Showing posts with label Biografi Masyayikh. Show all posts
Showing posts with label Biografi Masyayikh. Show all posts

Kisah Cinta Mbah Muhdlor

Love cinta Sebelum pesantren Sarang ini menjadi besar, terlebih dahulu pesantren ini telah ditirakati oleh pendahulunya. Yaitu, Mbah Muhdor dan Mbah Syamsyiyah. Mbah Muhdlor berasal dari Bonang yang bertempat tinggal di Sidoarjo. Sedangkan Mbah Syamsyiyah adalah anak Kiai Misbah dari Sedan yang masih mempunyai hubungan darah dengan Kiai Sulaiman Mojo Agung Jawa Timur.

 

Laluhur Mbah Syamsyiyah itu status sosialnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan status sosial leluhur Mbah Muhdlor. Dalam diri Mbah Syamsyiyah ini telah mengalir darah ke-kia-an dari Mbah Sulaiman yang merupakan seorang ulama yang alim dan sakti madraguna. Sehingga menjadi sebuah unen-enen (ucapan) kalau ada kiai sakti itu kebanyakan adalah keturunan Mbah Sulaiman Mojo Agung. Sedangkan Mbah Muhdlor itu hanyalah keturunan nelayan biasa.

 

Melihat kondisi nasab yang begitu jauh itu, saking cintanya kepada Mbah Syamsyiyah, Mbah Muhdlor bernazar jika dirinya dapat mempersunting Mbah Syamsyiyah yang merupakan cucu Kiai Sulaiman Mojo Agung, maka dirinya akan melakukan:

  1. Akan bertata bahasa halus ( kromo ) padanya (Mbah Syamsyiyah).
  2. Akan memenuhi semua permintaan Mbah Syamsyiyah selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Nazar Mbah Muhdlor untuk Mbah Syamsyiyah dilaksanakan sebagaimana mestinya sebagai bukti cintanya kepada Mbah Syamsyiyah. Bukan itu saja, saking cintanya kepada Mbah Syamsyiyah, tatkala keduanya sedang melakukan perjalanan dari Sidoarjo menuju Sarang, Mbah Muhdlor mempersilahkan istri tercintanya untuk menaiki kuda, sementanra dirinya yang menuntunnya dengan berjalan kaki.

 

Ketika ijab qabul sudah berlangsung, Mbah Syamsiyah yang statusnya sudah menjadi istrinya Mbah Muhdlor itu rajin puasa setahun penuh (dahrii) dan tidak mau dikumpuli terlebih dahulu sebelum Mbah Muhdlor bersama Mbah Syamsiyah pergi haji.

Ketika keduanya melakukan perjalanan ibadah haji, keduanya terdampar di tiga pulau karena kapalnya masih berupa kapal layar. Tiga pulau tersebut yaitu ;

  1. Pulau Mondoliko Jepara
  2. Pulau pinang (kepulauan Riau atau Malaysia)
  3. Singgapura

Ketika Mbah Muhdlor dan Mbah Syamsyiyah dianugrahi putra-putri oleh Allah, maka namanya itu disesuaiakan dengan peristiwa yang pernah dialami keduaya ketika berhaji. Yaitu sebagai berikut:

  1. Dinamakan Nyai Mondolika (garwane KH Basyar/Tuban yang nanti menurunkan kiai-kiai Makam Agung Tuban).
  2. Dinamakan Nyai Pinang yang disunting oleh Kiai Ghozali Sarang yang menurunkan kiai-kiai Sarang.
  3. Dinamakan Kiai Singgopuro (Kiai Misbah) yang kelak menurunkan Kiai-Kiai Sidoarjo termasuknya KH. Ali Masyhuri bin Mubin bin Dasuki bin Misbah (Singgopuro).

Selain dengan Mbah Syamsyiyah, Mbah Muhdlor juga menikah dengan perempuan lain. Sebab, tatkala itu Mbah Syamsyiyah tidak mau diajak hubungan suami istri karena masih tirakatan. Mbah Syamsyiyah lebih suka tirakatan dari pada memenuhi ajakan suaminya tadi. Dengan penuh hormat dan cintanya kepada Mbah Syamsyiyah, Mbah Muhdlor mempersilahkan istri tercintanya itu untuk bertaqarrab dengan Allah lewat tirakatannya tadi.

 

Pernikahan Mbah Muhdlor dengan istri keduanya ini, dikaruniai putri satu yang diberi nama Afiyah. Tujuan pemberian nama ini disebabkan agar anak tersebut selamat. Afiyah ini dinikahkan dengan Yusuf, sosok pemuda yang tampan. Keturunan Yusuf dan Afiyah ini kemudian hari dipondokkan di pesantren Sarang. Mereka kebanyakan nakal-nakal. Keturunannya ini menyebar di beberapa tempat. Ada yang di Pati, Juwono dan Sarang. Kebanyakan dari mereka adalah menjadi rakyat biasa.

 

Sejarah pesantren Sarang ini tidak bisa dilepaskan dari Mbah Muhdlor dan Mbah Syamsyiyah. Sebab, dari Riyadhohnya (tirakatannya) Mbah Syamsyiyah, Allah telah menjadikan pesantren Sarang ini menjadi berkah. Mulanya berdirinya pesantren Sarang ini dipelopori oleh Mbah Ghazali bin Lanah yang merupakan menantunya Mbah Syamsyiyah. Lambat laun pesantren Sarang ini ramai. Sebab, keturunan Mbah Ghazali bin Lanah lah yang meramaikan pesantren Sarang ini.

 

Pondok pesantren Sarang yang pertama kali berdiri adalah pondok MIS. Pondok MIS ini berdiri sebelum adanya pembangunan jalan Daendlels yang menghubungkan antara Banyuwangi dan Banten. Setiap jarak jalan ini apabila sudah mencapai 7 KM, maka akan ada pos. Pos-pos ini di waktu itu sebagai tempat peristirahatan bagi orang yang berjalan. Pos-pos itu sekarang sudah tidak ada lagi. Semuanya sudah dibongkar. Yang terakhir dibongkar adalah pos yang ada di Sarang. Kayu-kayunya di waktu itu digunakan untuk membangun kantor Koramil. Syaikhina Maimoen Zubair termasuk salah satu panitianya.

 

Terakhir, Syaikhina Maimoen berpesan agar kita mempertahankan pesantren. Pesantren ini merupakan nikmat Allah yang agung. Kenikamatan ini tidak akan hilang kecuali manusianya sendiri yang merubahnya. Allah berfirman:

 

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّراً نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

 

"(Siksaan) yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri[621], dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui." (QS. Al Anfaal : 53)

 

Sarang, 17 Februari 2013

Catatan: Artikel ini disarikan dari ceramah Syaikhina Maimoen Zubair Pada acara Haul MUS 2006.

Read More >>

Keseimbangan Beribadan dan Bekerja

يَا أَيُّهاا لَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9) فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10) وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (11

beribadah dan bekerja "Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan salat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhatbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki."(QS. Al-Jumuah : 9-11).

 

Hari Jumat merupakan hari besarnya umat Islam. Di hari itu, Allah mewajibkan hamba-Nya yang beriman untuk menjalankan ibadah salat Jumat. Mereka dianjurkan untuk bergegas menuju masjid untuk menjalankan ritual ibadah Jumat. Akan tetapi, janganlah tergesa-gesa. Kerjakanlah ibadah Jumat dengan tenang dengan mengaharap rida Allah Swt. Semakin jauh jarak seseorang dalam menempuh perjalanan menuju masjid, maka semakin besar pula pahala yang akan didapatkan dalam memperoleh keutamaan Jumat. Hal ini sesuai dengan usaha yang ia kerjakan. Biasanya orang yang datang menuju masjid itu disesuaikan dengan keadaannya.

 

Di dalam ritual Jumatan itu ada dua ibadah. Pertama berupa salat dan yang kedua berupa khutbah. Mulanya khutbah Jumat itu dikerjakan setelah mengerjakan salat Jumat. Akan tetapi, kemudian dipindah sebelum salat Jumat. Khutbah Jumat ini sebagai gantinya salat Jumat. Makanya ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa khutbah Jumat ini harus menggunakan bahasa Arab karena salat itu menggunakan bahasa Arab. Selain itu, khutbah Jumat ini hendaknya berisi ilmu agama bukan ilmu umum.

 

Khutbah Jumat itu juga bisa disebut dengan zikir karena mengandung banyak zikir. Terlebih ilmu yang terkandung di dalamnya. Karena ilmu itu sendiri merupakan zikir. Allah berfirman;

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ (43

 

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl : 43).

 

Salat juga bisa disebut dengan zikir. Bahkan salat adalah pokok dari pada zikir. Tidak seperti sebagian orang yang mengatakan bahwa untuk sampai kepada Allah harus melalui suatu Tarekat yang di dalamnya banyak bacaan zikir. Allah berfirman;

 

{ أَقِمِ الصلاة لِذِكْرِي } [ طه : 14 ]

 

"Dirikanlah salat untuk mengingat aku." (QS. Thaha : 14)

 

Tatkala salat Jumat sudah usai dikerjakan, seseorang boleh langsung bergegas menuju pekerjaannya lagi. Mereka tidak usah membaca wirid. Hal yang semacam ini bahkan bisa menjadi wajib bagi mereka yang membutuhkan, seperti para pekerja pabrik yang jadwalnya sudah diatur oleh majikannya. Jika mereka berzikir dikawatirkan akan ketinggalan dalam pekerjaannya. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai uzur. Akan tetapi, bagi yang tidak mempunyai uzur hendaknya mereka membaca zikir sebagaimana yang diajarkan oleh syariat Islam. Dan kalau bisa, mereka juga mengerjakan salat Qobliyah dan Ba’diyah.

 

Bekerja mencari rizki Allah yang beretebaran di muka bumi ini adalah suatu kuwajiban yang harus dijalankan bagi manusia. Islam menyuruh umatnya untuk mencari rizki Allah dan tidak boleh berpangku tangan dan duduk-duduk manis mengaharapkan rizki datang sendiri.

 

Seseorang harus mempunyai kesibukan yang ada manfaatnya. Jangan sampai menganggur. Sebab, pengangguran itu hanya akan menjadikan kerusakan. Kerusakan juga ditimbulkan oleh orang yang tidak mempunyai cita-cita yang luhur. Kedua permasalahan ini jika dibiarkan akan merusak tatanan negara yang sudah terbangun rapi.

 

Islam yang datang ke suatu daerah atau negara itu membawa suatu kemakmuran. Namun, Islam yang datang di negara Indonesia ini terutama pulau Jawa itu aneh. Kemakmuaran umat Islam belum dicapai sepenuhnya. Masih banyak orang yang tirakatan. Tirakat ini disebabkan karena penyebar agama Islam di Jawa juga tirakatan. Mereka bertirakat sebab harus mengahadapi orang Hindu-Budha yang ahli tirakat dan mempunyai ilmu yang sakti mandraguna. Dari keadaan ini, mengahruskan Wali Songo dan penyebar agama Islam di Jawa harus bertirakat. Seperti tirakatnya Nabi Musa As selama 40 hari.

 

Islam datang menyuruh umatnya untuk berzikir dan bekerja. Berzikir bertalian dengan masalah akhirat dan bekerja berhubungan dengan masalah dunia.

Jika ingin maju dalam masalah dunia, maka hendaknya dunia tadi dihiasi dengan hiburan dan permainan seperti peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah Saw. Peristiwa itu terjadi ketika Rasulullah Saw sedang membacakan khutbah Jumat di masjid Madinah. Pada saat itu, ada rombongan datang dengan membawa dagangannya yang diiringi dengan lahwunnya. Sehingga, para sahabat Nabi Muhammad Saw banyak yang keluar dari masjid untuk ikut mengerumuni rombongan dagang tadi. Semuanya keluar kecuali dua belas sahabat yang masih setia mendengarkan khutbah yang dibacakan oleh Rasulullah Saw.

 

Rayuan dunia memanglah seperti itu. Terkadang saking sulitnya mencari dunia, ada sebagian orang yang siang-malam waktunya hanya untuk bekerja mencari dunia. Padahal mereka masih saja kekurangan dalam urusan dunia. Berbeda dengan wali-wali Allah yang selalu berzikir mengingat Allah. Justru dunia telah mendatangi mereka. Secara Hakikat dunia itulah yang harus mendatangi kita, namun secara Syariat kita yang harus mencari dunia tersebut.

 

Rizki yang mendatangi kekasih-kekasih Allah yang didatangkan dari surga itu tidak membuat orang mengeluarkan kentut dan buang hajat. Hal ini berbeda dengan rizki yang diambil dari dunia. Rizki dari surga seperti yang telah diberikan Allah kepada Maryam binti Imran, Imam as-Syadzili dan Imam al-Ghazali.

 

Rizki Allah selalu ditebarkan di muka bumi ini. Semua makhluk mendapat rizki yang telah dijanjikan Allah. Hal ini tidak menafikan ikhtiyar manusia dalam mencari rizki. Terlebih orang yang bertaqwa yang rizkinya telah dicukupi Allah. Hewan saja mendapatakn rizki dari Allah, apalagi manusia tentunya lebih dari itu. Allah Swt berfirman;

 

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

 

"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya." (QS. Huud : 6).

 

Umat Islam harus mengulurkan tangannya untuk membantu rizki saudaranya yang masih kekurangan. Hal ini sejalan dengan apa yang telah diperintahkan Rasulullah Saw yang menyuruh sahabatnya yang kecukupan untuk membantu sahabatnya yang masih dalam kekurangan.

 

Sarang, 30 Desember 2012

Catatan : Artikel ini disarikan dari pengajian tafsir Syaikhina Maimoen Zubair pada 27 Mei 2012 dengan kajian Tafsir surat Al-Jumuah ayat 9-11.

Read More >>

KH. Maimoen Zubair Matahari Terbit di Perbatasan

KH. MAIMOEN ZUBAIR Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu'aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian.

 

Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.

 

Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.

 

Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.

 

Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara' yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahanda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa'id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.

 

Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi'I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu'in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.

 

Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.

 

Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.

 

Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu'aib.

 

Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid 'Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.

 

Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk "ngangsu kaweruh" yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Belaiau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama' besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlowi (mertua beliau), serta KH. Ma'shum, keduanya tinggal di Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma'shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori.

 

Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.

 

Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil "jadi orang" karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.

 

Tiada harapan lain, semoga Allah melindungi Beliau demi kemaslahatan kita bersama di dunia dan akhirat. Amin

 

Karangmagu sarang Rembang Perbatasan Jateng - Jatim
Read More >>

Kiai Dahlan Sarang Rembang

Beliau dilahirkan di desa Gondan Sarang tahun 1287 H. Ketika usia beranjak dewasa, beliau menuntut ilmu di Sarang, yaitu dengan belajar ilmu syariat Islam kapada ulama-ulama di Sarang, sehingga beliau mengetahui dasar-dasar agama Islam.

Setelah mengeyam ilmu di Sarang, beliau melakukan pengembaraan lagi untuk menambah wawasan tentang syariat agama Islam. Kota yang dituju beliau adalah kota Blora, tepatnya di pesantren Ngadipura yang diasuh oleh K. Hamzah. Di pesantren ini, beliau menetap beberapa tahun untuk belajar dan berkhidmah kepada K. Hamzah.

Dari pesantren K. Hamzah, beliau melanjutkan pembaraan lagi untuk menambah wawasannya menuju kota Semarang untuk belajar di suatu pesantren yang diasuh oleh K. Shaleh.

Dari pengembaraan beliau yang begitu panjang, akhirnya beliau kembali ke tempat kelahiran lagi, Sarang. Namun, di Sarang beliau tidak berhenti mencari ilmu. Tetapi tetap belajar, mendengarkan korekan ilmu dari ulama-ulma setempat, lebih-lebih kepada K. Umar bin Harun dan K. Murtadha.

K. Dahlan adalah sosok yang terkenal sebagai orang yang mempunyai pengetahuan agama yang dapat dijadikan pegangan, sehingga beliau menjadi sosok yang terkemuka. Beliau mencurahkan hidupnya untuk kemanfaatan dan hal yang benar. Beliau membidangi fan-fan ilmu. Di antara fan-fan yang beliau baca adalah Khulashah Ibnu Malik, Tasriiful Izzi, Minhajul Qowiim, Fatahal Mu’in dan lain-lain.

K. Dahlan membangun bahtera rumah tangga dengan meminang Putri K. Syu’aib, Ibu Nyai. Hasanah. Dari pernikahan ini, beliau dianugrahi Allah swt beberapa anak. Di antaranya yaitu :

  1. K. Zubair Dahlan
  2. Ibu Nyai. Aisyah (istri K. Husain)
  3. Ibu Nyai. Fatimah (istri K. Munawar)

Pada tahun 1325 H, beliau pergi ke tanah haramain untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah di makan baginda Nabi Muhammad saw. Beliau wafat tahun 1343 H dengan umur 56. Semoga Allah swt menempatkan beliau di tempat yang mulia disisi-Nya. Amiin.

catatan: artikel dikutip dari buku Syaikhuna wa Usratuhu

 

Read More >>

KH MUNTAHA AL-HAFIDH Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat

Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat

Kecintaan Allahuyarham Mbah Muntaha sapaan akrab KH. Muntaha Al-Hafizh Kalibebeber Wonosobo terhadap Al-Qur’an tak dapat diragukan lagi. Hampir seluruh usianya dihabiskan untuk menyebarkan dan menghidupkan Al-Qur’an.

Yang Paling monumental adalah gagasannya membuat mushaf Al-Qur’an Akbar (Al-Qur’an Raksasa) dengan tinggi 2 meter, lebar 3 meter dan berat 1 kuintal lebih. Sebuah karya mahaagung yang sempat dikala itu diusulkan masuk ke Guiness Book Of Record.

KH Muntaha al-Hafizh lahir di desa Kalibeber kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo dan wafat di RSU Tlogorejo Semarang, Rabu 29 Desember 2004 dalam usia 94 tahun. Ada beberapa keterangan berbeda tentang kapan tepatnya Mbah Muntaha Lahir.

Pertama, ada yang mengatakan Kiai Muntaha lahir pada tahun 1908. Kedua, ada pula yang menyatakan bahwa Kiai Muntaha lahir pada tahun 1912. Hal ini didasarkan pada dokumentasi pada KTP / Paspor dan surat-surat keterangan lainnya, Mbah Muntaha lahir pada tanggal 9 Juli 1912.

Ayahanda Kiai Muntaha adalah putra ketiga dari pasangan KH. Asy’ari dan Ny. Safinah. Sebelum Kiai Muntaha, telah lahir dua kakaknya, yakni Mustaqim dan Murtadho.

Sejak kecil hingga dewasa, Kiai Muntaha menimba banyak ilmu dari sejumlah Kiai Pesantren. Sebelum itu, Kiai Muntaha mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya, KH. Asy’ari dan Ny. Safinah.

Lahir dalam keluarga Pesantren, Kiai Muntaha banyak memperoleh didikan berharga dari Ayah dan Ibundanya seperti membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keislaman. Kedua orang tuanya memang dikenal sangat telaten dan sabar dalam mendidikan putra-putrinya.


Selanjutnya dari Kalibeber, Kiai Muntaha memulai perjalanan menuntut ilmunya ke berbagai Pesantren di tanah air. Kiai Muntaha sebagaimana umunya santri dizaman itu berkenala untuk mencari ilmu dari Pesantren ke Pesantren berikutnya.

Ada satu hal sangat menarik berkaitdan dengan proses pencarian ilmu Kiai Muntaha saat masih muda. Ketika Kiai Muntaha berangkat menuntut ilmu ke Pesantren Kaliwungu, Pesantren Krapyak, dan Pesantren Termas, ia selalu menempuh perjalanan dengan cara berjalan kaki. Melakukan riyadhah demi mencari ilmu semacam itu dilakukan Kiai Muntaha dengan niatan ikhlas demi memperoleh keberkahan ilmu.

Di setiap melakukan perjalanan menuju Pesantren, Kiai Mutaha selalu memanfaatkan waktu sambil mengkhatamkan Al-Qur’an saat beristirahat untuk melepas lelah. Kisah ini menunjukkan kemauan keras dan motivasi spiritual yang tinggi yang dimiliki Kiai Muntaha dalam mencari ilmu.

Setelah berkenalan dari berbagai Pesantren, Kiai Muntaha kembali ke Kalibeber pada tahun 1950. Ia kemudian meneruskan kepemimpinan ayahnya dalam mengembangkan Al- Asy’ariyyah di desa kelahirannya, Kalibeber, Wonosobo.Di bawah kepemimpinan Mbah Muntaha inilah, Al-Asy’ariyyah berkembang pesat. Berbagai kemajuan signifikan terjadi masa ini.

Dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, KH. Muntaha adalah pribadi yang bersahaja. Mbah Muntaha sangat sayang kepada keluarga, santri dan juga para tetangga, serta masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.


Pecinta Al-Qur’an Sepanjang Hayat
Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an sebenarnya berawal dari kecintaan ayahandanya , Kiai Asy’ari terhadap Al-Qur’an. Dalam usia relatif muda yakni 16 tahun, Kiai Muntaha telah menjadi hafizh Al-Qur’an.

Hampir seluruh hidup Mbah Muntaha didedikasikan untuk mengamalkan dan mengajarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada para santrinya dan juga pada masyarakat umumnya.

Dalam kesehariannya, Mbah Muntaha selalu mengajar para santri yang menghafalkan Al-Qur’an. Para santri selalu tertib dan teratur satu per satu memberikan setoran hafalan kepada Kiai Muntaha. Mbah Muntaha selalu berjuang untuk menanamkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada santri-santrinya.

Sepanjang hidup Mbah Muntaha, Al Qur’an senantiasa menjadi pegangan utama dalam mengambil berbagai keputusan, sekaligus menjadi media bermunajat kepada Allah Swt. Mbah Muntaha tidak pernah mengisi waktu luang kecuali dengan Al-Qur’an.

Sering Kiai Muntaha mebaca wirid atau membaca ulang hafalan Al-Qur’an di pagi hari seraya berjemur. Menurutnya, wirid dan dzikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Itulah sebabnya, Kiai Muntaha menasehati para santri untuk mengkhatamkan Al-Qur’an paling tidak seminggu sekali.

Kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an juga diwujudkan melalui pengkajian tafsir Al-Qur’an, dengan menulis tafsir maudhu’i atau tafsir tematik yang dikerjakan oleh sebuah tima yang diberi nama Tima Sembilan yang terdiri dari sembilan orang ustadz di Pesantren Al-Asy’ariyyah dan para dosen di Institut Ilmu Al-Qur’an (sekarang UNSIQ) Wonosobo. Gagasan Kiai Muntaha tentang penulisan tafsir ini mengandurng maksud untuk menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an kepada masyarakat luas.


Dan puncak realisasi kecintaan Kiai Muntaha terhadap Al-Qur’an ditunjukkan dengan perealisasian idenya tentang penulisan Al-Qur’an dalam ukuran raksasa yang sering disebut dengan Al-Qur’an akbar utuh 30 juz.

Al-Qur’an akbar itu ditulis oleh dua santri Al-Asy’ariyyah yang juga mahasiswa IIQ yaitu H. Hayatuddin dari Grobogan dan H. Abdul Malik dari Yogyakarta. Ketika penulisan Al-Qur’an akbar yang kertasnya merupakan bantuan dari Menteri Penerangan (H. Harmoko di kala itu) itu selesai, Al-Qur’an itu pun diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia di istana negara.

Mungkin Kiai Muntaha melihat banyak orang Islam telah meninggalkan Al-Qur’an, atau bahkan sama sekali tidak mau membaca Al-Qur’an, sehingga Mbah Muntaha tidak henti-hentinya menasehati anggota Hufadz wa Dirasatal Qur’an (YJHQ) untuk terus memasyarakatkan Al-Qur’an. Dakwah serupa juga selalu Mbah Muntaha sampaikan saat Beliau berkunjung ke berbagai belahan dunia seperti Turki, Yordania, Mesir dan lain sebagainya.


Dari hal-hal yang sudah disebutkan, menjadi jelas bahwa sosok dan pribadi Kiai Muntaha al-Hafidz adalah sosok sosok yang sangat mencintai Al-Qur’an secara fisik maupu nbatin. Seluruh hidupnya diperuntukkan untuk berdakwah menyebarkan nilai-nilai Al-Qur’an ke masyarakat.
Read More >>

KH. ABDUL GHOFUR MAIMOEN

       Gus Ghofur, demikian Putra kelima KH. Maimoen Zubair dari istri kedua, Ibu Nyai HJ Masthi'ah, biasa dipanggil. Pemilik nama lengkap Abdul Ghofur ini dikenal bandel semasa kecilnya. Tidak seperti kakak-kakaknya, Ghofur kecil terhitung sering bermain seperti layaknya anak-anak di kampung nelayan. Namun, sebagai putra Ulama, sifat-sifat kesalehan yang ditanamkan orang tuanya, membuat ia berbeda dari anak kampung sebayanya.

Pendidikan dasar hingga menengah dituntaskannya di Madrasah Ghazaliyah Syafi'iyyah Sarang Rembang. Semasa belajar di Ghozaliyah, putra Mbah Moen yang sudah dikenal cerdas dan kritis sejak belia ini banyak meraih prestasi.

Usai menyelesaikan pendidikan di MGS tahun 1992, Pada 1993 beliau melanjutkan studinya di Al-Azhar University Cairo. Ini merupakan hal baru dalam tradisi pendidikan putra-putri Mbah Moen. Di Cairo kecerdasannya kembali menorehkan prestai mengkilap. Selama empat tahun menyelesaikan program S1 Usuhuludin jurusan Tafsir di Al-Azhar. Keberhasilan itu tidak lepas dari ketekunan dan kesabaran beliau selama belajar di Cairo.

Setelah melalui perjuangan yang melelahkan, pada 2002 gelar Magister berhasil diraihnya. Dikatakan melelahkan karena untuk mencapi gelar itu Gus Ghofur harus menulis tesis setebal 700 halaman dan harus mencantumkan banyak maraji'. Padahal tradisi menulis baru ia tekuni sejak tahun keempatnya di Cairo.Gus Ghofur mengakhiri masa lajangnya pada tahun 2003. Gadis yang beruntung dipersuntingnya adalah Nadia, putri KH.Jirijis bin Ali Ma'shum Karpyak Yogyakarta. Dari perkawinannya beliau telah dikaruniai seorang putra bernama Nabil.
 

Bukti keseriusan beliau dalam menggeluti bidang tafsir adalah pencapaian gelar doktoral yang diraih pada tahun 2010. Setelah menyelesaikan study Doktoralnya Beliaupun kembali ke Tanah Air  dan langsung aktif mengajar di LP.Muhadloroh dan mengajar fan Tarikh kitab Fiqhus Shiroh karya Syekh DR. M. Said Romdlon Al-Buthy.
Read More >>

KH. SYU'AIB BIN ABDURROZAQ

KH Syu'aib

Kakek –dari ibu- KH. Zubair dan menantu KH. Ghozali (pendiri PP Sarang pertama kali) ini lahir pada tahun 1263 H. 

Semula beliau belajar pada KH. Ghozali Sarang kemudian ketika beliau berumur 20 tahun, beliau pergi ke Kajen Pati untuk mulazamah kepada K. Murtadlo, seorang ulama' sufi yang terkenal denan ilmu ketuhanannya. Dari guru ini beliau belajar ilmu Tauhid, Fiqh dan ilmu-ilmu ketuhanan lain. Lebih-lebih talqinyddzikri dan titian jalan menuju kewalian. Disamping itu beliau juga belajar al Qur'an secara talaqi. 

Setelah sekian lama di Kajen dan beliau telah berhasil menjadi seorang yang ahli didalam ilmu ketuhanan hingga melampaui teman-temannya, beliau kembali ke Sarang dan muncullah beliau sebagai seorang yang zuhud, sampai-sampai beliau mengatakan: "saya mentholak dunia dengan tiga thokan". Hal ini ketika umur beliau menginjak umur 60 tahun. 

Beliau seorang yang sangat mencintai para ulama' danorang-orang shlih sehingga ketika umur beliau sudah lanjut, beliau mengajak para masyayekh Sarang untuk tetap istifadah disamping mengajar para santri. Oleh karena itu, maka beliau memohon kepada KH. Murtadlo Sarang untuk membaca kitab Ihya' Ulumuddin lil Ghozaly dan bersama-sama para masyayekh Sarang beliau mengaji hingga KH. Murtadlo wafat. 

Pada bulan Sya'ban 1358 H, beliau wafat dan meninggalkan putra-putri yang menjadi penerus perjuangan beliau.

Read More >>

KH. ZUBAIR DAHLAN

KH ZUBAIR DAHLAN

Adalah putra kedua dari Kyai Dahlan yang dihalhirkan di Sarang tahun 1323 H. bertepatan dengan mukimnya KH. Ahmad bin Syu'aib (paman dan mertua beliau) di Makkah semasa muda guna tholabul ilmi. 

Diawah bimbingan orang tua dan kakeknya serta masyayikh Sarang kala itu, beliau tumbuh menjadi anak yang sangat cerdas. Terbukti sejak usia 6 tahun cucu KH. Syuiab ini sudah bisa membaca al Qur'an dengan tajwid, sehigga belaiu sangat disayangi oleh kakek dan kerabat-kerabatnya. 

Ketika berusia 17 tahun besama dengankakek dan neneknya beliau berangkat ke Makkah guna menimba ilmu kepada ulama-ulama' disana bersama dengan pamannya yaitu KH. Imam Kholil. Diantara masyayikh beliau adalah syeikh Baqir al Jogjawi, syeikh Sa'id al Yamany dan putranya yaitu syeikh Hasan al Yamany yang menjuluki beliau dengan Zubair al Kufy, karena ketika beliau disuruh mengi'rob lafadh: مررت بزيد وضرب زيد عمرا beliau menjawab: مررت فعل ماض مبنى على السكون والتاء ضمير مبني على الضم فاعله ....الخ maka beliau ditegur oleh guru beliau: أنت من أهل الكوفة والكوفي لايوفى: دع عليه الكوفيون فإنهم اهتموا بدماء البعوضة وأهملوا دم الحسين . 

Setelah bermukim di Makkah selama tiga tahun,bersama pamannya (K.H Imam Kholil) beliau kembali ke sarang, dan kemudian melanjutkan study kepada syaikh Faqi bin Abdul jabber maskumambang. Dari gurunya ini beliau belajar tafsir, Jam'ul Jawami', syarah Ummul barohin, dan mendapatkan kitab sanad yang berjudul "kifayatul mustafid", karangan syeikh mahfudz teremas. 

Pada tahun 1371 H ayahanda KH. Maimoen Zubair ini berangkat lagi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Waktu yang sangat singkat ini, beliau gunakan untuk belajar kepada ulama' ulama' disana, diantaranya yaitu sayyid Alawi al Maliky dan syeikh Yasin al Fadany yang memberikan ijazah pada beliau dengan ijazah yang tammah. 

Beliau mempunyai beberapa karangan diantaranya: Kitabul manasik fil hajji, al Qowa'id al Lu'luiyyah nadhom risalah as Samarqondiyyah, nadhom Rumuzul Fuqoha' dan beberapa sya'ir tentang adab dan hisab. 

Selama kiprah beliau pondok pesantren Sarang yang semula hanya satu berkembang menjadi dua, yaitu MIS dan MUS, dan dari ulama' yang menyukai dluafa' serta orang-orang miskin ini lahirlah ulama'-ulama' besar, diantaranya KH. Mushlih Mranggen, KH. Sahal Mahfudz Kajen dll. 

Dan akhirnya orang alim yang agung ini berpulang kerahmatullah pada malam selasa 15 Romadlon 1389 H. Beliau termasuk ulama' Sarang yang hidup dan wafat dalam keadaan faqir.

Read More >>

SAYYID ALAWY BIN ABBAS AL MALIKY

Beliau adalah ayahanda sayyid Muhammad al Maliky dan salah seorang guru KH. Maimoen Zubair yang lahir di Makkah pada tahun 1327 H. beliau tumbuh dibawah asuhan orang tuanya dan kemudian belajar pada pamannya, yaitu sayyid Hasan al Maliky di Darus Sayyidah Khodijah al Kubro (sekarang jadi madrasatul Huffadz) disini beliau hafal al Qur'an dalam usia sepuluh tahun. 

Kemudian oleh orang tuanya, beliau dimasukkan ke madrasah al Falah di bawah asuhan ulama'-ulama' besar masjid al Harom, diantara syeikh Umar Hamdan, syeikh Muhammad al Aroby, syeikh Abdullah Hamduh, syeikh Ahmad Nadzirin dan lain-lain. Beliau lulus dari madrasah pada tahun 1346. 

Adalah sayyid Abbas, seorang ayah yang selallu membei support, motivasi dan perhatian yang besar atas study putranya yang sangat diharapkan untuk menjadi orang besar dan ulama' agung. Beliau mengatakan " prestise seseorang adalah ilmu dan bermanfaatnya dia bagi orang lain". Maka masuklah sayyid Alawi pada barisan pelajar-pelajar di masjid al Harom. Dan akhirnya pada tahun 1348 H. tercapailah obsesi sang ayah dengan diangkatnya beliau menjadi guru di Madrasah al Falah dan masjid al Harom. 

Disamping mengajar oleh sang ayah beliau dimohoon untuk membuka pengajian untuk khalayak umum. Dan ternyata itu sangat diminati oleh masyarakat, sehingga yang hadir lebih dari seribu orang. 

Dari beliau muncullah ulama'-ulama' besar yang tersebar diberbagai penjuru dunia, lebih-lebih di Indonesia yang pada waktu itu masih dibawah cengkraman kolonial Belanda. 

Dalam mengajar ulama' yang mempunyai himmah yang luar biasa ini menggunakan metode yang unik yan gbelum pernah digunakan oleh ulama' –ulama' sebelumnya, yaitu menggunakan papan tulis untuk menguraikan pelajaran dan dengan memberi latihan-latihan pada murid-muridnya. Dna dengan pengajian untuk umum beliau bagaikan sebuah lentera, menunjukkan dan menerangi jalan serta melembutkan hati yang keras. Sehingga, sering kali terdengar beliau menangis, membaca tahlil, tahmid dan ta'awwudz ditengah-tengah ceramah beliau. 

Beliau meninggalkan beberapa karangan diantaranya: Faidul Khobir Hasyiah Nuhjatu at taisir (pelajaran tinggkat V MHD). Ibanatul Ahkam syarh Bulughul Marom (pelajaran tingkat V MHD).

Read More >>

SYEIKH MUHAMMAD YASIN BIN ISA AL FADANY

Syeikh Yasin

Beliau adalah seorang ulama' besar yang merupakan salah satu guru KH. Maimoen Zubair yang lahir di Makkah pada 27 Sya'ban 1337 H, menurut satu riwayat pada 1335 H> 

Sejak kecil beliau belajar pada orang tuanya lalu dilanjutkan pada pamannya yaitu syeikh Mahmud al Fadany. Pada tahun 1346 H, beliau masuk ke madrasah ash Sholatiah dan lulus pada 1356 H. setelah itu melanjutkan ke madrasah Darul Ulum disamping juga mengajar di Masjid al Harom. 

Seorang ulama' yang dijuluki "musniduddunya" -karena hampir semua ulama' besar disegala penjuru dunia mendapat ijazah dan sanad dari beliau- ini mempunyai guru yang sangat banyak hingga mencapai 700, baik laki-laki maupun perempuan. Diantara guru beliau adalah syeikh Umar Harridan al Mahrusy (seorang muhaddits yang juga merupakan salah satu guru dari sayyid 'Alawi), Sayyid Muhsin al Musawy (pengarang Nahju at taisir syarah dari nadzom ilmu Tafsir pelajaran tingkat V MHD), sayyid Alawi al Maliky (pengarang kitab Ibanatul Ahkam syarh Bulughul Marom dan Faid al Khobir Hasyiah Nahju at Taisir keduanya pelajaran tingkat IV dan V MHD). Syeikh Hasan Masysyath (pengarang syarh Baiquni pelajaran tingkat V MHD), syeikh Sa'id al Yamany dan putranya syeikh Hasan Yamany keduanya juga merupakan guru dari KH. Zubair Dahlan. Bertendensi pada hadits: 
Syeikh Yasin

طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة 

Beliau berpandangan bahwa belajar dan mengajar kaum wanita hukumnya wajib, maka dari itu, setelah sekian lama beliau cita-citakan, akhirnya beliau mendirikan madrasah Ibtida'iyah lil Banat dan kemudian pada bulan Robi'uttsani 1337 H beliau mendirikan ma'had lil Mua'llimat sebagai kelanjutannya. 

Sebagai bukti kealiman beliau, beliau meninggalkan banyak sekali karangan yang diantaran : Hasyiyah Nuhjah at taisir (pelajaran tinggkat V MHD), al Fawaidul Janiyah (pelajaran tingkat IV MHD), Husnus Shiyaghoh (pelajaran tingkat IV MHD). 

Dan akhirnya dunia harus rela kehilangan beliau, dengan wafatnya beliau pada malam jum'at 28 Dzul Hijjah 1410 H, dan di sholati setelah jum'at dan kemudian dimakamkan di Ma'la.

Read More >>

Biografi KH. Zubair Dahlan

Kehidupan Semasa Kecil
K.H. Zubair Dahlan dilahirkan pada tahun 1323H di daerah pesisir pantai, tepatnya, di Desa Karangmangu, Sarang Rembang. Suatu daerah yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Beliau adalah putra ke-2 dari Kyai Dahlan dan Ibu Nyai Hasanah. Pada masa kecilnya, beliau tumbuh dan berkembang keilmuwannya di bawah bimbingan ayahandanya. Dalam permasalahan ta'alum (pendidikan), beliau belajar membaca Al-Qur'an dan ilmu-ilmu dasar agama Islam langsung di bawah pantauan kakek beliau, Kyai Syua'ib yang sudah masyhur dengan ke'alimannya. Sehingga pada umur yang relatif sangat muda (6 tahun), beliau sudah dapat membaca Al-Qur'an dengan baik disertai dengan tajwid-tajwidnya. Sejak kecil beliau terkenal dengan kecerdasannya, serta memiliki himmah yang kuat untuk mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama. Dalam bimbingan kakeknya, beliau dapat mempelajari bermacam-macam cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Adapun dalam bidang sastra dan gramatika Arab, beliau dibimbing langsung oleh ayahandanya. Dalam bidang ilmu fiqih beliau menghatamkan kitab Taqrib dari paman beliau, Kyai Ahmad bin Syua'ib. Sedangkan kitab Fathul Wahab beliau mengaji di bawah bimbimgan Kyai Fathur Rohman bin Kyai Ghozali.

Rihlah K.H. Zubair Dahlan dalam Mendalami Ilmu Agama
Kehausan beliau dalam mendalami pengetahuan ilmu agama tidak cukup hanya di daerah kelahiran saja. Bertepatan pada usia ke-17 beliau pergi ke Makkah Al- Mukarromah bersama dengan kakek dan neneknya, Kyai Syua'ib beserta istri. Beliau tinggal di sana selama tiga tahun bersama pamannya, Kyai Imam Kholil. Dalam kesempatan ini, beliau menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari para ulama' Al-Harom As-Syarif. Diantaranya, Kyai Baqir Al-Jokjawy (Yogyakarta). Dari Kyai Baqir ini, beliau mendalami ilmu-ilmu Hadis, Tafsir Jalaalain, Sarah Imam Al-Mahally dan lain-lain. Dan dari Syekh Al 'Alamah Hasan Al-Yamany, putra Syekh Sa'id Al-Yamany, beliau mempelajari ilmu gramatika Arab, misalnya, Syarah Matan Al-Jurumiyyah, Syarah Al 'Alamah Kafrawi dan lain sebagainya. Sehingga pada suatu ketika beliau pernah disuruh gurunya untuk mengi'robi suatu lafaldz مررت بزيد ,ضرب زيد عمرا beliau berkata, "Marortu fi'il madli mabni sukun, ta' merupakan dlomir yang mabni dlomah yang statusnya menjadi fa'il dari مرّ . Dari kejadian itulah beliau diberi julukan oleh gurunya dengan julukan "Zubair Al- Kuffy".

Selang beberapa waktu berlalu, beliau kembali ke tanah Jawa bersama sang paman, Kyai Imam Kholil. Namun, pendalaman ilmu agamanya tidak cukup hanya sampai di situ saja. Meskipun sudah belajar di Makkah, beliau masih melanjutkan berguru kepada Syekh Al 'Alamah Kyai Faqih bin Abdul Jabbar Maskumambang. Di bawah bimbingan Kyai Faqih, beliau mempelajari berbagai bidang ilmu, diantaranya, kitab Tafsir, Jam'ul Jawami', Syarah Ummul Barahin (bidang aqidah). Pada kesempatan ini, beliau mendapatkan ijazah dari gurunya ini, yang termaktub dalam suatu kumpulan, yang diberi nama "Kifayatul Mustafid". Di sini dicatat sanad-sanad Kyai Zubair dari jalur Syaikh Muhammad Mahfud bin Abdullah At Turmusy.

Pada tahun 1371H, beliau berangkat ke Makkah Al-Mukarromah lagi bersama para jamaah haji dari Indonesia untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima. Pada waktu ini, beliau bertemu dengan seorang yang 'alim, yang mulia Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliky. Dalam kesempatan ini beliau mengikuti majlisul ilmi yang diasuh Sayyid Alawy, yang bertempat di Babussalam (pintu yang berada di tempat sa'i). Beliau sangat kagum dengan apa yang disampaikan oleh Sayyid Alawy, karena penyampain Sang Sayyid disampaikan dengan bahasa yang fushah (ejaan yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab) dan ta'bir-ta'bir yang bagus. Dan pada waktu haji itu juga, beliau bertemu dengan seorang yang 'alim dari Indonesia yang telah menetap di Makkah, Syeikh Al 'Alamah Ustadz Yasin Bin Isa Al Fadany. Di sela-sela pertemuan yang singkat itu, beliau di ijazahi oleh Syaikh Yasin seluruh kitab yang telah beliau pelajari (Ijazah Muthlaq).

Kepribadian, Husnul Huluq Dalam Berprilaku
K.H. Zubair merupakan salah satu figur yang patut sebagai teladan kita semua, khususnya para santri. Di antara sekian banyak sifat-sifat beliau, ada beberapa yang menonjol, yaitu ketekunan dalam memperdalam pengetahuan agama, sifat lemah lembut dan mengasihi orang yang lemah dan orang-orang fakir. Selain itu, beliau juga sangat senang dengan santri, berpegang teguh dengan sunah-sunah dan sejarah-sejarah ulama' salafus sholih. Beliau juga sosok yang sangat menjauhi bid'ah-bid'ah yang melenceng dengan ajaran-ajaran syari'at Islam. Walaupun dengan kebencian ini, beliau akan mendapat gunjingan maupun celaan dari orang yang tidak menyukai apa yang dilakukan.

Setelah perjalanan panjang dalam pencarian pengetahuan agama ke berbagai daerah. Bertepatan dengan umur 23 tahun, beliau mulai ikut berpartisipasi mengajar di Pon-pes di daerah kelahirannya (Sarang). Santri-santri di sana sangat antusias ingin belajar kepadanya, dengan bukti pada waktu mengajar, tempat pengajian selalu penuh. Beliau mengaji meliputi kitab-kitab yang kecil, seperti Matan Taqrib, Jurumiyyah, Aqidatul Awam. Dan juga ada kitab-kitab yang besar seperti Jamiul Jawami', Tafsir Baidlowi, beserta kitab-kitab karya Imam Al-Mahalli.

Seluruh umur K.H. Zubair dicurahkan semuanya untuk mengajar ilmu-ilmu agama Islam. Dalam rutinitas tiap bulan Romadlon, beliau mbalah (membaca) Tafsir Jalalain. Prilaku ini merupakan kebiasaan tiap tahun. Menginjak umur yang makin sepuh (60 tahun), beliau lebih banyak membaca kitab-kitab di bidang tasawuf seperti kitab Minhajul 'Abidin, Kitab Hikam, dan Kitab Ihya' Ulumuddin yang menemani dan mengiringinya sampai beliau wafat.
Keluarga K.H. Zubair Dahlan
Pada usia 24 tahun, beliau menikah dengan putri sang paman (dari ibu), Mahmudah binti Kyai Ahmad bin Syua'ib. Dari pernikahan itu, beliau dikaruniai oleh Allah lima putra dan putri. Tapi, semuanya meninggal pada waktu masih kecil, kecuali satu yang masih hidup sampai sekarang, yaitu Syaikh K.H. Maimoen Zubair. Selang berapa tahun kemudian istri beliau meninggal. Tepatnya pada bulan Jumadil Akhir tahun 1358 H. Kemudian beliau menikah lagi dengan Aisyah binti Kyai Abdul Hadi dari keluarga Burna. Pada pernikahan kedua ini, beliau di karuniai lima putri, Halimah, Sai'dah, 'Afifah, Sholihah, Salamah, dan satu putra, yaitu K.H. Ma'ruf Zubair.

Karya-Karya K.H. Zubair Dahlan
Dalam kesibukannya setiap hari, KH. Zubair masih menyempatkan diri untuk mengarang beberapa kitab. Diantaranya, Kitab Manasik Haji, Nadlom Risalah As Samarqondiyah yang diberi nama Al-Qolaid Fi Tahqiqi Ma'na Isti'aroh, dan beberapa Nadloman mengenai Rumus-Rumus Fuqoha'. Beliau juga membuat beberapa Sya'ir mengenai etika, hisab dan lain sebagainya. Misalnya sya'ir dalam hal kesabaran dalam urusan rizqi:
لاَ تَعْجَلَنَّ فَلَيْسَ الرِّزْقُ بِالْعَجَلِ * اَلرِّزْقُ يَأْتِيْ بِلَا رَيْبٍ مَعَ الْأَجَلِ

فَلَوْ صَبَرْتُمْ لَكَانَ الرِّزْقُ يَأْتِيْكُمْ * لَكِنَّهُ خُلِقَ الْإِنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ
Artinya;
Janganlah kalian tergesa-gesa tentang urusan rizqi, Karena rizki tidak datang dengan tergesa-gesa tanpa keraguan.
Apabila kalian bersabar, niscaya rizqi akan mendatangi kalian. Tetapi manusia diciptakan dengan (bertabiat) tergesa-gesa. 

Pulang Ke Rahmatullah
Seperti keseharian yang dijalankan, yaitu mengajar ilmu-ilmu agama. Sehingga bertepatan dengan bulan Sya'ban, atas permintaan sebagaian santri, beliau meneruskan pembacaan kitab Ihya 'Ulumuddin juz ke-4. Kitab ini Alhamdulillah beliau khatamkan pada permulaan sepuluh hari terakhir pada bulan Sya'ban (21 sya'ban). Kemudian pada bulan Ramadlon, seperti rutinitas tiap bulan Ramadhan sebelumnya, beliau mbalah (membaca) kitab Tafsir Jalalain. Dan ini merupakan kitab terakhir yang dibaca sebelum wafat. Tiba-tiba pada tanggal 10 Romadlon beliau mengalami sakit panas. Sakit ini, makin lama semakin bertambah hingga akhir hayatnya. Ini bertepatan dengan terbenamnya sang surya pada malam Selasa setelah maghrib hari ke-15 bulan Ramadlon tahun 1389H, beliau wafat pada umur yang ke-65, hidup dengan sederhana dan meninggal dalam kesedarhanaan pula
(يعيش فقيرا ويموت فقيرا)
Semoga K.H. Zubair Dahlan mendapat rahmat dari Allah dan di tempatkan di surga Al-firdaus. Amin ya robbal 'alamin.
Read More >>

Biografi KH. Maimoen Zubair

Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu'aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian.

Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.

Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.

Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.

Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara' yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa'id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.

Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi'I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu'in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.

Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.

Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.

Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu'aib.

Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid 'Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.

Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk "ngangsu kaweruh" yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Belaiau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama' besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlowi (mertua beliau), serta KH. Ma'shum, keduanya tinggal di Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma'shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori.

Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.

Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil "jadi orang" karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.

Tiada harapan lain, semoga Allah melindungi Beliau demi kemaslahatan kita bersama di dunia dan akherat. Amin.
Read More >>