Showing posts with label Sejarah Islam. Show all posts
Showing posts with label Sejarah Islam. Show all posts

KAIDAH HUKUM ADAT ACUAN DALAM MENJAWAB PROBLEMATIKA MODERN

PP MUS (http://www.ppmus.com/artikel/278-kaidah-hukum-adat-acuan-dalam-menjawab-problematika-modern-1)

Islam adalah ajaran terakhir yang diwahyukan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallama. Sesudah itu, tidak ada lagi Rasul yang diutus dan tidak terdapat lagi wahyu yang diturunkan untuk mengatur umat manusia di muka bumi. Hal ini mengisyaratkan bahwa agama Islam yang dinyatakan sempurna di akhir hayat Rasulullah, benar-benar membawa ajaran yang memiliki dinamika sangat tinggi, mampu menampung segala macam persoalan baru yang ditimbulkan oleh perkembangan sosial. Persoalannya kemudian adalah, bahwa pada kenyataannya ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang masalah hukum sangat terbatas jumlahnya. Sementara itu, terdapat kenyataan lain yang tidak dapat dibantah yaitu berkembangnya persoalan sosial yang selalu mendesak ditambah beraneka-ragamnya adat dan tradisi dalam kehidupan masyarakat. Dua kenyataan inilah yang menyebabkan umat Islam selalu dihadapkan pada suatu tantangan, apakah relevansi hukum Islam dapat dibuktikan dalam realita kehidupan yang selalu berkembang ini.
 
I.’URF (HUKUM ADAT)
A. Pengertian
Secara etimologi, al-‘Urf kadang diartikan kebiasaan baik, sifat dermawan, sabar, pengakuan, dan berurutan. Sedangkan al-‘aadah yang diambil dari kata ‘awada (عود) berarti terus-menerus dan gigih dalam melakukan sesuatu.
Dipandang dari terminologi fiqh, Imam Al-Ghazali dalam kitab al-mustashfa, mendefinisikan ‘urf sebagai berikut: “’Urf adalah suatu praktek yang berlaku dan menjadi satu ketetapan dengan bersandar pada apa yang di anggap baik oleh akal serta dapat diterima oleh manusia normal[1], beliau juga tidak membedakan antara adat dengan ‘aadah. Akan tetapi, sebagian ulama membedakan diantara keduanya. Mereka memberi definisi ‘aadah dengan praktek yang terjadi berulang-ulang dengan tanpa adanya hubungan emosional (nafsani)[2]. Dari definisi ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa ‘aadah lebih luas cakupannya dari pada urf

B. Proses Timbulnya Adat
Bila dicermati, segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia tidak lepas dari hal yang mendorong dan menarik hatinya untuk menjalankannya, baik timbul dari dirinya sendiri, seperti; perasaan malu ketika dihina orang yang lantas membuat dirinya untuk balas dendam, ataupun timbul dari kondisi lingkungan sekitarnya, seperti; hasil penelitian ilmiah bahwa dalam aktivitas tertentu terdapat satu kemaslahatan. Kemudian, jika aktivitas tersebut dapat diterima, diikuti dan dijalankan  oleh kalangan masyarakat setempat dengan berulang-ulang sehingga menjadi suatu ketetapan, maka lahirlah apa yang di sebut adat.

Demikian juga proses terjadinya istilah-istilah tertentu, karena sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin lepas dari rasa saling membutuhkan satu sama lain. Untuk itu, mereka sangat memerlukan alat komunikasi, baik lewat perkataan atau isyarat, yang dapat membantu mengekspresikan keinginan-keinginan mereka. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, bertambahnya kebutuhan dari satu generasi ke generasi yang lain, dan tersebar luasnya manusia ke seluruh permukaan bumi, mereka tidak mungkin untuk tetap menggunakan bahasa asli tanpa adanya tambahan dan perubahan sama sekali. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar dalam satu komunitas terdapat penggunaan istilah tertentu yang tidak terdapat dalam komunitas yang lain.
Tidak semua adat, yang tak terhitung jumlahnya ini, mempunyai tujuan atau pendorong yang sama. Akan tetapi kebanyakan timbul dari sebab-sebab yang berbeda tergantung kondisi dan dinamika yang terjadi. Sedangkan sebagian besarnya kembali pada  faktor hajat dan 'umum al-balwa. Adakalanya, adat yang berjalan dalam satu kalangan tidak berdasarkan kebutuhan, mereka melakukannya lebih karena warisan dari generasi sebelumnya, seperti apa yang berlaku dalam keyakinan umat jahiliyah dahulu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ.  
“bahkan mereka berkata; Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. (QS. Az-Zukhruf: 22)

C. Kekuatan Adat
Adat yang telah mengakar dalam suatu komunitas, akan sangat mempengaruhi mental dan emosi mereka. Adat tersebut akan senantiasa dimulyakan, dianggap sebagai kebutuhan primer dalam kehidupan dan bahkan dianggap sebagai “agama” yang harus disucikan dan tidak boleh disentuh. Hal itu, seperti dikatakan psikolog, dikarenakan suatu pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang akan menimbulkan interaksi langsung dengan syaraf dan anggota tubuh lainnya dan akan memberi pengaruh kejiwaan.
Mereka mengatakan;”Adat adalah tabiat manusia yang kedua”. Maksudnya adalah, adat mempunyai kekuatan yang hampir sama dengan kekuatan pembawaan asal manusia, sehingga sangat sulit untuk dibendung, dialihkan ataupun dihilangkan lebih-lebih jika menjadi tuntutan kebutuhan. Sebab itu, kita melihat para Nabi dan juru dakwah seringkali mendapatkan perlawanan, mengalami kesulitan dan menanggung beban berat dalam menyebarkan dakwah demi untuk mencabut semua bentuk adat yang tidak dibenarkan. Berbagai metode harus mereka terapkan, mulai dari pelarangan secara bertahap, bahkan kadang harus menempuh jalan peperangan. ‘Aisyah Ummil Mu’minin berkata:
إنما نزل أول ما نزل سورة من المفصل فيها ذكر الجنة والنار حتى إذا ثاب الناس الى الإسلام نزل الحلال والحرام, ولو نزل أول   شيء: لا تشربوا الخمر.., لقالوا: لاندع الخمر أبدا. ولو نزل: لا تزنوا.., لقالوا: لا ندع الزنا أبدا.
“Sesungguhnya (Al-Qur’an) yang pertama kali diturunkan adalah ayat-ayat yang menerangkan tentang surga dan neraka. Kemudian setelah manusia berkumpul (masuk) ke dalam Islam, maka diturunkanlah ayat-ayat (yang menerangkan) halal dan haram. Seandainya pertama kali diturunkan “Janganlah kalian minum khamr”, maka pastilah mereka mengatakan: ”Kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya”. Dan seandainya yang diturunkan “Janganlah kalian berzina”, pastilah mereka bilang: “Kami tidak akan meninggalkan perzinahan selamanya”.(HR. Bukhori)[3]
Maksud dari adanya syari'at adalah menghilangkan kesempitan dan kesulitan dalam kehidupan manusia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ... الأية 
".....Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu....."(QS. Al-Baqarah; 185).  
Demikian juga, Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:  
بعثت بالحنيفيّة السمحة 
"Aku diutus dengan (membawa agama) yang lurus dan penuh dengan kemudahan" (HR. Khatib Al-Bagdadi).[4]  
Oleh karena itu, kita harus benar-benar memperhatikan, apakah adat yang sudah terlanjur mengakar di masyarakat, memang dibenarkan dan ditetapkan oleh kaidah-kaidah syara’ atau tidak, sehingga harus dilestarikan atau harus dihentikan walaupun dengan menghunus pedang, demi menjaga manusia dari kesempitan dan kesulitan hidup dan demi terciptanya tatanan yang dapat dibanggakan.[5] Dalam hadist yang diriwayatkan ‘Aisyah Radliyallahu ‘Anhaa. 
أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلّم ما خيّر بين شيـئين إلا اختار أيسرهما ما لم يكن إثما. 
“Sesungguhnya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah diperintahkan untuk memilih diantara dua perkara kecuali akan memilih perkara yang paling mudah selagi bukan merupakan dosa” (HR. Bukhori Muslim).[6]
 
D. Pembagian Adat
Adat terdiri atas beberapa hal dengan memandang tiga aspek penting:
  1. Memandang sebab. Hal ini dibagi menjadi (a) qauly, yaitu istilah yang telah disepakati bahwa ketika diucapkan maka dengan sendirinya dan tanpa membutuhkan qarinah, akan tertuju pada arti yang dimaksud dan bukan madlulnya secara sempurna, seperti kata “dirham” yang sebelumnya mencakup semua jenis mata uang, kemudian dikhususkan pada mata uang perak, dan (b) amaly, pekerjaan yang telah berlaku baik secara umum ataupun terbatas dalam komunitas tertentu.
  2. Memandang orang yang meletakkannya. Bagian ini terbagi atas (a) 'aam, yaitu kebiasaan yang telah berjalan dalam semua Negara Islam, baik di masa lampau atau di masa kini. Misalnya: kata tholaq digunakan untuk putusnya hubungan suami-istri. (b) khosh, yaitu kebiasaan yang hanya berlaku dalam suatu daerah tertentu, seperti; kebiasaan penduduk Irak menggunakan istilah “al-dabbah” untuk menunjukkan arti kuda. (c) syar'iy, yaitu istilah yang digunakan oleh syara' untuk menunjukkan arti tertentu, seperti istilah sholat yang semula mempunyai arti do'a kemudian digunakan oleh syara' untuk menunjukkan ritual ibadah tertentu. Sebenarnya adat ini termasuk adat khosh, tetapi Fuqaha memberi istilah tersendiri karena dianggap sakral. 
  3. Memandang arti etimologisnya, (a) al-muqorrir lahu, yaitu kebiasaan yang pengertiannya tidak berubah dari arti etimologisnya. Misalnya; ketika seseorang bersumpah untuk tidak membeli Mawar, maka menurut fuqaha, dia tidak dianggap melanggar sumpahnya kecuali dengan membeli bunga mawar, dengan alasan adat. Hal ini, sesuai dengan arti etimologi dari mawar itu sendiri yang berarti bunga Mawar. (b) al-qodli ‘alaih, yaitu adat yang berubah dari pengertian etimologinya. Misalnya; bersumpah tidak akan membeli Violet (nama bunga), maka dia dianggap melanggar sumpahnya kalau membeli minyak wangi yang terbuat dari bunga tersebut dan tidak melanggar dengan membeli bunganya, karena adat penggunaan kata violet secara mutlak pada produk minyak wangi. Padahal, secara etimologi violet berarti jenis bunga tertentu.  
Dari segi aplikasi hukumnya, adat dibagi menjadi dua. Pertama, ‘Aadah Syar'iyyah, yaitu suatu adat yang ditetapkan oleh syara', baik berbentuk perintah, larangan atau ibahah. seperti keharusan menutup aurat dalam sholat, diperbolehkannya bai’ al-‘aroya[7], kewajiban qishas dalam pembunuhan dan lain-lain. Adat yang seperti ini, setelah wafatnya Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam, tidak dapat berubah. Apa yang oleh syara’ dianggap baik, maka itulah kebaikan yang sebenarnya. Demikian juga adat yang dianggap tidak baik, walaupun terjadi penjungkir-balikan pengertian dari sebagian golongan dengan mengatakan; “Sistem talak dalam Islam sudah tidak relevan dengan zaman modern ini dan bertentangan dengan kemaslahatan manusia, dan sesungguhnya hukum qishas dalam masalah pembunuhan adalah hukum yang kejam, bertentangan dengan HAM, maka sepantasnyalah dua hukum tersebut direvisi”. Hal ini dikarenakan, aktifitas-aktifitas yang telah ditetapkan syara’ melalui nash-nashnya adalah bentuk hukum-hukum syariat yang tidak bisa dirubah hanya dengan pertimbangan baik atau buruk oleh akal pikiran. Adapun pada masa Rasulullah masih bisa terjadi perubahan hukum yang kita kenal dengan istilah naskh. 

Kedua, ‘Aadah ghoiru syar'iyyah, yaitu adat yang tidak ada ketetapan dari syara'. Adat ini terbagi menjadi; (a) tsabitah, yaitu adat yang tidak pernah mengalami perubahan dalam setiap kondisi, ruang, dan waktu. Seperti, perasaan ingin makan, minum dan lainnya. Dan (b) mutabaddilah, yaitu adat yang bisa berubah tergantung situasi dan kondisi, ruang dan waktu. Adat ini sangat banyak ragamnya, sebagian darinya terjadi akibat perbedaan cuaca yang mempengaruhi cepat atau lambatnya pertumbuhan, perbedaan istilah, perbedaan sistem kerja dan atau perbedaan asumsi dalam menentukan aktivitas tertentu yang dianggap baik dan buruk, seperti; perbedaan “Apakah menanggalkan tutup kepala dapat menjatuhkan harga diri atau tidak”.

Ketetapan hukum yang didasarkan pada ‘aadah ghoiru syar’iyah, implementasinya tergantung pada jenis adat itu sendiri. Jika adatnya permanen, maka hukumnya juga permanen, dan jika masih bisa mengalami perubahan, maka hukumnya juga bisa berubah sesuai dengan adat tersebut. 

II. MAKNA PERHATIAN ISLAM TERHADAP ADAT DAN DALILNYA 
Para fukaha dengan madzhab yang berbeda-beda, sepakat bahwa adat merupakan salah satu pertimbangan dalam mengambil ketetapan hukum dan  menjadikan adat sebagai dasar dari beberapa sumber hukum fiqh. Ibn ‘Abidin dalam Nasyr al-‘Urf menyatakan: “ketahuilah, bahwa sebagian ulama (Syihabuddin Al-Qarafi Al-Maliki[8]) menjadikan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:  
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ... الأية 
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (baik)…” (Al-A’raaf: 199), sebagai salah satu dalil bahwa Islam sangat memperhitungkan adat”. Dalil ini tentunya mengacu pada keterangan bahwa yang dimaksud “Al-‘Urfi” dalam ayat di atas adalah adat yang telah dikenal dan dijalankan oleh manusia. Mereka juga mengambil dalil, seperti yang dikutip oleh Jalaluddin As-Suyuthi Asy-Syafi’i dalam Al-Asybah wa An-Nadzo’ir, dari sabda Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam: 
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
"apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itupun merupakan kebaikan menurut Allah" (HR. Ahmad). [9]
Berikut ini adalah beberapa posisi penting adat dalam kaitannya dengan hukum-hukum syariat.
A. Adat sebagai Dasar Penetapan Hukum
Sebagai agama yang universal, Islam sangat menaruh perhatian (concern) terhadap segala budaya dan adat yang berlaku di kalangan umat manusia dalam setiap waktu dan kondisi, baik yang bersifat umum atau hanya berlaku dalam satu komunitas tertentu. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya ketetapan-ketetapan hukum dalam Islam yang berdasarkan adat yang berlaku.  
Meskipun demikian, menurut fuqoha, adat tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum (dalil) untuk menetapkan suatu hukum. Karena definisi dari adat, seperti yang telah dikemukakan di atas, adalah: suatu praktek yang timbul dari dorongan akal pikiran, kemudian diikuti oleh orang lain yang pada akhirnya menjadi suatu ketetapan tersendiri. Dari definisi ini, dapat diketahui bahwa timbulnya suatu adat bersumber dari akal pikiran.
Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa akal tidak dapat dijadikan suatu petunjuk dari adanya hukum Allah dalam suatu perkara. Mereka menyatakan, akal pikiran pada hakikatnya tidak bisa menentukan antara baik, buruk, maslahah dan mafsadah. Karena tidak pernah ada jaminan bahwa akal, sejernih apapun, akan selalu benar, jaminan itu hanya ada pada agama dan syariat yang diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja. Pendapat ini menjadi sangat jelas ketika satu individu atau kelompok mempunyai hak membuat undang-undang. Seringkali mereka mengambil kebijakan-kebijakan hukum yang menurutnya sesuai dengan situasi dan kondisi di waktu tersebut tergantung dengan tujuan serta kepentingan yang ada. Kemudian, keesokan harinya, mereka akan menghujat peraturan yang mereka tetapkan sendiri di hari kemarin. Oleh karena itu, sering kita mendengar adanya amandemen atau revisi ulang undang-undang produk manusia.
Memang tidak bisa dipungkiri, dalam perkara-perkara yang sudah jelas merupakan suatu bentuk kebajikan dalam kehidupan sosial, seperti akhlak mulia, atau perkara yang jelas dapat menimbulkan efek negatif atau membahayakan seperti perzinahan, pembunuhan, pencurian dan lainnya, akal dapat dengan sendirinya menentukan yang baik dan yang buruk. Akan tetapi, hal ini tidaklah cukup untuk menjadikannya sebagai petunjuk akan adanya hukum Allah pada perkara tersebut. Karena kalau kenyataannya demikian, mestinya manusia akan diberi pahala dengan mengerjakan kebajikan dan akan disiksa karena melakukan kejahatan walaupun tidak ada agama dan utusan dari Allah yang memberi kabar tentang hal tersebut.
Demikian pula halnya dengan adat yang timbul dari akal pikiran, ia tidak mungkin dijadikan petunjuk dari suatu kebenaran atau kemaslahatan yang merupakan dasar dari hukum-hukum agama. Bahkan, sangat banyak adat yang berlaku dikalangan masyarakat disamping sama sekali tidak mengandung nilai kemaslahatan, sebenarnya juga membawa pada kemudharatan. Seperti, adat yang berlaku dikalangan kaum jahiliyah yang dengan tega mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka karena merasa malu. Dalam hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : 
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ 
"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah                        (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, di sebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya kedalam tanah (hidup-hidup)?......" (QS. Al-Nahl : 58-59). 
Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa adat dengan sendirinya tidak dapat dijadikan standart untuk menentukan baik dan buruk, dan tidak bisa dijadikan sumber dalam mengambil ketetapan hukum selama tidak didukung oleh salah satu dasar dari beberapa dasar pengambilan hukum yang telah ditetapkan, baik didukung oleh As-Sunnah, yaitu adat yang berlaku di masa Rasullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan tanpa adanya pengingkaran dari beliau (Taqriri), atau  Al-Ijma', baik ijma' fi'ly atau sukuty, dan atau adat tersebut dikembalikan pada hukum asal manafi' dan madharat, yaitu sebagaimana disebutkan oleh ulama ushul, hukum asal dari setiap yang membawa kemanfaatan, sekiranya tidak ada dalil, selain wanita, harta milik dan harta waqafan, adalah diperbolehkan (ibahah) berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا....الأية
"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu....."(QS. Al-Baqarah; 29). Sedangkan perkara yang membawa kemudharatan adalah dilarang (tahrim) dengan dalil sabda Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam.: 
لاضرر ولا ضرار.  
"tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain" (HR. Malik, Ibn Majah Dll).[10] Dan ketika suatu hukum ditetapkan dengan alasan adat, seperti pernyataan ulama; ”perkara ini diperbolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku", maka tidak lain hal itu karena melihat apa yang ada di balik adat tersebut dan bukan memberi pengertian bahwa adat bisa dengan sendirinya dijadikan sumber hukum.
Adat yang diperkuat oleh dasar-dasar yang telah disepakati seperti; As-Sunnah dan Ijma', akan dijaga dan dilestarikan menurut kesepakatan para ulama. Dan kalau yang memperkuatnya adalah dasar yang masih dipertentangkan seperti; Maslahah Mursalah, Istihsan dan Ijma' penduduk Madinah, maka keberadaannya juga diperdebatkan. 

B. Adat sebagai Parameter Aplikasi Hukum-Hukum Mutlak (yang belum mempunyai ketetapan pasti)
     Merupakan kebijaksanaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dzat yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, dengan mensyariatkan beberapa hukum yang mutlak dan menyerahkan kepada orang-orang yang kredibel (ulama) untuk menjelaskan dan mengaplikasikannya sesuai dengan tuntutan kemaslahatan dan adat (tradisi) yang berlaku di kalangan umat Islam pada waktu itu. Sehingga Islam mampu menjadi agama yang elastis, adaptif dan tetap relevan dalam setiap ruang dan waktu. Karena seandainya dalam Islam hanya ada satu ketetapan hukum tanpa memandang kemaslahatan dan adat yang berlaku di berbagai penjuru dunia, maka manusia akan berada dalam kesulitan yang tidak terperikan dan kiranya tidak pantas Islam menyandang predikat "Rahmatan li al-'alamin". Sebaliknya, kalau ketetapan Islam mengikuti semua kemaslahatan umat manusia dalam setiap dimensi waktu yang terus mengalami perubahan, maka perintah yang di bebankan kepada manusia akan tak terhitung banyaknya sedangkan mereka tidak sanggup lepas darinya. Hal itu akan menyebabkan hancurnya tatanan syariat yang diletakkan di atas dasar yang kuat ini, yaitu meringankan beban.    

 Di bawah ini, kami akan mencoba menyebutkan sebagian contoh hukum-hukum mutlak yang aplikasinya di sandarkan pada adat yang berlaku;

 1. Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda;
من رأى منكم منكرا فليغيّره بيده, فإن لم يستطع فبلسانه......الحديث
"Barang siapa diantara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah dia menghilangkannya dengan tangannya, kalau tidak sanggup maka dengan ucapannya......" (HR. Muslim).[11] Fuqoha menjadikan hadist ini sebagai salah satu landasan dari kewajiban hukum ta'zir bagi mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang sanksinya tidak ditetapkan secara khusus (had). Mereka mengatakan, ta'zir bisa diwujudkan dengan segala cara yang dapat mendidik dan mencegah terulangnya pelanggaran tersebut, selagi tidak sepadan dengan had yang ditentukan Allah. Pernyataaan ini, tentunya mengikut sertakan adat untuk mengimplementasikan hukum ta'zir tersebut, meskipun, ada beberapa sanksi hukum yang bertujuan mendidik dan mencegah tanpa adanya perbedaan, seperti; memukul dan memenjarakan. Al-Qarafi berkata, seperti apa yang dituturkan Ibn Farhun dalam kitab Tabshiroh; "Kebijakan ta'zir bisa saja berubah tergantung masa  dan daerahnya, karena banyak sekali bentuk sanksi dalam satu daerah dianggap ta'zir, sebaliknya dalam daerah lain justru merupakan bentuk memulyakan, seperti melepas pakaian luar (thoilasan) di negara Syiria bukanlah ta'zir tapi memulyakan, dan menanggalkan tutup kepala pada warga Andalus (Spanyol) bukan merupakan bentuk penghinaan sedangkan di Mesir dan Irak itu adalah penghinaan". Demikian juga, sebagian pelanggaran yang dapat mewajibkan ta'zir terkadang bisa berbeda-beda tergantung adat yang berlaku, seperti; menyakiti orang Islam.

 2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ...الأية
"......dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu......" (QS. Al-Tholak; 2). 


Dari ayat ini ulama’ mencetuskan syarat 'adaalah (adil) bagi seorang saksi agar persaksiannya dapat dikatakan sah atau diterima terdapat perbedaan dalam dua madzhab yang berbeda. Fuqoha’ berkata;" 'adaalah adalah tabi'at dalam diri seseorang yang dapat menarik orang tersebut untuk tetap konsis dalam taqwa dan menjaga martabat (muru'ah). Perbuatan yang dapat menjatuhkan muru'ah, yaitu perbuatan yang menurut tokoh masyarakat menunjukkan nilai moralitas rendah, dapat pula menggugurkan 'adaalah". Perlu diketahui bahwa perbuatan-perbuatan tersebut kadangkala sama dalam setiap daerah, seperti; kencing berjalan di jalanan, dan adakalanya berbeda-beda tergantung negara dan daerahnya, seperti; pekerjaan yang dianggap hina. Suatu pekerjaan tidak akan selamanya dianggap hina dalam setiap masa dan daerah, seperti; tukang tenun, dahulu mungkin dianggap sebagai pekerjaan hina, akan tetapi pada masa sekarang tidak lagi.
Walhasil, dalam Islam terdapat beberapa ketetapan yang masih dimutlakkan kemudian diserahkan ke tangan para Mujtahid, Mufti atau Qodli untuk mengaplikasikannya dengan mengambil rujukan adat yang berlaku dalam masyarakat setempat. Termasuk diantaranya, jenis nafkah yang harus diberikan pada keluarga, bentuk penjagaan dalam masalah pencurian, dan lainnya. 

C. Adat Sebagai Ganti Pernyataan
Adat, terkadang dapat mengganti hal yang semestinya membutuhkan ungkapan perkataan. Seperti; menunjukkan idzin, larangan, bahkan menunjukkan hal yang bisa dijadikan pegangan oleh saksi, hakim atau mufti. Dengan arti, adat tersebut bagi mereka dianggap seperti hal yang didengar atau dilihat sehingga mereka bisa bersaksi atau mengambil keputusan dengannya. Adat yang seperti ini, kapasitasnya diakui syara' sama dengan kapasitas perkataan dan dapat menimbulkan ketetapan yang sama dengan pernyataan. Dalam "I'lam Al-Muwaqqi'in" disebutkan: "adat diberlakukan seperti halnya syarat yang diucapkan". Dalam "Al-Qawa'id" Izzuddin bin Abdussalam menyatakan: "Pasal dalam menerangkan bahwa apa yang ditunjukkan adat dan suatu kondisi tertentu bisa mengkhususkan keumuman dan membatasi kemutlakan seperti halnya kata-kata"[12]. Hal senada juga diungkapkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah.

Salah satu contohnya adalah menghidangkan makanan pada tamu, menunjukkan bahwa tuan rumah telah memberinya idzin untuk memakannya. Memagari area tanah, menunjukkan larangan bagi orang lain mengunakan tanah tersebut. Pengunaan toilet umum tanpa mengucapkan akad sewa, menjelaskan waktu di dalamnya dan kadar air yang dipakai. Dan dalam beberapa hal, seorang hakim bisa memvonis dengan apa yang berlaku di kalangan masyarakat setempat, seperti, menentukan harta (gono-gini) milik suami atau istri ketika terjadi pertentangan antara keduanya. 

D. Adat Penggunaan Istilah Tertentu 
Penggunaan istilah tertentu dalam suatu komunitas, menurut kesepakatan ulama, juga menjadi pertimbangan dalam menentukan satu ketetapan hukum, baik menyangkut perintah syari'at atau dalam masalah sosial. Maksudnya, perkataan seseorang akan diartikan sesuai dengan arti yang biasa dipakai  daerah tersebut. Karena, secara dzohir, orang tersebut tidak akan menggunakan suatu istilah kecuali dengan arti yang berlaku. Contohnya, lafadz haji secara bahasa berarti menuju sesuatu yang diagungkan, menurut urf syar'i, haji mempunyai pengertian menuju Ka'bah pada bulan-bulan haji. Ketika Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
ياأيها الناس كتب عليكم الحج فحجوا
“Wahai sekalian manusia, telah diwajibkan atas kalian (ritual) haji, maka berhajilah kalian” (HR. Muslim),[13]  
maka, yang diperintahkan oleh Beliau adalah haji menurut urf syar’i. Hal ini, berlaku juga dalam berbagai bentuk akad dan hubungan sosial lainnya, seperti jual-beli, syarat, talak dan sumpah.
Mereka juga sepakat bahwa istilah tersebut bisa dijadikan mukhoshsish (yang mengkhususkan keumuman) dan muqayyid (yang membatasi kemutlakan). Dalam ketentuan ini, tidak ada perbedaan antara istilah yang berlaku secara umum atau hanya dalam satu komunitas tertentu, kecuali hukum yang diambil dari istilah umum akan diimplementasikan secara umum pula dan yang diambil dari istilah komunitas tertentu akan dikhususkan pada kalangan tersebut. 


[1] . DR. Ahmad Fahmi Abu Sinnah, al-adatu wa al-‘Adah fi Ra’yi al-Fuqaha’, hal. 10. 
[2] . Ibn ‘Amir al-Hajj, Syarah Tahrir, vol. 1, hal. 282. 
[3] . Shahih Bukhori, Kitab Fadloil al-Qur’an, bab, Ta’lif al-Qur’an, no-Hadist 4993. 
[4] . Khatib al-Baghdady, Tarikh Baghdad.  
[5] . Attaqrir Syarah Attahrir vol. 1/68, vol.2/2, muqoddimah Ibnu khuldun hal. 128, kutub Ilm al-Ijtima’ fi Bahst al-adati, Ilm an-Nafsi fi Bahts al-Adah, Al-Mabsuth fi Mabahits Mukhtalifah. 
[6] . Shahih Bukhori, - Kitab al-Anbiya’ – bab – Shafhah an-Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam. No-Hadist, 3560. 
[7] . Yaitu, menjual kurma atau anggur basah yang masih dibatang pohonnya dengan kurma atau anggur kering. Transaksi ini diperbolehkan di bawah kadar nishob zakat (5 wasaq) dengan catatan yang di atas batang pohon ditaksir terlebih dahulu dan yang kering di takar. Abi Zakariya al-Anshori, Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala Tuhfah ath-Thullab, Dar al-Fikr, Beirut, vol- II, hal. 63-64. 
[8] . Abu al-‘Abbas Syihabuddin Al-Qarafi Al-Maliki, Al-Faruq, vol. 3, hal. 149. 
[9] . ini adalah sebagian ucpan dari Abdullah bin Mas’ud  ra.  Yang lengkapnya :
إن الله تعالى نظر إلى قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله عليه وسلم خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه ….. الحديث إلى أن قال وما رأوه سيئا فهو عند الله سيئ .
Imam Ahmad, al-Musnad vol. 1/379.  
[10] . Imam Malik, al-Muwattho’,-Kitab al-Aqdliyah- bab – al-Qodlo’ fi al-Mirfaq.  
[11] . Shahih Muslim, - Kitab al-Iman – bab – Kaun an-Nahyi ‘an al-Munkar min al-Iman. 
[12] . Ibn Abdissalam, Al-Qawa’id, vol. 2, hal. 121. 
[13] . Shahih Muslim, kitab al-Hajj, - bab- Furidlo al-Hajj Marrotan fi al-‘Umr.

Artikel ini pernah dimuat dalam jurnal Teras Pesantren edisi VIII
Editor: Irham Ma'arif

Read More >>

Islam Anti Kekerasan, Sejarah Islam Nusantara, Fungsi Masjid

islam anti kekerasan Agama Islam di nusantara itu berkembang tidak melalui pedang atau dengan suatu peperangan. Akan tetapi, agama Islam tersebar dengan metode yang lain dari pada yang lain. Yaitu, dengan cara mendirikan padepokan atau pondok pesantren.

 

Pesantren pertama kali yang ada di pulau Jawa adalah terletak di Ampel Denta, suatu padepokan yang berada di Surabaya yang diberikan oleh Prabu Brawijaya kepada Sunan Ampel (Raden Rahmat). Dengan padepokan ini, Sunan Ampel mengajarkan Islam kepada putra-putri penduduk pribumi yang berasal dari bermacam-macam etnis dan latar belakang. Ada yang dari latar belakang mantan perampok, seperti Sunan Kalijaga. Ada yang dari paham Kejawen, seperti Sunan Muria. Dan ada yang berasal dari keluarga kerajaan, yaitu Sultan Fatah, Raden Hasan dan Raden Husein, dan lain-lain dari beberapa penduduk pribumi.

 

Semua santri-santri yang dari aneka etnis ini bersatu padu hidup dalam satu tempat. Mereka belajar dan menuntut ilmu kepada Raden Rahmat yang merupakan keponakan putri Campa, salah satu selir dari Raja Brawijaya.

 

Untuk mengembangkan persebaran agama Islam di nusantara, para Wali Songo yang diketuai oleh Sunan Ampel merintis sebuah masjib agung yang terletak di kota Demak, masjid Bintoro. Masjid ini merupakan perpaduan antara budaya Arab dan Jawa, sebab serambinya masjid ini diambil dari serambi yang ada di kerajaan Majapahit. Dari dua perpaduan yang antik ini banyak orang yang mengkeramatkan masjid Bintoro.

 

Keanehan masjid ini juga terletak pada sakanya. Mulanya oleh arsitekturnya (kanjeng Sunan Kalijaga), sakanya ini ada tiga (tiga ini merupakan lambang Iman, Islam dan Ihsan), kemudian setelah ditimbang-timbang oleh kanjeng Sunan Kalijaga, saka tiga ini kurang pas. Akhirnya, kanjeng Sunan Kalijaga menambahkan satu saka lagi yang akhirnya jumlahnya menjadi empat. Saka terakhir ini tidak seperti yang tiga. Tapi, saka terakhir ini terbuat dari tatal (serpih-serpih kayu yg ditarah (diketam). Dari jumlah empat yang digagas oleh Sunan Kalijaga ini mempunyai sebuah arti bahwa orang Islam yang ingin selamat dunia dan akhirat harus menjalankan empat perkara.Yaitu, Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Makrifat.

 

Masjid merupakan kunci syiarnya agama Islam. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw di awal dekade Hijriyah. Masjid yang pertama beliau bangun adalah masjid Quba. Kemudian di tengah perjalan hijrahnya, beliau membangun masjid lagi, yaitu masjid Jumat. Dan terakhirnya ketika Nabi Muhammad Saw sampai ke Madinah, beliau berhenti di mana unta yang dikendarai akan berhenti. Di situ beliau bertempat tinggal dan membangun masjid Nabawi. Dari uraian sejarah tadi menunjukan betapa pentingnya sebuah masjid sebagai pusat penyebaran agama Islam. Agama Islam di Sarang, tempat di mana kita menimba ilmu juga tidak bisa lepas dari peran penting masjid seperti fungsinya yang terdahulu. Masjid pertama kali di Sarang bertempat di Belitung yang didirikan oleh orang yang sakti mandraguna yang merupakan leluhur dari ulama-ulama Sarang. Kapan masjid Sarang itu berdiri tidak ada orang yang mencatat. Namun, di masjid itu banyak sekali terdapat keanehan sebagaimana yang disaksikan oleh Syaikhina Maimoen Zubair. Masjid ini tidak memakai paku. Usuk dan rengnya hanya ditumpukan pada sebuah lubang untuk pengerat.

 

Keanehan masjid Belitung juga dilambangkan pada sebuah ikan Lele yang berwarna Putih yang terletak di kolam yang tidak jauh dari masjid tersebut. Dahulu ketika bangunannya tidak memakai paku, Lele Putih itu masih sering menampakkan diri. Namun, setelah masjid tersebut sudah direnovasi sebagaimana masjid-masjid yang lain, ikan Lele tadi sudah tidak nampak lagi. Subhanallah. Sungguh kejadian ini pernah dialami oleh Syaikhina Maimoen Zubair sendiri.

 

Nenek moyang Syaikhina Maimoen Zubair zaman dahulu sering Jumatan di masjid Belitung. Beliau berasal dari Madura, beliau adalah Kiai Usmant bin Kiai Ya’qub bin Kiai Ma’ruf bin Kiai Shamad bin Kiai Abdurrafiq bin Kiai Abdul Mufid. Setelah masjid Agung Bintoro jadi, masjid itu tidak langsung diresmikan. Tapi, menunggu pembuatan Serambi yang diambil dari kerajaan Majapahit yang sering digunakan untuk pasebanan pembesar keraton.

 

Ketika kerajaan Majapahit tumbang, kemudian digantikan dengan kerajaan Demak dan karajaan yang berada di kota Solo, yaitu kerajaan Pajang. Kerajaan Demak dipimpin oleh Sultan Fatah, putra Brawijaya dari selirnya. Sedangkan kerajaan Pajang dipimpin oleh putra Brawijaya dari permaisurinya. Raden Fatah sejak dari kecil sudah menganut agama Islam, sebab ibunya beragama Islam. Di dalam Islam jika ada anak lahir dari ibu yang Islam dan ayah yang tidak Islam, maka anaknya menjadi Islam, karena agama Islam itu tinggi tidak ada yang mengungguli agama Islam.

 

Kedua kerajaan hasil perpecahan Majapahit tadi saling menghargai. Meskipun sebenarnya Pajang ini masih menganut ajaran Hindu yang sangat kental sekali dengan paham kejawennya. Kental dengan yang namanya mitos pantai Selatan. Namun, sedikit demi sedikit Islam tertanam di hati orang Solo, meskipun tidak sekuat dengan Islam yang ada di Demak. Maka dari itu, jangan kasar-kasar kalau mengajarkan agama Islam kepada orang Solo.

 

Sebagai simbol kerukunan kerajaan tersebut, Raja Pajang mengutus dua pemuda yang sudah masuk Islam untuk pergi ke Demak. Namun, belum sampai ke Demak kedua utusan tersebut meninggal di jalan, tepatnya di daerah Cepu, di Sumber Wates. Utusan tadi terkenal dengan sebutan dengan Sunan Janjang. Sunan Janjang ini adalah salah satu Sunan yang gemar akan budaya Wayang dengan lakon Semar dan Gareng.

 

Setelah masjid yang menjadi tanda syiarnya agama Islam, hendaknya umat Islam itu selalu berpegang teguh pada ajaran ulama salaf dengan mengkaji karangan-karangannya yang bertuliskan dengan literatur bahasa Arab tanpa diberi harakat dan makna. Mereka dapat memahami kitab tersebut. Tapi, sayangnya di zaman sekarang, kebudayaan dengan kedua metode tersebut kian hari tambah berkurang. Banyak orang yang memahami ajaran Islam lewat terjemahan. Mereka menjadi kiai tetapi tidak bisa membaca kitab gundul. Sungguh aneh kenyataan ini. Syarat untuk tafaqquh fiddin itu harus bisa berbahasa Arab, sebab Al-Quran dan al-Hadist itu berbahasa Arab.

 

Inilah rahasia Allah. Allah tidak bisa dipaksa. Allah berkehendak untuk melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya. ”Saya menginginkan kamu juga menginginkan tapi Allah melakukan apa yang diinginkan-Nya.” Tapi, jangan kamu hina mereka yang mempelajari agama Islam dengan lewat terjemahan. Biarlah mereka melakukan jalannya sendiri. Yang terpenting kamu sekalian melakukan jalan yang sesuai dengan ajaran yang ditempuh ulama salaf.

Berkaitan dengan permasalahan di atas, dahulu Syaikhina Maimoen Zubair pernah showan kepada salah satu kiai yang mempunyai keramat. Beliau adalah Kiai Rahmat. Di perjalan itu beliau ditemani dengan temannya. Namun, teman Syaikhina Maimoen tadi tidak sadarkan diri di tengah perjalannya. Tiba-tiba ada seseorang yang datang entah dari mana asalnya. Orang tersebut berpesan kepada Syaikhina Maimoen untuk mempertahankan tulisan yang ditulis dengan huruf alif, ba’, tak (huruf Hijaiyah). Kelak akan ada zaman, di mana seseorang belajar agama Islam tidak lagi menggunakan tulisan tersebut.

Setelah doa orang tersebut diamini oleh Syaikhina Maimoen, tiba-tiba orang tersebut hilang entah ke mana. Subhanallah. Marilah kita mewarisi jejak-jejak ulama salaf dengan cara mempelajari Islam yang sesuai dengan jejak ulama salaf tersebut. Yaitu, dengan cara memakai kitab yang berliteratur Arab. Tapi, kalau ada yang memakai terjemahan jangan diganggu-ganggu. Biarkanlah mereka menempuh jalan yang diyakininya.

Salah satu karya peninggalan ulama salaf adalah kitab Fathal Qarib dan Fathal Muin. Hal ini sesuai dengan apa yang dialami oleh Mbah Ghazali bin Lanah ketika manjalankan ibadah haji. Yaitu, ketika hendak menunaikan ibadah haji, beliau tidak menemui hari untuk wuquh di Arafah. Akhirnya, beliau terpaksa menginap di Arab guna untuk menyempurnakan ibadah hajinya di tahun mendatang.

 

Di sela-sela Mbah Ghazali menunggu datangnya musim haji lagi, beliau menyempatkan diri untuk mengaji kitab Fathal Muin karya Syaikh Zainudin al-Malibari dan tafsir Al-Jalailain karya Imam Jalalain kepada ulama setempat.

 

Sarang, 7 Desember 2011

Catatan: Artikel ini disarikan dari ceramah Syaikhina Maimoen Zubair pada saat pembacaan sanad Fathal Qorib dan Fathal Muin serta Mahalli di acara Muwada’ah PP. Al-Anwar pada 9 Juli 2011.

Read More >>

Isinya Al-Quran ada tujuh pembahasan, Kesinambungan Ulama

Sungguh ada kebahagiaan yang sangat mendalam jika masih ada umat Islam yang berpegang  teguh pada ajaran ahlusunnah waljamaah. Yaitu, golongan yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw dan yang mengikuti kelompok sahabat Rasulullah Saw yang mengembalikan suatu perkara kepada asalnya. Yaitu, Al-Quran dan al-Hadis. Sequran-ilmu-pengetahuanbab, keduanya ini saling berkaitan.

 

Sebaik-baiknya zaman adalah zamannya Rasulullah Saw, terus zaman setelahnya dan setelahnya. Masa kenabian itu berjumlah 23 tahun. 13 tahun Rasulullah Saw berada di Makkah dan 10 tahun berada di Madinah. Di kedua tempat mulia ini merupakan masa pokok keislaman. Banyak sahabat hafal Al-Quran yang mana Al-Quran di waktu itu belum ditulis. Al-Quran hanya di hati dan bibir.

 

Setelah Rasulullah Saw wafat, kekuasaan Islam pindah kepada masa Khulafaur Rasyidin. Islam di masa ini terus berkembang. Sehingga, banyak sesuatu yang belum ada di zaman nabi telah diadakan oleh para sahabat. Pembuatan Baitul Mal (zaman Abu Bakar), penyatuan salat Tarawih (masa sahabat Umar bin Kattab) dan pembukuan mushaf Al-Quran (zaman Usman bin Affan). Pembaharuan ini dijalankan karena memang karena adanya suatu kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan. Ini bukanlah bid'ah sebagaimana yang dianggap oleh orang-orang awam, bahwa segala bid'ah itu menyesatkan.

 

Pada masa Abu Bakar, Al-Quran itu dikembangkan menjadi sebuah tulisan, yang kemudian disempurnakan oleh khalifah yang ketiga, Usmant bin Affan. Pada zaman sahabat ini, Al-Quran masih berbentuk tiga kategori, Al-Quran yang masih di hati sanubari, Al-Quran yang berupa bacaan, dan Al-Quran yang sudah berbentuk tulisan. Namun, di sini yang paling banyak dikerjakan dan diamalkan oleh sahabat adalah Al-Quran yang di hati. Sehingga, membuat masanya sahabat adalah masa yang baik setelah zaman Rasulullah Saw.

Sedikit sekali pada zaman sahabat orang yang hafal Al-Quran secara utuh. Yang hafal secara awal sampai akhir cuma enam orang. Kebanyakan dari mereka hanya hafal surat-suratan. Namun, perlu diketahui, bahwa hafal Al-Quran itu tidak harus hafal semuanya. Sebab, Al-Quran itu pembahasan sering diulang-ulang dengan gaya bahasa yang berbeda. Isinya Al-Quran ada tujuh pembahasan,

    1. Mentauhidkan Allah,
    2. Memberi kabar gembira,
    3. Memberi kabar ancaman,
    4. Perintah untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya,
    5. Nasehat- nasehat,
    6. Cerita-cerita,
    7. Petunjuk.

Pada zaman 100 H ke atas, masa Islam pindah dari zaman sahabat menuju zaman Tabi’in. Di era ini kemajuan Islam terus berkembang terutama dalam segi masalah ilmu pengetahuannya. Ide-ide cemerlang terus berdatangan. Hingga pada masa Umar bin Abdul Aziz timbullah suatu gagasan yang berlian. Yaitu, tentang pembukuan hadist Nabawi. Dalam hal ini Umar memberi rekomendasi khusus kepada Imam az-Zuhri untuk menjadi pelopornya.

 

Tahun 200 H ke atas. tongkat kekuasaan Islam berpindah lagi. Dari zaman Tabi’in menuju zaman Tabi’it Tabi’in. Di asar ini perkembang Islam bertambah lagi. Yang asalnya cuma ada pembukuan Al-Quran dan al-Hadist ditambah lagi. Sekarang timbul iman-imam Madzhab yang menyusun kitab Fikih sedemikian rapinya.

Masa 300 H ke atas. Masa ini merupakan di mana pemikiran akal semakin berkembang. Semuanya harus dirasionalkan. Hingga muncul kaum Mu’tazilah yang selalu mengedepankan dari pada dalil Naqli. Maka dari permasalahan ini, oleh Imam Asy'ariyah dan Maturidayah mengawinkan antara Nash dan Akal hingga muncul dalil yang namanya dalil Naqli dan Aqli.

 

Era 400 H ke atas. Sanah ini adalah salah satu masa yang dipelopori oleh Imam Abu Bakar al-Bakilani. Di masa ini pembukuan kitab Fikih terus disempurnakan. Muncul madrasah Nizhamiyah yang mengeluarkan pemikir-pemikir Islam yang handal. Namun selain itu, muncul pula fitnah besar yang berupa adanya kaum Syiah Qororiroh yang sangat kejam. Kaum ini menjadi baksil atas kemajuan Islam. Mereka mencuri Hajar Aswad yang berada di Makkah dan membantu orang-orang kafir untuk menguasai Baitul Maqdis dari tangan umat Islam.

 

Tahun 500 H ke atas. Ketika umat Islam sebelum tahun ini terkena guncangan fitnah yang besar, maka Allah meredakan fitnah tersebut lewat Imam Al-Ghazali, salah satu pengajar di madrasah An-Nizhamiyah yang mempunyai salah satu murid yang terkenal "rawe-rawe rantas malang-malang putung." Shalahuddin al-Ayyubi namanya. Kelak di tangannya kejayaan Islam kembali lagi. Beliau berhasil merebut Madjidil Aqsha dari tangan-tangan orang kafir, dan mengembalikan Hajar Aswad yang asalnya dicuri oleh orang syi’ah ke tempat asalnya. Di masanya juga, muncul pensyiaran tentang acara Mauludiyah yang merupakan acara sebagai bukti kecintaan seseorang terhadap Rasulullah Saw. Dan tidak kalah hebohnya, setelah Imam Al-Ghazali, telah muncul Imam Nawawi dan Imam Rafii yang mana keduanya ini telah berhasil mengemas kitab karangan Imam al-Ghazali.

 

Tahun 600 H ke atas. Islam kembali diguncangkan oleh fitnah yang besar lagi. Pelakunya lagi-lagi adalah orang Syi’ah yang membantu orang-orang Mongol untuk menjatuhkan kerajaan Arab, Abbasiyyah. Di saat penaklukan Semenanjung Arab ini, banyak Ulama, seperti Imam Ibnu Daqiqil 'Id yang lari dari Bagdad menuju Syam. Namun, atas izin Allah, ada pembesar Mongol yang masuk Islam, Timur Leng. Dia yang menyebarkan Islam untuk rakyat Mongol.

 

Tahun 800 H ke atas. Lahir seorang ulama besar. Imam Al-Bulqini namanya. Kemudian setelahnya, muncul pula ulama yang agung. dialah yang menghasilkan beberapa ilmu pengetahuan Islam. Ulama itu tidak lain adalah Imam As-Suyuti.

 

1000 H ke atas. Kitab-kitab Islam telah mengalami perkembangan lagi. Sebab, di masa ini muncul kitab Hasyiyah yang dipelopori oleh sebagian ulama. Di antaranya adalah Imam Zam-Zami dan kawan-kawannya. Kitab Hasyiyah merupakan suatu kebutuhan untuk menjabarkan dan memperluas ilmu-ilmu yang ada pada kitab matan dan syarah. Dengan adanya kitab hasyiyah dapat memperjelas sesuatu yang ada di kitab Matan dan Syarah.

1100 H ke atas. Perkembangan ilmu pengetahuan Islam maju lagi. Yaitu, munculnya kitab al-Barjanji yang mensyiarkan tentang rasa cinta kepada Rasulullah Saw. Janganlah kalian melupakan kitab asal ini meskipun sudah ada kitab-kitab yang memuji terhadap Rasulullah Saw yang lain yang dikarang oleh ulama selain imam al-Barjanji.

 

1200 H ke atas. Lahir ulama yang berMadzhab Hanafi, akan tetapi dirinya juga cinta Madzhab Syafii. Beliau tidak lain adalah Sayyid Murtadlo. Ulama ini yang telah mensyarahi kitab Ihya karangan Imam Al-Ghazali yang merupakan pegangan Madzhab Syafii. Percampuran yang menyebabkan peralihan ini juga terjadi kepada keturunan Syaikh Baker al-Jugjawi yang kebanyakan keturunannya menjadi Muhammadiyah yang menganut organisasi Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan itu sendiri menjadi Muhammadiyah karena pengaruh dari gurunya. Syaikh As-Syukati namanya. Dia itu berpaham Muhammadiyah.

 

Karena sejarah yang bercampur ini, Syaikhina Maimoen tidak berani membenci orang-orang Muhammadiyah sebab banyak keturunan gurunya yang menjadi pengikut Muhammadiyah. Namun, Syaikhina Maimoen juga tidak mau mengikuti Muhammadiyah. Beliau tetap pada Nahdlatul Ulama. Sekarang banyak orang yang NU ngakunya, tapi tidak memenuhi ajaran ahlusunnah waljamaah. Orang yang seperti ini lebih baik orang-orang yang berpaham Muhammdiyah.

1300 H ke atas. Islam mencapai perkembangan dalam ilmu pengetahuan lagi lewat ulamanya yang handal. Beliau tidak lain adalah Sayyid Zaini Dahlan. Sosok yang alim yang tersegani di Makkah dan luar Makkah. Beliau banyak mengarang kitab yang kini tersebar di belahan dunia.

1400 H ke atas. Telah lahir pemikiran yang menjadi panutan umat Nabi Muhammad Saw. Namanya sesuai dengan nama Rasulullah Saw. Sosok itu tidak lain adalah Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliki. Beliau dikabarkan menjadi mujaddid yang menempati abad ini. Banyak ulama yang terdidik hasil dari tangannya, seperti halnya ulama yang ada di kota Sarang. Banyak masyayeh yang pergi belajar ke Makkah menuju Ribath yang diasuh Sayyid Muhammad. Adapun Syaikhina Maimoen itu sendiri adalah orang yang hidup pada masa 1300 H dan 1400 H. Yang terpenting bagi kita semua adalah mengikuti ajaran ahlusunnah waljamaah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu Qadim (dahulu) bukan hadis sebagaimana yang dikemukakan oleh orang Mu’tazilah.

 

Keistimewaan Al-Quran itu bersinar pada diri Rasulullah Saw. Duhulu pada zaman sahabat jika ada orang yang memandang Rasululah Saw, maka mereka bisa menjadi alim sebab keberkahan yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Dan sumber utama kealiman itu juga berasal dari Nabi Muhammad Saw yang ilmunya tidak dapat dibayangkan karena saking banyaknya.

 

Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasululah Saw pada awal dekade sangatlah asing dan kelak akan kembali asing lagi. Selain asing juga aneh. Mengapa? Karena ketika Islam itu besar, disebabkan oleh Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Akan tetapi, orang yang pertama kali masuk Islam bukan dari kalangan mereka. Tetapi yang pertama kali masuk Islam adalah Abu Bakar. Islam juga besarnya di daerah pedesaan, yaitu Yastrib bukan di Makkah. Aneh lagi, meskipun Abu Bakar adalah orang yang pertama kali masuk Islam, tapi ketika kita membaca shalawat itu diperuntukan kepada Rasulullah Saw dan keluarganya bukan untuk Abu Bakar.

 

Sarang, 20 Juli 2010

Catatan: Artikel ini disarikan dari caramah Syaikhina Maimoen Zubair pada saat pembacaan sanad kitab Fathul Qarib dan Fathul Muin 2010.

Read More >>

Alam Mulki dan Alam Malakut serta Tips Menuju Kesejahteraan di Dunia dan Akhirat.

 kesejahteraan yang akan diperoleh di dunia dan akhirat Alam di jagad raya ini dibagi menjadi dua bagian. Yaitu, alam Mulki dan alam Malakut. Alam mulki yaitu alam yang bisa dilihat oleh manusia dengan kasyaf mata. Sehingga, dalam permasalahan ini orang yang beragama Islam atau pun orang kafir itu bisa menembus dan menjamahnya. Allah berfirman :

 

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (107

 

"Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong." (QS. Al-Baqarah : 107)

 

Mengenai tentang bentuk alam Mulki, bahasannya sangat luas. Tidak hanya terkhusus dengan alam dunia, tetapi keluar dari planet tercinta ini. Di bumi dan langit merupakan alam Mulki yang dinikmati mata selagi masih bisa berfungsi. Dan kebanyakan orang-orang yang menemukan konsep tentang ilmu alam Mulki adalah orang yang bukan Islam. Seperti ilmu Falaq, kebanyakan orang yang ahli di dalamnya adalah orang kafir, seperti bangsa Inggris yang pintar terhadap bidang astronomi sejak awal dekade. Sehingga, dalam permasalahan ini dahulu Mbah Zubair Dahlan mempunyai sebuah keinginan untuk mengaji dan pintar dalam ilmu Falaq. Tapi, sayangnnya ilmu ini tidak ilmiah.

 

Bumi yang kita tempati ini merupakan bagian dari alam Mulki yang diciptakan untuk makhluk Allah yang namanya manusia (Nabi Adam dan keturunannya). Nabi Adam dijadikan Allah sebagai khalifah untuk memakmurkan dunia dengan aturan-aturan yang diatur oleh Allah. Allah berfirman :

 

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (30

 

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah : 30).

 

Karena bumi adalah tempat makhluk Allah yang mulia (Nabi Adam dan keturunannya), maka proses dalam penciptaannya juga lama apabila dibandingkan dengan langit yang letaknya berada di atasnya. Hari Ahad, Senin, Selasa, dan Rabu digunakan untuk menciptakan bumi, sedangkan Kamis dan Jumat itu digunakan oleh Allah untuk mencipkan langit. Adapun hari Sabtu Allah libur. Sehingga dari permasalahan ini banyak digunakan teladan untuk orang-orang yang ahli dalam ilmu Perdukunan untuk tidak menyuwuk sebab takut ngobos (tidak berhasil jampe-jampenya).

 

Keistimewaan bumi tidak hanya itu saja. Tetapi masih ada yang lainnya. Bahkan itu lebih menarik, yaitu kelak bumi yang kita gunakan untuk beribadah kepada Allah Swt, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, akan kita bawa ke surga untuk ditempati lagi. Sedangkan langit akan dilipat dan digulung Allah. Allah berfirman :

 

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (67

 

"Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi dia dari apa yang mereka persekutukan." (QS. Az-Zumar : 67).

 

Setelah pembahasan alam Mulki, Syaikhina Maimoen juga membahas tentang alam Malakut yang tidak kalah pentingnya dengan pembahasan alam Mulki. Alam Malakut berbeda dengan alam Mulki yang bisa dinikmati orang-orang Islam dan orang-orang kafir. Dia lebih terkhusus untuk orang-orang Islam, khususnya mereka yang selalu taat kepada Allah seperti para nabi, auliya' dan orang-orang saleh. Mereka hidup hanya mencari rida Allah. Tentang alam Malakut Allah berfirman :

 

وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ (75

 

"Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yaqin." (QS. Al-An'am : 75).

 

Seseorang itu akan memperoleh kebaikan kalau dia mau mengetahui alam Mulki dan alam Malakut. Contoh alam Malakut yang tidak bisa dilihat oleh mata adalah Malaikat, Jin dan Setan. Di bawah ini ada contoh-contoh alam Malakut yang diceritakan dalam Al-Quran dan yang pernah dialami oleh seseorang yang dipilih Allah.

 

a. Ibunda Maryam binti Imran, ibu yang melahirkan Nabi Isa As yang semasa hidupnya pernah diasuh oleh Nabi Zakaria. Ketika Nabi Zakaria menaruhnya di sebelah kiri pengimaman masjid, waktu itu Nabi Zakaria ingin mengirim makanan kepada Maryam, tapi malah Nabi Zakaria keheranan dengan apa yang terjadi dengan Maryam. Sebab, Nabi Zakaria melihat sudah ada makanan di samping Maryam. Makanan itu didatangkan Allah dari surga. Allah berfirman :

 

فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ 37

 

"Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab." (QS. Ali-Imran : 37).

 

b. Alam Malakut yang terdapat pada Nabi Ibrahim As adalah terjadi pada suatu peristiwa besar tentang pembakaran dirinya atas perintah raja Namrud. Ketika api sudah berkobar dan Nabi Ibrahim sudah dimasukkan ke dalamnya. Dengan izin Allah api itu tidak dapat membakarnya. Justru di dalam api itu Nabi Ibrahim mendapatkan kenikmatan dari Allah yang berupa selain dirinya tidak dapat dibakar dengan api, Nabi Ibrahim juga bisa leyeh-leyeh duduk di atas kursi goyang dengan memakan makanan yang diberikan oleh Allah. Allah berfirman:

 

قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69

 

"Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim",(QS. Al-Anbiya’: 69).

 

c. Setelah mengajar di Madrasah Nizamiyah, Imam Al-Ghazali menjadi orang yang mashur dan kaya. Namun, suatu ketika beliau meninggalkan kenikmatan dunia itu dan berkeinginan untuk menjalankan alam Malakut. Akhirnya, beliau bertekad menjalankan suatu perjalanan yang sangat panjang sepanjang 5000 kilo meter dengan tidak membawa bekal kecuali hanya tawakal kepada Allah Swt. Dengan tawakalnya, Imam Al-Ghazali bisa sampai ke tempat tujuan atas izin-Nya.

 

d. Al-Quran yang dijadikan pedoman hidup umat Islam juga ada alam malakutnya. Yaitu, di dalamnya terdapat keistimewaan yang tidak dapat didapat pada kitab selain Al-Quran. Kepahaman yang mendalam hanya dapat diperoleh oleh orang-orang yang beragama Islam. Selain itu, meskipun Al-Quran itu berbahasa Arab, tapi orang yang paham dan alim dalam bahasa Arab bukan orang Arab asli tapi orang Ajam (Imam Sibaweh).

 

Perlu diketahui bahwa alam Malakut itu tidak terkhusus pada sesuatu yang ada di luar bumi dan yang tidak nampak, namun pembahasannya luas. Kadang ada yang di bumi dan di luar bumi. Namun, yang penting adalah alam Malakut itu hanya diketahui dan dirasakan oleh orang Islam, terutama hamba-hamba Allah yang menjadi pilihan-Nya.

 

Ketika kita sudah mengetahui apa itu alam Mulki dan alam Malakut, maka kita akan beranjak menuju konsep-konsep Islam yang menawarkan sebuah kesejahteraan bagi umatnya yang mau menjalankan ajarannya. Kesejateraannya yaitu berupa kesejahteraan yang akan diperoleh di dunia dan akhirat.

 

Islam sangat menawarkan kesejahteraan bagi pengikutnya. Namun, sayangnya banyak yang tidak mengetahui tentang hal itu. Atau juga memang ia sengaja lari dari konsep tadi, sehingga memilih suatu kehidupan yang enak yang bersifat sementara dengan meninggalkan kehidupan yang bersifat abadi. Tapi, kenyataannya kebanyakan dari mereka sensara di kehidupan dunia ini. Padahal orang Islam itu harus enak dunia dan akhiratnya. Kesensaraan itu disebabkan karena tindakannya sendiri. Kebanyakan dari mereka tidak mau menolong agama Allah, baik disengaja atau pun tidak. Padahal barang siapa yang menolong agama Allah, maka dia akan ditolong Allah. Sehingga, akibatnya berdampak pada diri mereka sendiri. Contoh kecilnya adalah orang Indonesia yang dijajah Belanda selama 350 tahun. Selama dalam kekuasaan penjajah, kesensaraan terjadi di mana-mana. Kadang mereka makan nasi selama 5 bulan dan makan jagung selama 7 bulan. Semua ini terjadi karena di waktu itu bangsa Indonesia yang menolong agama Allah sangatlah sedikit sekali.

 

Konsep Islam sungguh sangat luar biasa. Seandainya umat Islam mau menjalankan Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, niscaya kesejahteraan akan dirasakan oleh semua lapisan. Contoh kecilnya tentang takaran makan yang diatur oleh Islam. Seorang muslim perindividu itu harus makan perhari bagi orang yang miskin 1 Mud (6 on seperempat). Orang berekonomi sedang makannya 1 Mud setengah. Dan orang yang kaya takaran makannya 2 Mud. Sehingga, kalau ditotal semuanya, bagi seorang yang sedang harus menghabiskan 28 kilo. Mengapa di sini harus 28 kilo? Karena jumlah hari dalam satu bulan menurut penanggalan Islam itu ada 28 hari. Sedangkan untuk hari yang ke 29, bulannya itu tidak nampak. Seandainya kurang dari 28 kilo, maka orang tadi itu belum dikatakan merasakan kesejahteraan yang ditawarkan Islam.

 

Penuturan tadi baru tentang nasinya. Belum menuju lauk-pauknya. Apabila dia sudah normal nasinya, hendaknya memilih lauk-pauk yang enak-enak. Allah befirman:

 

وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ (35

 

"Dan kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-Baqarah: 35).

 

Namun sayangnya, meskipun ada rumus-rumus yang mengantarkan manusia agar hidup yang enak di dunia dan akhirat, akan tetapi ada sebagian dari mereka yang masih tirakat (puasa Dalail). Dengan puasa ini, mereka menginginkan akan adanya kenikmatan dunia pada masa setelah puasa. Tapi, mereka masih saja melarat. Sebenarnya tirakat puasa itu kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang hendak mendekatkan diri kepada Allah, khususnya para nabi dan waliyullah. Puasamya hanya untuk Allah. Hatinya tidak pernah lepas dari mengingat Allah. Seandainya mereka melupakan Allah dengan waktu yang sangat singkat, niscaya mereka sudah dianggap dosa besar. Dan kebanyakan orang-orang yang menjalakan tirakat sekarang itu niatnya tidak seperti ini, makanya mereka tetap melarat dan miskin.

 

Apabila ada orang yang bernazar ziarah ke makam Wali Songo dengan berjalan kaki padahal tempat antara dia dan tempat yang dinazarinya itu sangat jauh bila dijangkau dengan berjalan kaki, sungguh orang yang bernadzar tadi tidak wajib menjalankan nazarnya dengan berjalan kaki. Sebab, berjalan kaki itu pekerjaan hewan, seperti Kerbau dan Sapi bukan pekerjaan manusia. Dan manusia itu bukanlah Sapi atau Kerbau. Tapi, manusia itu adalah makhluk Allah yang dimuliakan. Dia harus mempunyai alat tranportasi yang dapat mengantarkannya ketika dia hendak pergi ke suatu tempat yang diinginkan, bukan dengan jalan kaki. Ingatlah bahwa Islam itu mulia dan pengikutnya juga harus mulia. Allah berfirman:

 

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا 70

 

"Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan." (QS. Al-Isra : 70).

 

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ (8

 

"Kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui." (QS. Al-Munafiqun: 8).

 

Sarang. 1 Desember 2010 M

Catatan : Artikel ini disarikan dari ceramah Syaikhina Maimoen Zubair pada saat acara KBIH Sarang tanggal 17 Oktober 1998 M.

Read More >>