serta keutamaan shalat, juga hubungan antara manusia, seperti jual-bell, pernikahan, dan lainnya.

Setelah menjalankan syariat dengan balk, kita bertarekat, untuk menuju jalan kepada Allah dengan baik. Jadi, secara sederhana menuju jalan kepada Allah disebut tarekat Bertarekat perlu dlblmbing para mursyid, yang akan mengantar murid darl mengerti dan mengenal Allah sampai nanti "dikenal" Allah (swt), yakni dekat dan disayang oleh Dia (Swt). Amalan utama tarekat adalah berzikir.
Hanya, perlu dipahami, pengertlan tarekat tidak terbatas hal itu. Yang dltuntut oleh tarekat di jalan Allah adalah' perilaku para pengikut tarekat yang mulia. Terutama mem-bersihkan kotoran-kotoran yang ada dl dalam batin dan lahirnya, sehingga secara lahir dan batin kita bersih dalam menuju ke jalan Allah.

Sebagai contoh berwudu. Wudu adalah peraturan syariat, guna menjalankan shalat dan lain-lainnya. Biasanya kita hanya berwudu untuk mendapatkan keutamaan wudu, serta sebagai syarat untuk menjalankan shalat. Sedangkan tarekat menuntut buah wudu. Berapa kali kita membasuh muka ketika berwudu. Dan berapa kali kita membasuh tangan setiap hari untuk menjalankan ibadah. Coba kita aplikasikan dalam kehidupan kita, sosialisasikan untuk kehldupan kita masing-maslng. Kalau sudah sering membersihkan muka, kita harus leblh mengerti serta merendahkan hatl, malu kalau kita berlaku sombong.

Darl hasll wudu, kita cari buahnya yaitu lebih berakhlak, lebih rendah hati, lebih beradab, sehingga ada peningkatan dart hari ke hari. Itulah buahnya, sehingga kita semakin dekat kepada Allah. Sebab, justru di hadapan Allah, kita semakin menundukkan kepala. Karena semua itu adalah pemberian-Nya semata-mata. Kalau bukan karena pemberian-Nya (Swt), bagaimana bisa mengerti segala yang kita miliki ini.
Begitu juga, kita pun diberi pemahaman oleh Allah terhadap junjungan kita Nabi Muhammad (saw) atas limpahan rahmat kepadanya, sehingga kita menjadi pengikutnya yang setia. Untuk itulah kita selalu memuji I Rasulullah (saw) dengan tujuan supaya kita lebih dekat | kepada Rasulullah. Dengan begitu, sosok Rasulullah akan menjadi idola bagi kita dalam menapaki kehidupan Wngga akhir hayat.

Bertarekat akan memupuk sikap rendah hati kita kepada para Wali, ulama, guru-guru kita yang telah memberikan pemahaman tentang kebenaran ajaran syareat dan tarekat. Itu baru dari segi membersihkan muka secara lahiriah dan bathiniah, hal itu akan mencegah tangan kita dari berbuat maksiat. Kita akan selalu diperingatkan untuk tidak mengambil yang bukan milik kita apalagi melakukan korupsi, misalnya yang sangat merugikan rakyat. Sebab tangan kita sudah disucikan setiap hari. Kalau kita bisa mempelajari banyak hal dari wudu saja, insyaAllah masalah korupsi itu bisa terberantas. Lalu telinga kita yang digunakan untuk mendengarkan suatu yang baik. Kita tidak akan menyampaikan yang kita dengar kalau informasi itu justru akan memancing masalah atau memanaskan situasi, apalagi menimbulkan pecah belah dan kekacauan. Tentu saja, hal itu berlaku pula bagi mata kita, kedua kaki kita, dan anggota badan lainnya. Itulah hasil karya, hasil didikan, yang mendapatkan bimbingan dari Allah.

Mengapa kita harus berwudu ketika akan mendirlkan shalat? Berwudu tidak hanya membersihkan kotoran lahiriah kita, tetapi pada hakikatnya jugamembersihkan kotoran batinlah. Al-Qur'an menyebutkan bahwa shalat mencegah dari kemungkaran dan kerusakan, karena kita sudah memahami makna wudu dan shalat itu secara tarekat.
Bagi para murid yang ingin belajar tarekat, saya anjurkan, mulailah dari seorang guru yang dipercaya. Tapi sebaliknya, bagi guru yang ingin ditaati muridnya, cobalah didik para murid itu seperti timba yang mendekati sumurnya, bukan sumuryang mendekati timbanya.

Maka akan terbentuklah kewibawaan guru terhadap muridnya. Bagi murid, saya anjurkan untuk belajar hanya pada satu guru. Sebagai contoh mudahnya, kalau air teh dicampur susu lalu dicampur lagi dengan kopi atau lainnya, meskipun halal, apa jadinya? Bagaimana rasanya? Jadi kalau ingin minum teh, minum saja teh tanpa dicampur dengan lainnya. Nikmati minum teh dengan gula, kemudian cari manfaatnya bagi tubuh. Begitu juga kalau ingin minum kopi, susu, atau lainnya. Itu hanya sebagai perumpamaan. Jadi, kalau ingin belajar tarekat, jangan sekadar melihat organisasi itu besar Meski organisasi tarekat itu kecil, kalau lebih berpengaruh terhadap jiwa kita, sehingga iebih mendekatkan diri kepada Allah, tidak perlu ragu lagl untuk mengikutinya.

Read More >>