Showing posts with label Dr. KH. Abdul Ghofur MZ. Show all posts
Showing posts with label Dr. KH. Abdul Ghofur MZ. Show all posts

oleh : Dr. KH. Abdul Ghofur MZ

Dalam fikih kita dianjurkan dengan sangat agar seorang imam memiliki ilmu yang cukup ['alim], agar bila terjadi sesuatu di tengah-tengah shalat, ia segera dapat mengambil tindakan hukum yang benar. Betapa sangat pentingnya pengetahuan agama bagi seorang imam. Apalagi jika ia adalah seorang imam di masjid agung, yang tentunya banyak menjumpai peristiwa-peristiwa serupa lainnya.

Kentut atau lainnya, jika terjadi sebelum shalat, artinya imam shalat dalam keadaan tidak suci, karena lupa misalnya, maka hanya shalat imam yang tidak sah, sementara shalatnya makmum hukumnya sah. Diriwayatkan dari al-Barra' bin 'Azib, ia mengatakan: "Rasululllah shalat bersama kaum, sedangkan beliau tidak berwudhu, maka shalat telah sempurna bagi mereka, sementara Nabi mengulanginya". [HR. Addaruquthny] Dari al-Barra' bin Azib dalam hadits yang lain dari Nabi Muhammad SAW, beliau mengatakan: "Siapapun imam, jika ia lupa kemudian ia shalat bersama kaum sedangkan ia junub, maka shalat mereka telah selesai [sah], kemudian ia [imam] hendaknya mengulangi shalatnya. Dan jika ia shalat dengan tanpa wudhu, maka hukumnya juga demikian". [HR. Addaruquthny].

Dari peristiwa dan pengarahan Rasul ini, beberapa ulama membagi batalnya shalat imam ke dalam dua kategori. Pertama batal dengan sebab yang samar [bathin], seperti ia tidak mempunyai wudhu atau ia junub, dan kedua batal dengan sebab yang tampak kelihatan [dzahir], seperti tidak sempurna dalam menutupi aurat. Kategori pertama tidak membatalkan shalatnya makmum, sedangkan kategori kedua dapat membatalkan shalatnya makmum.

Bagaimana jika batalnya shalat imam terjadi di tengah-tengah shalat? Apa yang harus dilakukan olehnya?

Dalam peristiwa seperti ini, fikih kita telah menyediakan solusi istikhlaf [mengganti imam di tengah-tengah shalat]. Praktik ini pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. yang menggantikan Abu Bakar ra. namun tidak karena batalnya shalat, akan tetapi karena taadduban [etiket sopan santun], bahwa tidak pantas seorang Abu Bakar menjadi imam, sementara Rasul hadir bersama mereka.

Peristiwa ini terjadi ketika Rasul saw sakit cukup parah, sehingga beliau memerintahkan Abu Bakar menggantikan beliau berlaku sebagai imam. Suatu saat kemudian beliau merasakan kesehatannya membaik, maka beliau, dengan disertai dua sahabatnya, berangkat ke masjid, sementara Abu Bakar sedang berlaku sebagai imam. Maka kemudian Abu Bakar mundur dari barisan terdepan kemudian Rasul SAW menggantikannya sebagai imam. [HR. Muslim]

Peristiwa serupa juga pernah dipraktikkan oleh Umar ra saat beliau ditusuk di tengah shalat, kemudian ia memegang tangan Abdurrahman bin 'Awf agar menggantikan beliau berlaku sebagai imam. [HR. al-Bayhaqy]. Peristiwa ini terjadi di tengah-tengah para sahabat Nabi, dan tidak ditemukan riwayat adanya penolakan dari mereka atas praktik ini.

Adapun hukum istikhlaf, sebagaimana disampaikan Imam Malik, adalah sunnah, kecuali dalam shalat Jumat, maka hukumnya wajib.
Adapun tatacara istikhlaf adalah sebagai berikut :

Dari Abu Hurayrah ra, ia mengatakan: Berkata Rasululloh saw.: "Apabila salah satu di antara kalian shalat, kemudian ia mimisan [keluar darah dari hidung], atau muntah-muntah, maka letakkan tangan pada mulut, dan lihatlah seorang lelaki di antara kaum [para makmum] yang tidak ketinggalan sesuatu apapun [dari shalatnya], kemudian menariknya ke depan [untuk menggantikannya sebagai imam], dan ia bergegas wudhu kemudian datang kembali dan meneruskan shalatnya selama ia tidak berbicara. Apabila ia telah berbicara maka ia mengulangi shalatnya". [HR. Addaruquthny]

Dalam hadits ini, jelas sekali ada perintah untuk memilih makmum yang tidak ketinggalan shalatnya [mudrik], sehingga jumlah rakaatnya sama persis dengan jumlah rakaat imam pertama. Demikian ini agar memudahkan dalam ibadah shalat, karena makmum yang menggantikan imam tersebut mempunyai sifat ganda; ia sebagai dirinya sendiri dan ia sebagai ganti dari kedudukan imam, sementara yang harus ia lakukan adalah meneruskan shalatnya imam. Misalnya imam telah selesai membaca surat al-fatihah kemudian ia batal ketika baru membaca satu ayat dari surat al-ikhlash, maka pengganti tinggal meneruskan ayat yang kedua.

Ketika khalifah [pengganti imam] telah mendapatkan satu rakaat, persis seperti mustakhlif [imam pertama yang mempergantikannya], maka dalam meneruskan shalatnya mustakhlif, ia tidak bertentangan dengan shalatnya sendiri; ketika ia meneruskan shalatnya imam pertama, ia melaksanakan apa yang seharusnya ia lakukan bila shalat untuk dirinya sendiri.

Lain halnya bila imam telah mendapatkan dua rakaat, sementara penggantinya baru mendapatkan satu rakaat, maka ada pertentangan antara shalatnya sendiri dan shalat imam yang ia gantikan. Dalam keadaan seperti ini, yang harus ia lakukan adalah menjaga keharusan shalatnya imam, tidak shalatnya sendiri. Makanya dua rakaat kemudian [misalnya shalat 'Isya'] ia harus duduk tasyahhud akhir, mengikuti apa yang seharusnya dilakukan oleh imam pertama, walau bagi dia itu adalah rakaat ketiga.

Selesai tasyahhud akhir, ada tiga cara:

1. Ia memberi isyarah kepada para makmum yang telah sempurna shalatnya untuk salam, kemudian ia menambah satu rakaat meneruskan shalatnya sendiri. [Syafiiyah]

2. Ia menarik maju atau memberi isyarat salah satu makmum yang telah sempurna shalatnya untuk salam beserta makmum-makum lainnya. [Hanafiyah]

3. Para makmum duduk, sambil menunggu sempurnanya shalatnya pengganti, kemudian salam bersama-sama. [Syafiiyah-Malikiyah]
Read More >>

Takut mati bisa digunakan untuk diet dan mempercepat kehamilan

Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen Zubair

Pada era kekhilafahan dahulu, terdapat sepasang suami-istri yang telah lama menikah namun tak kunjung ada tanda-tanda kehamilan.

Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk memeriksakan ke seorang tabib terkenal pandai mengobati berbagai penyakit.

"Tuan, kami lama menikah tapi tak kunjung mendapat keturunan. Mohon istri saya diperiksa Tuan!", kata sang suami.

Pak Tabib segera memeriksa denyut nadi dan detak jantunya. Lalu katanya:

"Kamu tak perlu obat untuk mendapatkan seorang putra, karena kamu akan segera mati dalam tempo 40 hari. Denyut nadimu telah menunjukkan itu!"

Sang istri ketakutan luar biasa. Sisa hidup yang ia jalani terasa sebuah petaka. Ia tak lagi makan dan minum selain satu atau dua suap hingga 40 hari lewat. Namun ia tidak mati seperti perkiraan Pak Tabib.

Sang Suami lalu pergi ke Pak Tabib.

"Istri saya tidak mati, Tuan!"

"Iya, saya tahu itu. Dan berbahagialah, dia akan segera mengandung dan melahirkan atas seizin Allah."

"Bagaimana bisa demikian?"

"Saya melihat dia sangat gemuk, hingga gelembung lemak menutupi mulut rahimnya. Menurut pengamatan saya dia tidak akan mampu menjalani program diet. Satu-satunya cara agar dia bisa mengurangi berat badannya adalah melalui ketakutan menghadapi kematian."

"Karena itu", terang Pak Tabib selanjutnya, "saya takut-takuti dia dengan kematian, hingga kurus seperti sekarang. Dan sebentar lagi insya Allah akan segera hamil"
Read More >>

Pemberian Nama Untuk Anak

Nama acapkali merupakan kebanggaan bagi seseorang. Namun ironis, nama tak pernah menjadi pilihannya. Kedua orangtuanya-lah yang memilihkan untuknya. Oleh karena itu, dalam Islam, nama yang baik adalah hak anak atas kedua orang tuanya. Kata Nabi Muhammad saw: "Sesungguhnya kalian akan dipanggil kelak di hari kiamat, dengan nama-nama kalian, dan nama-nama bapak kalian. Maka perbaikilah nama-nama kalian."

Berkenaan dengan pemberian nama ini, ada perbedaan pendapat diantara ulama. Sebagian mensunahkan pemberian nama di hari kelahiran, dan sebagian lainnya mensunahkannya di hari ke tujuh dari kelahiran anak. Pendapat pertama bersandar kepada praktik Nabi Muhammad saw, ketika beliau memberi nama putra Abu Thalhah, putra Abu Musa, dan putra Abu Usayd. Di mana Nabi malakukannya di hari kelahiran. Selain itu, Nabi Muhammad saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, mengatakan: "Dilahirkan untukku, pada malam ini, seorang putra, lalu saya memberikan nama baginya, nama ayahku, Ibrahim." Adapun pendapat ke dua bersandar kepada praktik Nabi Muhammad saw. dalam memberi nama kedua cucu beliau, Hasan dan Husain. Ibunda 'Aisyah ra mengatakan: "RasululLah saw. melaksanakan akekah untuk Hasan dan Husain di hari ketujuh, dan Nabi memberikan nama bagi keduanya." Menurut Imam Bukhari, dan disetujui oleh Imam Ibn Hajar, pemberian nama di hari kelahiran disunnahkan bagi mereka yang tidak hendak menyembelih akekah. Sementara bagi mereka yang hendak berakekah, maka pemberian nama bagi anak disunnahakan di hari ke tujuh.
Read More >>

Cerita Imam dan Sang Raja tentang bacaan dalam sholat

Dahulu kala, terdapat seorang imam yang alim plus nyentrik. Suatu hari seorang pengeran ikut salat di masjidnya. Saat itu sang Imam membaca surat yang cukup panjang hingga membuat Pangeran tak jenak salatnya.

Usai salat, tanpa menunggu wirid dan doa, Sang Pangeran membentak Imam.

"Kalau kamu salat bacalah satu ayat saja untuk tiap takaatnya!" katanya.

Lalu pada salat berikutnya usai bacaan Al-Fatihah Imam membaca Surah Al-Ahzab Ayat 67:

"Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)."

Dan usai bacaan Al-Fatihah pada rakaat yang kedua ia membaca Surat Al-Ahzab ayat 68:

"Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar."

Usai salat, Sang Pangeran berkata kepada Imam:

"Wahai Imam, silahkan memperpanjang salat sesukamu, dan silahkan membaca ayat apa saja sesukamu, tapi jangan sekali-kali membaca dua ayat ini!"

By : Abdul Ghofur MZ

dahulu juga ada seorang imam, pd suatu pagi di membaca surat an-Nahl dan An-Naml pd dua rokaat subuh. Setelah selesai sholat dan wirid, Noval Sudiro bertanya: "surat apa td yg kau baca wahai imam? Kok panjang dan lama?", "An-nahl (Lebah) dan An-Naml (semut)", jawab sang Imam spontan. Noval Sudiro bertanya kembali: "subuh besok surat apa ya Anda baca wahai imam?". Imam menjawab: "Surat Al-Fiil (gajah)". Noval Sudiro mengernyitkan dahinya sambil bergumam: 'berapa jam kira2 lamanya ya, yg 'semut' aja lama apalagi yang 'gajah'. 

By : Ali Nukman
Read More >>

Islam Tak Pernah Mengajarkan Anarkis

DR. KH. Abdul Ghofur Maimoen Zubair. Lc. M.Si

Forum Kajian Nahdliyin (FKN) Rembang, menggelar peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Minggu (20/3), di pendopo kabupaten. Panitia sepertinya sengaja membidik kejadian anarkis yang terjadi beberapa waktu lalu dan maraknya teror bom beberapa hari terakhir. Menetapkan tema kegiatan dengan tajuk “Meneladani Sifat-sifat Rasulullah, Hindari Radikalsime dan Anarkisme”.

Tampil sebagai pembicara DR H Abdul Ghofur Maimoen putra kyai kharismatik asal Kecamatan Sarang KH Maimoen Zubair. Dalam kesempatan tersebut, alumni Universitas Al Ashar Mesir itu memaparkan pemikiran ‘Terorisme Akar Permasalahan Dan Solusi”.

Menurut Gus Ghofur, demikian sapaan akrabnya, hingga kini dunia internasional belum menemukan definisi tepat atas istilah terorisme. Belum bisa dipastikan konsep mengartikan tindak terorisme karena saling bertubrukan dari pemahaman politik, sosial, ekonomi dan ideologi. “Hanya saja sepertinya muncul kesepahaman satu tindak kekerasan dianggap sebagai bentuk terorisme yaitu tindak kekerasan disertai ancaman yang dialamatkan kepada publik, pemerintahan atau negara, dimana pelaku mewakili simbol kelompok, dengan tujuan politis,” katanya.

Gus Ghofur mengungkapkan, faktor dan akar permasalahan yang mendorong seseorang melakukan tindak teroris atau bergabung dengan kelompok teroris, sangatlah bervariatif, meliputi faktor psikologis, ekonomi, sosial, politik, religi dan ideologi. Namun untuk mengetahui terorisme dengan lebih baik, diperlukan pendekatan multikasual. “Di antaranya melalui pendekatan politik, organisasional, psikologis dan ideologis/teologis,” paparnya.

Lebih lanjut Gus Ghofur menyampaikan, salah satu aspek penting memahami terorisme adalah dengan menyelami bagaimana para pelaku teror membenarkan tindakan amoral mereka. Untuk mengerjakan hal bengis aksi terorisme, dibutuhkan dorongan kuat yang mampu melnghilangkan simpul psikologis pelakunya, sehingga tak lagi memiliki rasa simpati terhadap para korban. Teori kognitif yang dijejalkan dalam pola pikir para pelaksana teror sangat tertanam kuat sehingga mental mereka bahwa yang mereka lakukan spenuhnya merupakan tindakan benar.

“Oleh karena itu tak heran, melalui proses kognisi itu para teroris tidak menganggap dirinya sebagai pelaku teror. Tetapi sebaliknya, mereka memposisikan diri sebagai tentara kebenaran yang memperjuangkan kebebasan, martir atau pejuang yang sahih untuk mencapai tujuan mulia,” cetusnya.

Gus Ghofur menambahkan, mengingat terorisme merupakan permasalahan yang kompleks dan multi dimensi, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah dan menanggulanginya. Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat seharusnya memberi kesempatan luas serta mendorong dengan sungguh-sungguh kepada bentuk keagamaan yang moderat, namun masih dalam koridor ke-Bhineka Tunggal Ika-an.

“Materi pembelajaran agama di sekolah harus menanamkan pemahaman menghormati semua bentuk perbedaan. Menanamkan sikap toleran dan pluralistik, perbedaan dalam beragama, pemikiran, sikap dan budaya adalah natural,” imbuhnya.

Tak kalah penting yaitu menumbuhkan budaya demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga setiap inisatif yang disulkan dan diperjuangkan melalui instrumen demokrasi. Pemerintah sendiri harus menegakkan dan mengamalkan demokrasi dengan konsekuen, tanpa harus meninggalkan hak-hak golongan minoritas.

“Dengan prinsip toleransi dan pluralisme, tak ada alasan untuk men-dehumanisasi kelompok lain hanya karena perbedaan agama, etnik, pemikiran dan sikap poitik. Kita harus menjadikan dialog dan silaturahmi nasional sebagai agenda bangsa. Karena salah satu faktor utama lahirnya terorisme adalah rasa keterasingan satu kelompok tertentu dan tidak terakomodirnya kepentingan mereka,” pungkasnya.
Read More >>

Perempuan dan Masjid

oleh : KH. Dr. Abdul Ghofur Lc. Msi 

Dalam Surah An-Nur: 36-37 disebutkan: Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.

Sebagian ulama tafsir menegaskan bahwa kata laki-laki di dalam ayat di atas juga termasuk perempuan, sehingga tidak hanya laki-laki saja yang berhak untuk melakukan aktifitas di masjid, tetapi juga kaum hawa dengan tanpa diskriminasi.

Masjid adalah tempat untuk mendapatkan siraman-siraman rohani, baik lewat mendengarkan ceramah keagamaan maupun praktik kerohanian. Hak wanita dan hak pria dalam hal ini juga sama, tak ada perbedaan. Rasulullah s.a.w. telah menegaskan dalam satu hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar: "Apabila istri kalian meminta izin ke masjid maka janganlah kalian menghalanginya". (h.r. Bukhari Muslim)

Hadist tersebut kelihatannya kontradiksi dengan hadist yang mengatakan "Sebaik-baik sholat perempuan adalah di rumahnya" (h.r. Ahmad dll.), namun dapat dipadukan bahwa hadist yang mengatakan bahwa sholat perempuan di rumahnya lebih utama adalah pada kondisi rumah itu lebih aman baginya dan tidak merepotkannya atau tidak ada alasan kuat yang menganjurkannya untuk ke masjid. Ataupun pada kondisi perempuan pergi ke masjid dengan pakaian glamor, memakai make-up dan wangi-wangian berlebihan sehingga kepergiannya ke masjid tidak mencerminkan untuk menjalankan ibadah.

Adapun hadist yang melarang menghalangi perempuan ke masjid adalah pada kondisi dimana itu sangat bermanfaat baginya, misalnya menghadiri majlis taklim dan kajian-kajian agama di masjid atau belajar agama. Begitu juga pada waktu hari raya Idul Fitri dan Idu Adha, dimana kaum hawa dianjurkan untuk ikut meramaikan masjid.

Takut Fitnah, Apakah benar demikian?

Ada juga alasan 'takut fitnah' untuk melarang perempuan ke masjid. Namun sebenarnya itu hanyalah phobia atau ketakutan yang tidak beralasan. Pada zaman sekarang ini justru perempuan kita harus lebih banyak ke masjid. Kalau perlu, kegiatan perempuan juga sebaiknya lebih banyak yang terkait dengan aktifitas masjid agar hati mereka lebih dekat dengan masjid dan banyak tertaut dengan ajaran agama dan pesan-pesan spiritual yang ada di masjid.

Betapa pada zaman ini kita sangat risau dengan sepak terjang kaum perempuan yang tidak saja semakin jauh dari masjid, namun juga menampilkan aktifitas yang bertentangan dengan nilai-nilai moral agama. Mungkin itu juga dampak dari keterasingan mereka dari masjid dan segala aktifitas positifnya.

Oleh karenanya, Imam Ibnu Hazm menentang riwayat "salat di rumah lebih baik bagi wanita". Ia selanjutnya membuat analogi demikian: jika memang wanita sebaiknya melakukan ibadah di rumah, kenapa Rasul menyuruh mereka untuk keluar rumah di saat kaum muslimin merayakan hari lebaran (ied)? Bahkan wanita yang sedang dalam keadaan datang bulan pun diminta Rasulullah s.a.w. ikut keluar (rumah) pula, karena lebaran adalah hari pestanya kaum muslimin. Wallahu a'lam
Read More >>

Lahirnya Nama Hari-hari dalam 7 hari seminggu

Sebagian orang percaya bahwa langit itu berlapis tujuh. Ini ada kaitannya dengan tujuh benda langit yang memiliki jarak yang berbeda. Maksudnya benda yang lebih cepat jaraknya dianggap lebih dekat jaraknya. Lalu akan digambarkan seolah-olah benda-benda tersebut berada pada lapisan langit yang berbeda-beda dan mereka mengelilingi bumi yang berada di tengah-tengah. Di langit pertama ada Bulan, benda langit yang bergerak cepat sehingga di anggap paling dekat. Langit yang kedua ditempati Merkurius ( bintang Utarid). Venus (bintang kejora) ditempat ketiga. Kemudian Matahari di posisi empat. Dilangit kelima adalah Mars (bintang Marikh) langit ke enam adalah Jupiter (bintang musytari) dan yang ketujuh adalah Saturnus (bintang Ziarah). Inilah keyakinan lama yang menganggap Bumi sebagai pusat semesta.

Orang-orang dahulu (khususnya Romawi dan Yunani) juga percaya bahwa ketujuh benda langit itu adalah dewa-dewa yang memengaruhi kehidupan di Bumi. Pengaruh-nya bergantian dari jam ke jam, dengan urutan mulai dari yang terjauh (menurut pengetahuan mereka) yaitu Saturnus, sampai yang terdekat yakni Bulan. Pada jam 00.00, Saturnus-lah yang dianggap berpengaruh pada kehidupan manusia. Karena itu, hari pertama disebut Saturday (hari Saturnus) dalam bahasa Inggris, atau Sabtu dalam bahasa Indonesia. Ternyata, jika kita menghitung hari sampai tahun 1 Masehi, tanggal 1 Januari tahun 1, memang jatuh pada hari Sabtu.

Bila diurut selama 24 jam, jam 00.00 berikut-nya jatuh pada Matahari. Jadi-lah hari itu sebagai hari Matahari (Sunday). Setelah Sun’s day adalah Moon’s day (Monday). Hari berikut-nya adalah Tiw’s day (Tuesday). Tiw adalah nama Anglo-Saxon untuk Dewa Mars (dewa perang Romawi kuno). Berikut-nya adalah Woden’s day (Wednesday). Woden adalah nama Anglo-Saxon untuk Dewa Merkurius (dewa perdagangan Romawi kuno). Berikut-nya lagi Thor’s day (Thursday). Thor adalah nama Anglo-Saxon untuk Dewa Jupiter (dewa Petir, raja para dewa Romawi). Terakhir adalah Freyja’s day (Friday). Freyja adalah nama Anglo-Saxon untuk Dewi Venus (dewi kecantikan Rowawi kuno).

Jumlah hari yang ada tujuh itu, dalam bahasa Arab, nama-nama hari-nya disebut berdasarkan urutan: satu, dua, tiga, sampai tujuh, yakni ahad, itsnain, tsalatsah, arba’ah, khamsah, sittah dan sab’ah. Bahasa Indonesia mengikuti penamaan Arab ini, sehingga menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu. Hari keenam disebut secara khusus: Jum’at, sebab itu-lah penamaan yang diberi-kan Allah di dalam Al-Qur’an, yang menunjuk-kan ada-nya kewajiban shalat Jum’at berjamaah.

Penamaan Minggu berasal dari bahasa Portugis, Dominggo, yang berarti hari Tuhan. Ini berdasar-kan kepercayaan Kristen bahwa pada hari itu Yesus bangkit. Tetapi, orang Islam tidak mempercayai hal itu (berbeda agama maka beda pula cerita yang dicerita-kan agama masing-masing), sehingga lebih menyukai pemakaian “Ahad” daripada “Minggu”.
Read More >>

Tafsir Qur'an Tentang Hukum Menikahi Orang Yang ber-Zina

DR. KH. Abdul Ghofur Maimoen


Firman Allah: "Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina, atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min". (QS. 24:3)

Para ulama tafsir berselisih pendapat dalam memahami Surat An-nأ»r 24:03 ini. Sebagian pendapat menyatakan keharaman nikah dengan pezina selain pezina lainnya. Namun sebagian lainnya hanya menganggap sebagai anjuran saja. Sebagai orang muslim/muslimah yang baik tentunya tidak rela dirinya membangun rumah tangga dengan pezina. Menurut sebuah riwayat, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan Ibnu Umar melarang perkawinan seorang lelaki dengan wanita yang ia berzina dengannya. Seakan ia mencuri sesuatu kemudian membelinya. Menurut Imam Malik, seorang wanita yang zina tidak diperbolehkan nikah kecuali setelah menyelesaikan iddahnya. Kalau ia hamil, maka ia baru diperbolehkan nikah setelah melahirkan anaknya. Dalam hal ini, Imam Malik memang punya pandangan yang sangat keras. Yang lebih ringan adalah pendapat Imam Syafi'iy, ia berpendapat diperbolehkannya nikah dengan wanita yang zina, walau ia dalam keadaan hamil. Demikian juga menurut Hanafiyah, hanya saja, menurut madzhab ini, sang suami tidak diperbolehkan mengumpuli istrinya hingga ia melahirkan anaknya. Perbedaan madzhab-madzhab ini, jika sang suami bukan lelaki yang berbuat zina kepada wanita tsb. Apabila sang suami adalah orang yang berbuar zina kepada sang wanita, maka semuanya sepakat memperbolehkan pernikahan tsb. baik wanitanya hamil atau tidak. Akan tetapi semua itu tidak mengurangi dosa zina. Ia hanya bisa ditebus dengan penyesalan dan taubat yang sungguh-sungguh. Imam Ahmad mensyaratakan taubat yang sungguh-dungguh bagi diperbolehkannya kawin dengan orang-orang yang berbuat zina.
Read More >>

Bersentuhan dengan lain jenis membatalkan wudlu

DR. KH. Abdul Ghofur Maimoen

Menurut madzhab Syafi'iyah, yang luas diikuti oleh rakyat Indonesia, persentuhan kulit tubuh [rambut dan kuku tidak termasuk kulit tubuh] antara dua jenis yang bukan mahram dapat membatalkan wudhu.

Menurut Madzhab Hanafi, bersentuhan yang tidak menjurus kepada hubungan suami isteri tidak membatalkan wudlu. Menurut Madzhab Maliki dan Hanbali, bersentuhan yang disertai dengan syahwat membatalkan wudlu.

Kadang ada yang menyangka, bahwa suami-istri telah menjadi mahram setelah pernikahan. Persepsi ini tidak benar, karena jika keduanya telah menjadi mahram, maka pernikahan itu sendiri tidak sah, karena di antara syarat sahnya nikah, tidak terjadi antar sesama mahram.

Begitu pula, antara bapak atau ibu kandung dan bapak atau ibu mertua tidak terjalin ikatan mahram, sehingga persentuhan kulit antara mereka juga dapat membatalkan wudhu.

Dalam perbesanan, ikatan mahram hanya terjalin antara person-person berikut:

1. Istri-istri para orang tua [bapak dan kakek dari bapak atau dari ibu]. Seorang anak dapat bersentuhan dengan istri-istri bapak [ibu tiri] tanpa batal wudhunya. [QS. An-Nisأ¢' 4:22]

2. Istri-istri anak keturunan [anak, cucu dan cicit]. Bapak mertua dapat bersentuhan dengan menantunya tanpa batal wudhunya. [QS. An-Nisأ¢' 4:23]

3. Para orang tua istri [ibu mertua atau nenek mertua]. Seorang suami dapat bersentuhan dengan ibu mertua atau nenek mertua, baik nenek dari bapak atau dari ibu, tanpa batal wudhunya. [QS. An-Nisأ¢' 4:23]

4. Keturunan istri [anak tiri atau cucu tiri]. Seorang suami dapat bersentuhan dengan anak istrinya dari suami yang lain. [QS. An-Nisأ¢' 4:23]

Kutipan surat An-Nisأ¢' 4:22-23:

"Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh)". (QS. 4:22)

"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. 4:23)
Read More >>

MALAIKAT PENJAGA KITA

Dari Abu Hurayrah ra., bahwa Rasululloh saw bersabda: Silih berganti di antara kalian semua para malaikat di malam hari dan para malaikat di siang hari, dan mereka kumpul pada shalat Fajar [Shubuh] dan shalat 'Ashar, kemudian para malaikat yang bermalam bersama kalian naik, kemudian Dia [Allah] bertanya kepada mereka, dan Allah lebih mengetahui tentang mereka: "Bagaimana kalian meninggalkan para hamba-hambaku?" Maka mereka para malaikat itu menjawab: "Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat, dan kami datang kepada mereka dalam keadaan shalat". [HR. Bukhory-Muslim, An-Nasaiy, Ahmad dan lain-lainnya].

Sesuai dengan hadits ini, para malaikat itu terbagi dalam dua, malaikat malam dan malaikat siang, yang bergantian turun ke bumi. Mereka berkumpul pada saat shalat Shubuh dan shalat 'Ashar. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa jamaah shalat di masjid paling utama adalah jamaah shalat Shubuh dan shalat 'Ashar, karena dihadiri oleh para malaikat, yang setiap harinya "lapor" kepada Allah swt.
Tidak ada keterangan mengenai nama-nama mereka.
Read More >>

KH. ABDUL GHOFUR MAIMOEN

       Gus Ghofur, demikian Putra kelima KH. Maimoen Zubair dari istri kedua, Ibu Nyai HJ Masthi'ah, biasa dipanggil. Pemilik nama lengkap Abdul Ghofur ini dikenal bandel semasa kecilnya. Tidak seperti kakak-kakaknya, Ghofur kecil terhitung sering bermain seperti layaknya anak-anak di kampung nelayan. Namun, sebagai putra Ulama, sifat-sifat kesalehan yang ditanamkan orang tuanya, membuat ia berbeda dari anak kampung sebayanya.

Pendidikan dasar hingga menengah dituntaskannya di Madrasah Ghazaliyah Syafi'iyyah Sarang Rembang. Semasa belajar di Ghozaliyah, putra Mbah Moen yang sudah dikenal cerdas dan kritis sejak belia ini banyak meraih prestasi.

Usai menyelesaikan pendidikan di MGS tahun 1992, Pada 1993 beliau melanjutkan studinya di Al-Azhar University Cairo. Ini merupakan hal baru dalam tradisi pendidikan putra-putri Mbah Moen. Di Cairo kecerdasannya kembali menorehkan prestai mengkilap. Selama empat tahun menyelesaikan program S1 Usuhuludin jurusan Tafsir di Al-Azhar. Keberhasilan itu tidak lepas dari ketekunan dan kesabaran beliau selama belajar di Cairo.

Setelah melalui perjuangan yang melelahkan, pada 2002 gelar Magister berhasil diraihnya. Dikatakan melelahkan karena untuk mencapi gelar itu Gus Ghofur harus menulis tesis setebal 700 halaman dan harus mencantumkan banyak maraji'. Padahal tradisi menulis baru ia tekuni sejak tahun keempatnya di Cairo.Gus Ghofur mengakhiri masa lajangnya pada tahun 2003. Gadis yang beruntung dipersuntingnya adalah Nadia, putri KH.Jirijis bin Ali Ma'shum Karpyak Yogyakarta. Dari perkawinannya beliau telah dikaruniai seorang putra bernama Nabil.
 

Bukti keseriusan beliau dalam menggeluti bidang tafsir adalah pencapaian gelar doktoral yang diraih pada tahun 2010. Setelah menyelesaikan study Doktoralnya Beliaupun kembali ke Tanah Air  dan langsung aktif mengajar di LP.Muhadloroh dan mengajar fan Tarikh kitab Fiqhus Shiroh karya Syekh DR. M. Said Romdlon Al-Buthy.
Read More >>