Showing posts with label News. Show all posts
Showing posts with label News. Show all posts

KAIDAH HUKUM ADAT ACUAN DALAM MENJAWAB PROBLEMATIKA MODERN BAG 2

III. SYARAT SYARAT KEABSAHAN ADAT.

Tidak semua adat dapat dijadikan dasar pencetusan suatu hukum tapi harus memenuhi syarat syarat yang telah ditentukan. Diantaranya:

1. Muththorid atau gholib, yakni adat tersebut berlaku secara menyeluruh, berkesinambungan dalam suatu kalangan atau berlaku dalam mayoritas kalangan tersebut. Karena dengan begitu adat akan berpengaruh pada kejiwaan dan akan menjadi ketetapan. Adat seperti ini, baik berupa aktivitas atau istilah, merupakan sebuah qorinah untuk mengekpresikan apa yang mereka kehendaki. Oleh karena itu, ketika berlakunya suatu adat masih berimbang, maka tidak sah untuk dijadikan rujukan. Standar kemasyhuran suatu adat bisa ditentukan dengan melihat praktek yang ada di masyarakat dan bukan karena praktek tersebut biasa di gunakan dalam kitab-kitab fiqh[1], seperti yang diungkapkan oleh Al-Qarafi dalam Al-Ahkam: “seorang mufti tidak bisa menentukan bahwa suatu adat bisa dikatakan masyhur hanya karena keyakinan yang ia peroleh dengan sering membaca, mempelajari atau mendiskusikan isi kitab-kitab mazdhab, akan tetapi kemasyhuran diukur menurut praktek yang ada pada masyarakat setempat”.

2. Tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara' (hukumnya) dan jika bertentangan maka gugur keabsahan adat tersebut. Misalnya; kebiasaan zaman sekarang membuka sebagian aurat dengan tujuan mengikuti trend, walaupun kadang-kadang tidak sampai menimbulkan syahwat, karena terlalu banyak yang melakukannya, sehingga menjadi hal yang wajar. Realitas semacam ini jelas sekali berseberangan dengan hukum syariat sehingga tidak dapat mempengaruhi hukum keharamannya. Lain halnya pertentangan dalam penggunaan istilah saja, seperti lafadz lahm (daging), di dalam Al-Qur’an ikan pun termasuk kategori lafadz tersebut namun di kalangan masyarakat ikan tidak dikatakan daging, sehingga bila ada seseorang bersumpah untuk tidak memakan daging, ia tidak dianggap melanggar sumpahnya dengan memakan ikan karena memandang penggunaan istilah yang berlaku di masyarakat.

3. Adat yang bisa dijadikan rujukan suatu permasalahan harus sudah ada sebelumnya dan bukan adat yang muncul setelah permasalahan tersebut, seperti dituturkan oleh Ibnu Najm dalam kitab Al-Asybah. Contohnya, seseorang mewakafkan tanahnya kepada para ulama’ daerah A, adat yang berlaku pada waktu tersebut, ketika menyebut kata ulama akan mencakup semua orang alim, baik pengasuh pesantren atau bukan. Kemudian, timbul kebiasaan baru ketika menyebut kata ulama, harus orang alim yang mengasuh pesantren. Dalam hal ini, wakaf tanah tersebut tetap seperti adat awal yang sudah berlaku sewaktu permasalahan tersebut terjadi dan tidak terpengaruh dengan timbulnya adat yang baru.

4. Harus bersifat mengikat. Syarat ini tidak berlaku dalam semua adat, akan tetapi hanya terbatas pada adat yang menyangkut hak-hak orang lain. Dalam Al-Bahr Ibn Najim mengungkapkan, “ketika seseorang memberikan nafkah kepada wanita yang masih menyandang ‘iddah dari orang lain dengan maksud supaya ia mau menjadi istrinya, maka menurut qaul mu’tamad, kalau berhasil memperistri wanita tersebut, dia tidak diperkenankan meminta kembali apa yang telah diberikan. Sebaliknya kalau gagal, dia berhak memintanya kembali, seperti yang dikatakan Al-‘Amidy dalam kitab fusul-nya”. Hal tersebut, seperti dikatakan para ulama, disebabkan penyerahan nafkah semacam ini, menurut adat, merupakan pemberian dengan syarat adanya pernikahan diantara mereka, dan ketika maksudnya ini tidak tercapai maka ia berhak mendapatkan kembali apa yang telah ia berikan. Sedangkan adat yang tidak bersifat mengikat, maka tidak bisa dijadikan ukuran dalam mu’amalah atau dibuat sandaran untuk menetapkan suatu hak. Misalnya, pemberian kepada para tetangga pada acara tertentu, sehingga ketika ada satu tetangga yang tidak mendapat bagian ia tidak boleh menuntut haknya.


5. Harus tidak terdapat ucapan atau perbuatan lain yang bertentangan dengan adat tersebut. Syarat ini khusus berlaku pada adat yang dapat mengganti pernyataan. Ali Haidar berkata dalam syarah al-majalah: “urf atau adat bisa dijadikan hujjah jika tidak bertentangan dengan nash atau syarat dari dua orang yang melakukan transaksi. Misalnya, seseorang disewa untuk bekerja mulai dluhur sampai ashar saja dengan upah yang telah ditentukan, dalam praktek ini si penyewa tidak boleh memaksa orang tersebut untuk bekerja mulai pagi sampai sore dengan dalih kebiasaan di daerah tersebut, tetapi ia harus mengikuti masa yang telah sepakati”. Dari syarat ini, kita bisa mengetahui bahwa indikasi yang ditimbulkan adat (dalalah al-adat) lebih lemah dari pada yang ditimbulkan perkataan (dalalah al-lafdhi), sehingga ketika terjadi pertentangan yang dibuat pijakan adalah dalalah al-lafdhi. Seperti yang diungkapkan Syeikh Izzuddin Ibn Abdus Salam dalam Al-Qowa'id.[2]


IV. PENGHARGAAN SYARIAT TERHADAP ADAT

A. Pada Masa Turunnya Wahyu Dan Ijtihad

Mayoritas adat, lahir untuk mengatur hubungan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Tujuan ini juga merupakan salah satu tujuan pokok syariat Islam, seperti halnya setiap undang-undang, mulai dahulu sampai sekarang. Oleh karenanya, Syari' mempunyai perhatian khusus dengan melestarikan adat atau kebiasaan yang baik dan memasukkannya dalam ketetapan hukum yang disyariatkan, sehingga mereka dengan mudah dapat menerima dan tidak merasa dimarginalkan dengan penerapan hukum-hukum Islam.

Islam datang untuk memperbaiki kerusakan dan memperbaharui syariat sebelumnya yang telah disalah-artikan. Kedatangan Islam bukanlah untuk merobohkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan tatanan sosial yang lurus. Bahkan, sekiranya sebagian dari hal tersebut dapat mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan, maka dengan sendirinya akan ditetapkan dan dijadikan sebagai salah satu bagian ajaran Islam.

Sebelum kedatangan Islam, dikalangan masyarakat Arab telah berjalan beberapa adat yang baik dalam mu’amalah, kekeluargaan, hukum pidana, ritual keagamaan dan lainnya. Sebagian darinya adalah murni dihasilkan dari pengalaman mereka dan sebagian lain mereka adopsi dari syari’at sebelumnya atau dari negara-negara tetangga.

Dalam mu’amalah, mereka mempraktekkan jual beli, gadai, pesanan (salam), perseroan, pemberian modal, persewaan. Semua praktek ini pada akhirnya ditetapkan oleh syari'at Islam setelah membebaskannya dari unsur memakan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan atau mendatangkan persengketaan, seperti riba nasi'ah,[3] riba fadhl,[4] dan atau unsur spekulasi, seperti menjual janin dalam kandungan hewan.

Dalam hubungan kekeluargaan, telah lama mereka menjalankan praktek perkawinan dengan melamar seorang gadis pada orang tuanya dan memberikan mas kawin. Namun, di sini masih terdapat praktek yang mengindikasikan rendahnya moralitas yang kemudian dihapus oleh Islam dengan memberikan mas kawin tersebut kepada si gadis, bukan pada walinya . Imam Suyuthi dalam Asbabun Nuzul menuturkan:[5]

أخرج ابن أبي حاتم عن أبى صالح قال: كان الرجل إذا زوّج ابنته أخذ صداقها دونها فنهاهم الله عن ذلك فأنزل "وأتوا النساء صدقاتهنّ نحلة".

“Ibn Abi Hatim menceritakan dari Abi Shaleh, bahwa ia berkata: seorang pria ketika mengawinkan putrinya, ia mengambil mengambil mas kawin dan tidak memberikan kepada putrinya, kemudian Allah melarang hal tersebut dan menurunkan ayat; “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita yang (yang kamu nihahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan……”(An-Nisaa’: 4).

Setelah masa kenabian, Islam tersebar luas ke berbagai penjuru dunia dan kemudian para mujtahid diangkat sebagai qodli dan mufti di negara-negara Islam, Mereka menghadapi berbagai macam bentuk adat yang berbeda-beda. Dengan kemampuan fiqh yang dimiliki, mereka mencurahkan segala daya untuk mengimplementasikan hukum-hukum Allah. Oleh sebab itu, pengaruhnya tampak dalam tiga aspek:

1. Adat ini dipresentasikan kepada para mujtahid dari berbagai belahan bumi yang menuntut diletakkannya kaidah fiqh yang bersifat umum sebagai barometer penetapan hukum. Adat yang dianggap baik akan mereka akui, seperti, pendokumentasian dan pembangunan benteng yang terkenal di daerah persia. Adat yang kurang lurus akan mereka luruskan, seperti: kewajiban pajak hasil bumi terhadap kafir dzimmi di luar batas kemampuan waktu kekuasaan kerajaaan Persi, kemudian ditetapkan sesuai kadar kemampuan . Dan adat yang dianggap jelek atau mengandung mafsadah maka mereka mengingkari dan menolaknya, seperti: kebiasaan umat Hindu Brahmana yang tidak mau menyembelih hewan dengan alasan kasihan, hal ini ditolak karena ada unsur mengharamkan salah satu karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

2. Dalam proses penetapan hukum (istinbath) melalui kaidah-kaidah umum, para mujtahid menimbang dan mengapresiasi adat setempat. Mereka meyakini bahwa hukum-hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersifat universal dan kekal tanpa mengenal batas ruang dan waktu, dan salah satu tujuannya adalah menghilangkan kesulitan umat manusia. Seandainya hukum Islam tidak apresiatif dengan adat setempat, manusia akan berada dalam kesempitan hidup dan syari'at tidak lagi konsisten dengan tujuan asalnya.

3. Umat Islam yang berdiam di berbagai wilayah dengan tujuan yang berbeda-beda niscaya bersentuhan dengan apa yang di namakan adat. Dan ketika mereka sepakat untuk menjalankan suatu adat tanpa ada pengingkaran dari seorang Mujtahid, maka hal ini di namakan ijma' fi’ly yang menunjukkan bahwa adat tersebut sah dan diakui.

Hal ini, merupakan sebagian kecil dari bukti-bukti kemudahan, kemurahan dan perhatian syari'at terhadap adat dan merupakan bukti kesungguhannya dalam menghilangkan kesulitan umat manusia.

B. Posisi adat dalam Ilmu fikih

Fikih adalah pengetahuan atas sekumpulan hukum-hukum yang mengatur hubungan vertikal dan horizontal, berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits yang dihasilkan para mujtahid.

Tidak perlu disangsikan, dalam konteks fiqh adat memiliki peran yang penting, baik dalam penggalian hukum (istinbath) atau dalam aplikasinya. Maksudnya, penggalian hukum dari suatu nash terkadang masih tergantung pada adat. Karena seperti diketahui, bahwa lingkungan dan adat bagi seorang mujtahid akan sangat berpengaruh dalam menentukan pendapat. Disamping itu, termasuk syarat seseorang bisa dikategorikan mujtahid adalah harus mengetahui adat yang berlaku dilingkungan sekitarnya.

Para ulama sepakat bahwa adat, qauly atau amaly, bisa dijadikan muqayyid (yang membatasi kemutlakan lafadz). Demikian juga, seperti yang telah diungkapkan di atas, mereka sepakat bahwa urf qauly dapat dijadikan mukhosshish. Akan tetapi, mereka masih berselisih, apakah lafadz umum dapat di-takhshish dengan urf amaly atau tidak? Menurut madzhab Hanafiyyah, urf amaly bisa men-takhshish, akan tetapi Jumhur al-ulama berpendapat sebaliknya.[6] misalnya dalam satu daerah terdapat adat memakan beras merah dan syari' berkata: “Aku mengharamkan praktek riba dalam makanan”, hukum keharaman ini menurut madzhab Hanafiyyah khushus untuk makanan pokok, yakni beras merah. Sedangkan menurut versi Jumhur, umum untuk semua jenis makanan. Mereka mengambil dalil bahwasanya shighot umum yang telah berlaku sebagian dan tidak ada yang men-takhshish, akan tetap dengan keumumannya, sesuai dengan kaidah; العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب.

Demikian juga dalam mengaplikasikan hukum, adat merupakan salah satu referensi penting dalam mengambil ketetapan hukum, sesuai kaidah fikih (العادة محكمة).

V. REVISI HUKUM SEBAB PERUBAHAN ADAT

Tujuan syari'at yang paling utama adalah menjaga kemaslahatan manusia, baik berupa mendatangkan kemanfaatan, menyempurnakannya, menolak mafsadah atau meminimalisirnya, tanpa harus membedakan ras atau suku tertentu. Dan termasuk dari salah satu bentuk menjaga kemaslahatan adalah memperhatikan adat yang ada di sekitarnya. Hal ini tentunya, menuntut perubahan suatu hukum ketika terjadi perubahan adat. Imam Malik berkata: “Fatwa-fatwa baru bisa tercetus bagi manusia tergantung aktifitas yang mereka lakukan”.[7]

Salah satu contoh adanya perubahan hukum sesuai dengan kebiasan manusia adalah kebiasaan para perempuan pergi ke masjid untuk menunaikan shalat jama’ah di masa Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam, mereka keluar dengan pakaian yang menutup ‘aurat rapat-rapat. Rasulullah bersabda:

لا تمنعوا إماء الله مساجد الله

“Janganlah kalian melarang para perempuan menuju masjid-masjid Allah”(H.R. Bukhori-Muslim).[8] Namun, setelah wafatnya Rasulullah, banyak hal dilakukan oleh kaum hawa yang mengindikasikan merosotnya nilai moral, sehingga sudah sepatutnya mereka dilarang keluar ke masjid, seperti yang diungkapkan ‘Aisyah Ummil Mu’minin:

لو أدرك النبي صلى الله عليه وسلم ما أحدث النساء لمنعهن المساجد كمامنع نساء بني إسرائيل.

“Seandainya Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam. melihat apa yang dilakukan para wanita sekarang, maka pastilah beliau melarang mereka ke masjid seperti larangan yang dikenakan pada perempuan-perempuan Bani Israel”.(H.R. Malik, Bukhori dan Muslim).[9] Ini semua menunjukkan bahwa tabiat dan kebiasaan baru bisa menyebabkan adanya perubahan hukum yang telah ada.

Perubahan hukum ini, menimbulkan asumsi dari sebagian golongan bahwa adat bisa menaskh (merubah) ketetapan hukum yang telah ada karena melihat definisi naskh adalah menghilangkan muta'allaq (pengaruh) hukum syar'i, dan hal ini juga terdapat dalam perubahan yang disebabkan adat. Tetapi, jika dipikir secara jernih, asumsi ini sangatlah jauh dari kebenaran, karena hukum yang didasarkan pada adat tercetus karena melihat praktek yang ada waktu itu, ketika praktek tersebut berubah maka diperlukan pencetusan hukum baru sesuai dengan adat yang baru. Pada hakikatnya hukum pertama tetap tidak mengalami perubahan ketika dinisbatkan pada praktek pertama. Disamping itu, tidak ada seorangpun yang berhak me-naskh salah satu dari hukum-hukum syariat setelah wafatnya Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam, baik mujtahid, pemerintahan Islam ataupun lainnya, hukum-hukum tersebut bersifat kekal untuk selama-lamanya.

Perlu diketahui, tidak semua hukum dapat berubah sebab perubahan adat. Karena, seperti telah dikemukakan diatas pada masalah pembagian adat, sebagian adat ada yang hukumnya tidak dapat berubah dalam kondisi apapun, seperti: hukum qishosh dan had, sehingga kedua hukum tersebut akan tetap paten selamanya walaupun perzinahan, pembunuhan atau pencurian dikemas dengan bentuk serapi apapun.


[1] . Al adatu wa al adah. Hal.73-74.


[2] . Ibn Abdissalam, al-Qowa’id vol. 2, hal. 178.


[3] . Yaitu, pensyaratan kredit dalam jual-beli salah satu jenis ribawi dengan sesamanya. Syaikh Zainuddin bin Abd. Aziz al-Malibary al-Fanani, Hasyiyah I’aanah ath-Tholibin ‘ala Fath al-Mu’in, Darr al-Fikr, Beirut, vol- III, hal. 26.


[4] . Yaitu, perbedaan kadar dalam penjualan salah satu jenis ribawi dengan sejenisnya, Ibid.


[5] . al urfu wa al adah. Hal 94


[6] . Imam Ghozali, al-Mustashfa, vol. II, hal. 112.


[7] . Syarah al-Muwattho’ li az-Zarqany, vol. IV, hal. 204.


[8] . Shahih Bukhori dan Muslim, kitab as-Shalat – bab – Khuruj an-Nisa’ ila al-Masjid.

[9] . Shahih Bukhori, kitab al-Adzan, - bab – Intidhor an-Nass Qiyam al-Imam.



Artikel ini pernah dimuat dalam jurnal Teras Pesantren edisi VIII

Editor: Irham Ma'arif
Read More >>

KAIDAH HUKUM ADAT ACUAN DALAM MENJAWAB PROBLEMATIKA MODERN

PP MUS (http://www.ppmus.com/artikel/278-kaidah-hukum-adat-acuan-dalam-menjawab-problematika-modern-1)

Islam adalah ajaran terakhir yang diwahyukan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallama. Sesudah itu, tidak ada lagi Rasul yang diutus dan tidak terdapat lagi wahyu yang diturunkan untuk mengatur umat manusia di muka bumi. Hal ini mengisyaratkan bahwa agama Islam yang dinyatakan sempurna di akhir hayat Rasulullah, benar-benar membawa ajaran yang memiliki dinamika sangat tinggi, mampu menampung segala macam persoalan baru yang ditimbulkan oleh perkembangan sosial. Persoalannya kemudian adalah, bahwa pada kenyataannya ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang masalah hukum sangat terbatas jumlahnya. Sementara itu, terdapat kenyataan lain yang tidak dapat dibantah yaitu berkembangnya persoalan sosial yang selalu mendesak ditambah beraneka-ragamnya adat dan tradisi dalam kehidupan masyarakat. Dua kenyataan inilah yang menyebabkan umat Islam selalu dihadapkan pada suatu tantangan, apakah relevansi hukum Islam dapat dibuktikan dalam realita kehidupan yang selalu berkembang ini.
 
I.’URF (HUKUM ADAT)
A. Pengertian
Secara etimologi, al-‘Urf kadang diartikan kebiasaan baik, sifat dermawan, sabar, pengakuan, dan berurutan. Sedangkan al-‘aadah yang diambil dari kata ‘awada (عود) berarti terus-menerus dan gigih dalam melakukan sesuatu.
Dipandang dari terminologi fiqh, Imam Al-Ghazali dalam kitab al-mustashfa, mendefinisikan ‘urf sebagai berikut: “’Urf adalah suatu praktek yang berlaku dan menjadi satu ketetapan dengan bersandar pada apa yang di anggap baik oleh akal serta dapat diterima oleh manusia normal[1], beliau juga tidak membedakan antara adat dengan ‘aadah. Akan tetapi, sebagian ulama membedakan diantara keduanya. Mereka memberi definisi ‘aadah dengan praktek yang terjadi berulang-ulang dengan tanpa adanya hubungan emosional (nafsani)[2]. Dari definisi ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa ‘aadah lebih luas cakupannya dari pada urf

B. Proses Timbulnya Adat
Bila dicermati, segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia tidak lepas dari hal yang mendorong dan menarik hatinya untuk menjalankannya, baik timbul dari dirinya sendiri, seperti; perasaan malu ketika dihina orang yang lantas membuat dirinya untuk balas dendam, ataupun timbul dari kondisi lingkungan sekitarnya, seperti; hasil penelitian ilmiah bahwa dalam aktivitas tertentu terdapat satu kemaslahatan. Kemudian, jika aktivitas tersebut dapat diterima, diikuti dan dijalankan  oleh kalangan masyarakat setempat dengan berulang-ulang sehingga menjadi suatu ketetapan, maka lahirlah apa yang di sebut adat.

Demikian juga proses terjadinya istilah-istilah tertentu, karena sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin lepas dari rasa saling membutuhkan satu sama lain. Untuk itu, mereka sangat memerlukan alat komunikasi, baik lewat perkataan atau isyarat, yang dapat membantu mengekspresikan keinginan-keinginan mereka. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, bertambahnya kebutuhan dari satu generasi ke generasi yang lain, dan tersebar luasnya manusia ke seluruh permukaan bumi, mereka tidak mungkin untuk tetap menggunakan bahasa asli tanpa adanya tambahan dan perubahan sama sekali. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar dalam satu komunitas terdapat penggunaan istilah tertentu yang tidak terdapat dalam komunitas yang lain.
Tidak semua adat, yang tak terhitung jumlahnya ini, mempunyai tujuan atau pendorong yang sama. Akan tetapi kebanyakan timbul dari sebab-sebab yang berbeda tergantung kondisi dan dinamika yang terjadi. Sedangkan sebagian besarnya kembali pada  faktor hajat dan 'umum al-balwa. Adakalanya, adat yang berjalan dalam satu kalangan tidak berdasarkan kebutuhan, mereka melakukannya lebih karena warisan dari generasi sebelumnya, seperti apa yang berlaku dalam keyakinan umat jahiliyah dahulu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ.  
“bahkan mereka berkata; Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. (QS. Az-Zukhruf: 22)

C. Kekuatan Adat
Adat yang telah mengakar dalam suatu komunitas, akan sangat mempengaruhi mental dan emosi mereka. Adat tersebut akan senantiasa dimulyakan, dianggap sebagai kebutuhan primer dalam kehidupan dan bahkan dianggap sebagai “agama” yang harus disucikan dan tidak boleh disentuh. Hal itu, seperti dikatakan psikolog, dikarenakan suatu pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang akan menimbulkan interaksi langsung dengan syaraf dan anggota tubuh lainnya dan akan memberi pengaruh kejiwaan.
Mereka mengatakan;”Adat adalah tabiat manusia yang kedua”. Maksudnya adalah, adat mempunyai kekuatan yang hampir sama dengan kekuatan pembawaan asal manusia, sehingga sangat sulit untuk dibendung, dialihkan ataupun dihilangkan lebih-lebih jika menjadi tuntutan kebutuhan. Sebab itu, kita melihat para Nabi dan juru dakwah seringkali mendapatkan perlawanan, mengalami kesulitan dan menanggung beban berat dalam menyebarkan dakwah demi untuk mencabut semua bentuk adat yang tidak dibenarkan. Berbagai metode harus mereka terapkan, mulai dari pelarangan secara bertahap, bahkan kadang harus menempuh jalan peperangan. ‘Aisyah Ummil Mu’minin berkata:
إنما نزل أول ما نزل سورة من المفصل فيها ذكر الجنة والنار حتى إذا ثاب الناس الى الإسلام نزل الحلال والحرام, ولو نزل أول   شيء: لا تشربوا الخمر.., لقالوا: لاندع الخمر أبدا. ولو نزل: لا تزنوا.., لقالوا: لا ندع الزنا أبدا.
“Sesungguhnya (Al-Qur’an) yang pertama kali diturunkan adalah ayat-ayat yang menerangkan tentang surga dan neraka. Kemudian setelah manusia berkumpul (masuk) ke dalam Islam, maka diturunkanlah ayat-ayat (yang menerangkan) halal dan haram. Seandainya pertama kali diturunkan “Janganlah kalian minum khamr”, maka pastilah mereka mengatakan: ”Kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya”. Dan seandainya yang diturunkan “Janganlah kalian berzina”, pastilah mereka bilang: “Kami tidak akan meninggalkan perzinahan selamanya”.(HR. Bukhori)[3]
Maksud dari adanya syari'at adalah menghilangkan kesempitan dan kesulitan dalam kehidupan manusia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ... الأية 
".....Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu....."(QS. Al-Baqarah; 185).  
Demikian juga, Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:  
بعثت بالحنيفيّة السمحة 
"Aku diutus dengan (membawa agama) yang lurus dan penuh dengan kemudahan" (HR. Khatib Al-Bagdadi).[4]  
Oleh karena itu, kita harus benar-benar memperhatikan, apakah adat yang sudah terlanjur mengakar di masyarakat, memang dibenarkan dan ditetapkan oleh kaidah-kaidah syara’ atau tidak, sehingga harus dilestarikan atau harus dihentikan walaupun dengan menghunus pedang, demi menjaga manusia dari kesempitan dan kesulitan hidup dan demi terciptanya tatanan yang dapat dibanggakan.[5] Dalam hadist yang diriwayatkan ‘Aisyah Radliyallahu ‘Anhaa. 
أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلّم ما خيّر بين شيـئين إلا اختار أيسرهما ما لم يكن إثما. 
“Sesungguhnya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah diperintahkan untuk memilih diantara dua perkara kecuali akan memilih perkara yang paling mudah selagi bukan merupakan dosa” (HR. Bukhori Muslim).[6]
 
D. Pembagian Adat
Adat terdiri atas beberapa hal dengan memandang tiga aspek penting:
  1. Memandang sebab. Hal ini dibagi menjadi (a) qauly, yaitu istilah yang telah disepakati bahwa ketika diucapkan maka dengan sendirinya dan tanpa membutuhkan qarinah, akan tertuju pada arti yang dimaksud dan bukan madlulnya secara sempurna, seperti kata “dirham” yang sebelumnya mencakup semua jenis mata uang, kemudian dikhususkan pada mata uang perak, dan (b) amaly, pekerjaan yang telah berlaku baik secara umum ataupun terbatas dalam komunitas tertentu.
  2. Memandang orang yang meletakkannya. Bagian ini terbagi atas (a) 'aam, yaitu kebiasaan yang telah berjalan dalam semua Negara Islam, baik di masa lampau atau di masa kini. Misalnya: kata tholaq digunakan untuk putusnya hubungan suami-istri. (b) khosh, yaitu kebiasaan yang hanya berlaku dalam suatu daerah tertentu, seperti; kebiasaan penduduk Irak menggunakan istilah “al-dabbah” untuk menunjukkan arti kuda. (c) syar'iy, yaitu istilah yang digunakan oleh syara' untuk menunjukkan arti tertentu, seperti istilah sholat yang semula mempunyai arti do'a kemudian digunakan oleh syara' untuk menunjukkan ritual ibadah tertentu. Sebenarnya adat ini termasuk adat khosh, tetapi Fuqaha memberi istilah tersendiri karena dianggap sakral. 
  3. Memandang arti etimologisnya, (a) al-muqorrir lahu, yaitu kebiasaan yang pengertiannya tidak berubah dari arti etimologisnya. Misalnya; ketika seseorang bersumpah untuk tidak membeli Mawar, maka menurut fuqaha, dia tidak dianggap melanggar sumpahnya kecuali dengan membeli bunga mawar, dengan alasan adat. Hal ini, sesuai dengan arti etimologi dari mawar itu sendiri yang berarti bunga Mawar. (b) al-qodli ‘alaih, yaitu adat yang berubah dari pengertian etimologinya. Misalnya; bersumpah tidak akan membeli Violet (nama bunga), maka dia dianggap melanggar sumpahnya kalau membeli minyak wangi yang terbuat dari bunga tersebut dan tidak melanggar dengan membeli bunganya, karena adat penggunaan kata violet secara mutlak pada produk minyak wangi. Padahal, secara etimologi violet berarti jenis bunga tertentu.  
Dari segi aplikasi hukumnya, adat dibagi menjadi dua. Pertama, ‘Aadah Syar'iyyah, yaitu suatu adat yang ditetapkan oleh syara', baik berbentuk perintah, larangan atau ibahah. seperti keharusan menutup aurat dalam sholat, diperbolehkannya bai’ al-‘aroya[7], kewajiban qishas dalam pembunuhan dan lain-lain. Adat yang seperti ini, setelah wafatnya Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam, tidak dapat berubah. Apa yang oleh syara’ dianggap baik, maka itulah kebaikan yang sebenarnya. Demikian juga adat yang dianggap tidak baik, walaupun terjadi penjungkir-balikan pengertian dari sebagian golongan dengan mengatakan; “Sistem talak dalam Islam sudah tidak relevan dengan zaman modern ini dan bertentangan dengan kemaslahatan manusia, dan sesungguhnya hukum qishas dalam masalah pembunuhan adalah hukum yang kejam, bertentangan dengan HAM, maka sepantasnyalah dua hukum tersebut direvisi”. Hal ini dikarenakan, aktifitas-aktifitas yang telah ditetapkan syara’ melalui nash-nashnya adalah bentuk hukum-hukum syariat yang tidak bisa dirubah hanya dengan pertimbangan baik atau buruk oleh akal pikiran. Adapun pada masa Rasulullah masih bisa terjadi perubahan hukum yang kita kenal dengan istilah naskh. 

Kedua, ‘Aadah ghoiru syar'iyyah, yaitu adat yang tidak ada ketetapan dari syara'. Adat ini terbagi menjadi; (a) tsabitah, yaitu adat yang tidak pernah mengalami perubahan dalam setiap kondisi, ruang, dan waktu. Seperti, perasaan ingin makan, minum dan lainnya. Dan (b) mutabaddilah, yaitu adat yang bisa berubah tergantung situasi dan kondisi, ruang dan waktu. Adat ini sangat banyak ragamnya, sebagian darinya terjadi akibat perbedaan cuaca yang mempengaruhi cepat atau lambatnya pertumbuhan, perbedaan istilah, perbedaan sistem kerja dan atau perbedaan asumsi dalam menentukan aktivitas tertentu yang dianggap baik dan buruk, seperti; perbedaan “Apakah menanggalkan tutup kepala dapat menjatuhkan harga diri atau tidak”.

Ketetapan hukum yang didasarkan pada ‘aadah ghoiru syar’iyah, implementasinya tergantung pada jenis adat itu sendiri. Jika adatnya permanen, maka hukumnya juga permanen, dan jika masih bisa mengalami perubahan, maka hukumnya juga bisa berubah sesuai dengan adat tersebut. 

II. MAKNA PERHATIAN ISLAM TERHADAP ADAT DAN DALILNYA 
Para fukaha dengan madzhab yang berbeda-beda, sepakat bahwa adat merupakan salah satu pertimbangan dalam mengambil ketetapan hukum dan  menjadikan adat sebagai dasar dari beberapa sumber hukum fiqh. Ibn ‘Abidin dalam Nasyr al-‘Urf menyatakan: “ketahuilah, bahwa sebagian ulama (Syihabuddin Al-Qarafi Al-Maliki[8]) menjadikan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:  
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ... الأية 
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (baik)…” (Al-A’raaf: 199), sebagai salah satu dalil bahwa Islam sangat memperhitungkan adat”. Dalil ini tentunya mengacu pada keterangan bahwa yang dimaksud “Al-‘Urfi” dalam ayat di atas adalah adat yang telah dikenal dan dijalankan oleh manusia. Mereka juga mengambil dalil, seperti yang dikutip oleh Jalaluddin As-Suyuthi Asy-Syafi’i dalam Al-Asybah wa An-Nadzo’ir, dari sabda Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam: 
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
"apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal itupun merupakan kebaikan menurut Allah" (HR. Ahmad). [9]
Berikut ini adalah beberapa posisi penting adat dalam kaitannya dengan hukum-hukum syariat.
A. Adat sebagai Dasar Penetapan Hukum
Sebagai agama yang universal, Islam sangat menaruh perhatian (concern) terhadap segala budaya dan adat yang berlaku di kalangan umat manusia dalam setiap waktu dan kondisi, baik yang bersifat umum atau hanya berlaku dalam satu komunitas tertentu. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya ketetapan-ketetapan hukum dalam Islam yang berdasarkan adat yang berlaku.  
Meskipun demikian, menurut fuqoha, adat tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum (dalil) untuk menetapkan suatu hukum. Karena definisi dari adat, seperti yang telah dikemukakan di atas, adalah: suatu praktek yang timbul dari dorongan akal pikiran, kemudian diikuti oleh orang lain yang pada akhirnya menjadi suatu ketetapan tersendiri. Dari definisi ini, dapat diketahui bahwa timbulnya suatu adat bersumber dari akal pikiran.
Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa akal tidak dapat dijadikan suatu petunjuk dari adanya hukum Allah dalam suatu perkara. Mereka menyatakan, akal pikiran pada hakikatnya tidak bisa menentukan antara baik, buruk, maslahah dan mafsadah. Karena tidak pernah ada jaminan bahwa akal, sejernih apapun, akan selalu benar, jaminan itu hanya ada pada agama dan syariat yang diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja. Pendapat ini menjadi sangat jelas ketika satu individu atau kelompok mempunyai hak membuat undang-undang. Seringkali mereka mengambil kebijakan-kebijakan hukum yang menurutnya sesuai dengan situasi dan kondisi di waktu tersebut tergantung dengan tujuan serta kepentingan yang ada. Kemudian, keesokan harinya, mereka akan menghujat peraturan yang mereka tetapkan sendiri di hari kemarin. Oleh karena itu, sering kita mendengar adanya amandemen atau revisi ulang undang-undang produk manusia.
Memang tidak bisa dipungkiri, dalam perkara-perkara yang sudah jelas merupakan suatu bentuk kebajikan dalam kehidupan sosial, seperti akhlak mulia, atau perkara yang jelas dapat menimbulkan efek negatif atau membahayakan seperti perzinahan, pembunuhan, pencurian dan lainnya, akal dapat dengan sendirinya menentukan yang baik dan yang buruk. Akan tetapi, hal ini tidaklah cukup untuk menjadikannya sebagai petunjuk akan adanya hukum Allah pada perkara tersebut. Karena kalau kenyataannya demikian, mestinya manusia akan diberi pahala dengan mengerjakan kebajikan dan akan disiksa karena melakukan kejahatan walaupun tidak ada agama dan utusan dari Allah yang memberi kabar tentang hal tersebut.
Demikian pula halnya dengan adat yang timbul dari akal pikiran, ia tidak mungkin dijadikan petunjuk dari suatu kebenaran atau kemaslahatan yang merupakan dasar dari hukum-hukum agama. Bahkan, sangat banyak adat yang berlaku dikalangan masyarakat disamping sama sekali tidak mengandung nilai kemaslahatan, sebenarnya juga membawa pada kemudharatan. Seperti, adat yang berlaku dikalangan kaum jahiliyah yang dengan tega mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka karena merasa malu. Dalam hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : 
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ 
"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah                        (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, di sebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya kedalam tanah (hidup-hidup)?......" (QS. Al-Nahl : 58-59). 
Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa adat dengan sendirinya tidak dapat dijadikan standart untuk menentukan baik dan buruk, dan tidak bisa dijadikan sumber dalam mengambil ketetapan hukum selama tidak didukung oleh salah satu dasar dari beberapa dasar pengambilan hukum yang telah ditetapkan, baik didukung oleh As-Sunnah, yaitu adat yang berlaku di masa Rasullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan tanpa adanya pengingkaran dari beliau (Taqriri), atau  Al-Ijma', baik ijma' fi'ly atau sukuty, dan atau adat tersebut dikembalikan pada hukum asal manafi' dan madharat, yaitu sebagaimana disebutkan oleh ulama ushul, hukum asal dari setiap yang membawa kemanfaatan, sekiranya tidak ada dalil, selain wanita, harta milik dan harta waqafan, adalah diperbolehkan (ibahah) berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا....الأية
"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu....."(QS. Al-Baqarah; 29). Sedangkan perkara yang membawa kemudharatan adalah dilarang (tahrim) dengan dalil sabda Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam.: 
لاضرر ولا ضرار.  
"tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain" (HR. Malik, Ibn Majah Dll).[10] Dan ketika suatu hukum ditetapkan dengan alasan adat, seperti pernyataan ulama; ”perkara ini diperbolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku", maka tidak lain hal itu karena melihat apa yang ada di balik adat tersebut dan bukan memberi pengertian bahwa adat bisa dengan sendirinya dijadikan sumber hukum.
Adat yang diperkuat oleh dasar-dasar yang telah disepakati seperti; As-Sunnah dan Ijma', akan dijaga dan dilestarikan menurut kesepakatan para ulama. Dan kalau yang memperkuatnya adalah dasar yang masih dipertentangkan seperti; Maslahah Mursalah, Istihsan dan Ijma' penduduk Madinah, maka keberadaannya juga diperdebatkan. 

B. Adat sebagai Parameter Aplikasi Hukum-Hukum Mutlak (yang belum mempunyai ketetapan pasti)
     Merupakan kebijaksanaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dzat yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, dengan mensyariatkan beberapa hukum yang mutlak dan menyerahkan kepada orang-orang yang kredibel (ulama) untuk menjelaskan dan mengaplikasikannya sesuai dengan tuntutan kemaslahatan dan adat (tradisi) yang berlaku di kalangan umat Islam pada waktu itu. Sehingga Islam mampu menjadi agama yang elastis, adaptif dan tetap relevan dalam setiap ruang dan waktu. Karena seandainya dalam Islam hanya ada satu ketetapan hukum tanpa memandang kemaslahatan dan adat yang berlaku di berbagai penjuru dunia, maka manusia akan berada dalam kesulitan yang tidak terperikan dan kiranya tidak pantas Islam menyandang predikat "Rahmatan li al-'alamin". Sebaliknya, kalau ketetapan Islam mengikuti semua kemaslahatan umat manusia dalam setiap dimensi waktu yang terus mengalami perubahan, maka perintah yang di bebankan kepada manusia akan tak terhitung banyaknya sedangkan mereka tidak sanggup lepas darinya. Hal itu akan menyebabkan hancurnya tatanan syariat yang diletakkan di atas dasar yang kuat ini, yaitu meringankan beban.    

 Di bawah ini, kami akan mencoba menyebutkan sebagian contoh hukum-hukum mutlak yang aplikasinya di sandarkan pada adat yang berlaku;

 1. Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda;
من رأى منكم منكرا فليغيّره بيده, فإن لم يستطع فبلسانه......الحديث
"Barang siapa diantara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah dia menghilangkannya dengan tangannya, kalau tidak sanggup maka dengan ucapannya......" (HR. Muslim).[11] Fuqoha menjadikan hadist ini sebagai salah satu landasan dari kewajiban hukum ta'zir bagi mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang sanksinya tidak ditetapkan secara khusus (had). Mereka mengatakan, ta'zir bisa diwujudkan dengan segala cara yang dapat mendidik dan mencegah terulangnya pelanggaran tersebut, selagi tidak sepadan dengan had yang ditentukan Allah. Pernyataaan ini, tentunya mengikut sertakan adat untuk mengimplementasikan hukum ta'zir tersebut, meskipun, ada beberapa sanksi hukum yang bertujuan mendidik dan mencegah tanpa adanya perbedaan, seperti; memukul dan memenjarakan. Al-Qarafi berkata, seperti apa yang dituturkan Ibn Farhun dalam kitab Tabshiroh; "Kebijakan ta'zir bisa saja berubah tergantung masa  dan daerahnya, karena banyak sekali bentuk sanksi dalam satu daerah dianggap ta'zir, sebaliknya dalam daerah lain justru merupakan bentuk memulyakan, seperti melepas pakaian luar (thoilasan) di negara Syiria bukanlah ta'zir tapi memulyakan, dan menanggalkan tutup kepala pada warga Andalus (Spanyol) bukan merupakan bentuk penghinaan sedangkan di Mesir dan Irak itu adalah penghinaan". Demikian juga, sebagian pelanggaran yang dapat mewajibkan ta'zir terkadang bisa berbeda-beda tergantung adat yang berlaku, seperti; menyakiti orang Islam.

 2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ...الأية
"......dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu......" (QS. Al-Tholak; 2). 


Dari ayat ini ulama’ mencetuskan syarat 'adaalah (adil) bagi seorang saksi agar persaksiannya dapat dikatakan sah atau diterima terdapat perbedaan dalam dua madzhab yang berbeda. Fuqoha’ berkata;" 'adaalah adalah tabi'at dalam diri seseorang yang dapat menarik orang tersebut untuk tetap konsis dalam taqwa dan menjaga martabat (muru'ah). Perbuatan yang dapat menjatuhkan muru'ah, yaitu perbuatan yang menurut tokoh masyarakat menunjukkan nilai moralitas rendah, dapat pula menggugurkan 'adaalah". Perlu diketahui bahwa perbuatan-perbuatan tersebut kadangkala sama dalam setiap daerah, seperti; kencing berjalan di jalanan, dan adakalanya berbeda-beda tergantung negara dan daerahnya, seperti; pekerjaan yang dianggap hina. Suatu pekerjaan tidak akan selamanya dianggap hina dalam setiap masa dan daerah, seperti; tukang tenun, dahulu mungkin dianggap sebagai pekerjaan hina, akan tetapi pada masa sekarang tidak lagi.
Walhasil, dalam Islam terdapat beberapa ketetapan yang masih dimutlakkan kemudian diserahkan ke tangan para Mujtahid, Mufti atau Qodli untuk mengaplikasikannya dengan mengambil rujukan adat yang berlaku dalam masyarakat setempat. Termasuk diantaranya, jenis nafkah yang harus diberikan pada keluarga, bentuk penjagaan dalam masalah pencurian, dan lainnya. 

C. Adat Sebagai Ganti Pernyataan
Adat, terkadang dapat mengganti hal yang semestinya membutuhkan ungkapan perkataan. Seperti; menunjukkan idzin, larangan, bahkan menunjukkan hal yang bisa dijadikan pegangan oleh saksi, hakim atau mufti. Dengan arti, adat tersebut bagi mereka dianggap seperti hal yang didengar atau dilihat sehingga mereka bisa bersaksi atau mengambil keputusan dengannya. Adat yang seperti ini, kapasitasnya diakui syara' sama dengan kapasitas perkataan dan dapat menimbulkan ketetapan yang sama dengan pernyataan. Dalam "I'lam Al-Muwaqqi'in" disebutkan: "adat diberlakukan seperti halnya syarat yang diucapkan". Dalam "Al-Qawa'id" Izzuddin bin Abdussalam menyatakan: "Pasal dalam menerangkan bahwa apa yang ditunjukkan adat dan suatu kondisi tertentu bisa mengkhususkan keumuman dan membatasi kemutlakan seperti halnya kata-kata"[12]. Hal senada juga diungkapkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah.

Salah satu contohnya adalah menghidangkan makanan pada tamu, menunjukkan bahwa tuan rumah telah memberinya idzin untuk memakannya. Memagari area tanah, menunjukkan larangan bagi orang lain mengunakan tanah tersebut. Pengunaan toilet umum tanpa mengucapkan akad sewa, menjelaskan waktu di dalamnya dan kadar air yang dipakai. Dan dalam beberapa hal, seorang hakim bisa memvonis dengan apa yang berlaku di kalangan masyarakat setempat, seperti, menentukan harta (gono-gini) milik suami atau istri ketika terjadi pertentangan antara keduanya. 

D. Adat Penggunaan Istilah Tertentu 
Penggunaan istilah tertentu dalam suatu komunitas, menurut kesepakatan ulama, juga menjadi pertimbangan dalam menentukan satu ketetapan hukum, baik menyangkut perintah syari'at atau dalam masalah sosial. Maksudnya, perkataan seseorang akan diartikan sesuai dengan arti yang biasa dipakai  daerah tersebut. Karena, secara dzohir, orang tersebut tidak akan menggunakan suatu istilah kecuali dengan arti yang berlaku. Contohnya, lafadz haji secara bahasa berarti menuju sesuatu yang diagungkan, menurut urf syar'i, haji mempunyai pengertian menuju Ka'bah pada bulan-bulan haji. Ketika Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
ياأيها الناس كتب عليكم الحج فحجوا
“Wahai sekalian manusia, telah diwajibkan atas kalian (ritual) haji, maka berhajilah kalian” (HR. Muslim),[13]  
maka, yang diperintahkan oleh Beliau adalah haji menurut urf syar’i. Hal ini, berlaku juga dalam berbagai bentuk akad dan hubungan sosial lainnya, seperti jual-beli, syarat, talak dan sumpah.
Mereka juga sepakat bahwa istilah tersebut bisa dijadikan mukhoshsish (yang mengkhususkan keumuman) dan muqayyid (yang membatasi kemutlakan). Dalam ketentuan ini, tidak ada perbedaan antara istilah yang berlaku secara umum atau hanya dalam satu komunitas tertentu, kecuali hukum yang diambil dari istilah umum akan diimplementasikan secara umum pula dan yang diambil dari istilah komunitas tertentu akan dikhususkan pada kalangan tersebut. 


[1] . DR. Ahmad Fahmi Abu Sinnah, al-adatu wa al-‘Adah fi Ra’yi al-Fuqaha’, hal. 10. 
[2] . Ibn ‘Amir al-Hajj, Syarah Tahrir, vol. 1, hal. 282. 
[3] . Shahih Bukhori, Kitab Fadloil al-Qur’an, bab, Ta’lif al-Qur’an, no-Hadist 4993. 
[4] . Khatib al-Baghdady, Tarikh Baghdad.  
[5] . Attaqrir Syarah Attahrir vol. 1/68, vol.2/2, muqoddimah Ibnu khuldun hal. 128, kutub Ilm al-Ijtima’ fi Bahst al-adati, Ilm an-Nafsi fi Bahts al-Adah, Al-Mabsuth fi Mabahits Mukhtalifah. 
[6] . Shahih Bukhori, - Kitab al-Anbiya’ – bab – Shafhah an-Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam. No-Hadist, 3560. 
[7] . Yaitu, menjual kurma atau anggur basah yang masih dibatang pohonnya dengan kurma atau anggur kering. Transaksi ini diperbolehkan di bawah kadar nishob zakat (5 wasaq) dengan catatan yang di atas batang pohon ditaksir terlebih dahulu dan yang kering di takar. Abi Zakariya al-Anshori, Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala Tuhfah ath-Thullab, Dar al-Fikr, Beirut, vol- II, hal. 63-64. 
[8] . Abu al-‘Abbas Syihabuddin Al-Qarafi Al-Maliki, Al-Faruq, vol. 3, hal. 149. 
[9] . ini adalah sebagian ucpan dari Abdullah bin Mas’ud  ra.  Yang lengkapnya :
إن الله تعالى نظر إلى قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله عليه وسلم خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه ….. الحديث إلى أن قال وما رأوه سيئا فهو عند الله سيئ .
Imam Ahmad, al-Musnad vol. 1/379.  
[10] . Imam Malik, al-Muwattho’,-Kitab al-Aqdliyah- bab – al-Qodlo’ fi al-Mirfaq.  
[11] . Shahih Muslim, - Kitab al-Iman – bab – Kaun an-Nahyi ‘an al-Munkar min al-Iman. 
[12] . Ibn Abdissalam, Al-Qawa’id, vol. 2, hal. 121. 
[13] . Shahih Muslim, kitab al-Hajj, - bab- Furidlo al-Hajj Marrotan fi al-‘Umr.

Artikel ini pernah dimuat dalam jurnal Teras Pesantren edisi VIII
Editor: Irham Ma'arif

Read More >>

 kesejahteraan yang akan diperoleh di dunia dan akhirat Alam di jagad raya ini dibagi menjadi dua bagian. Yaitu, alam Mulki dan alam Malakut. Alam mulki yaitu alam yang bisa dilihat oleh manusia dengan kasyaf mata. Sehingga, dalam permasalahan ini orang yang beragama Islam atau pun orang kafir itu bisa menembus dan menjamahnya. Allah berfirman :

 

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (107

 

"Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong." (QS. Al-Baqarah : 107)

 

Mengenai tentang bentuk alam Mulki, bahasannya sangat luas. Tidak hanya terkhusus dengan alam dunia, tetapi keluar dari planet tercinta ini. Di bumi dan langit merupakan alam Mulki yang dinikmati mata selagi masih bisa berfungsi. Dan kebanyakan orang-orang yang menemukan konsep tentang ilmu alam Mulki adalah orang yang bukan Islam. Seperti ilmu Falaq, kebanyakan orang yang ahli di dalamnya adalah orang kafir, seperti bangsa Inggris yang pintar terhadap bidang astronomi sejak awal dekade. Sehingga, dalam permasalahan ini dahulu Mbah Zubair Dahlan mempunyai sebuah keinginan untuk mengaji dan pintar dalam ilmu Falaq. Tapi, sayangnnya ilmu ini tidak ilmiah.

 

Bumi yang kita tempati ini merupakan bagian dari alam Mulki yang diciptakan untuk makhluk Allah yang namanya manusia (Nabi Adam dan keturunannya). Nabi Adam dijadikan Allah sebagai khalifah untuk memakmurkan dunia dengan aturan-aturan yang diatur oleh Allah. Allah berfirman :

 

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (30

 

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah : 30).

 

Karena bumi adalah tempat makhluk Allah yang mulia (Nabi Adam dan keturunannya), maka proses dalam penciptaannya juga lama apabila dibandingkan dengan langit yang letaknya berada di atasnya. Hari Ahad, Senin, Selasa, dan Rabu digunakan untuk menciptakan bumi, sedangkan Kamis dan Jumat itu digunakan oleh Allah untuk mencipkan langit. Adapun hari Sabtu Allah libur. Sehingga dari permasalahan ini banyak digunakan teladan untuk orang-orang yang ahli dalam ilmu Perdukunan untuk tidak menyuwuk sebab takut ngobos (tidak berhasil jampe-jampenya).

 

Keistimewaan bumi tidak hanya itu saja. Tetapi masih ada yang lainnya. Bahkan itu lebih menarik, yaitu kelak bumi yang kita gunakan untuk beribadah kepada Allah Swt, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, akan kita bawa ke surga untuk ditempati lagi. Sedangkan langit akan dilipat dan digulung Allah. Allah berfirman :

 

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (67

 

"Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi dia dari apa yang mereka persekutukan." (QS. Az-Zumar : 67).

 

Setelah pembahasan alam Mulki, Syaikhina Maimoen juga membahas tentang alam Malakut yang tidak kalah pentingnya dengan pembahasan alam Mulki. Alam Malakut berbeda dengan alam Mulki yang bisa dinikmati orang-orang Islam dan orang-orang kafir. Dia lebih terkhusus untuk orang-orang Islam, khususnya mereka yang selalu taat kepada Allah seperti para nabi, auliya' dan orang-orang saleh. Mereka hidup hanya mencari rida Allah. Tentang alam Malakut Allah berfirman :

 

وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ (75

 

"Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yaqin." (QS. Al-An'am : 75).

 

Seseorang itu akan memperoleh kebaikan kalau dia mau mengetahui alam Mulki dan alam Malakut. Contoh alam Malakut yang tidak bisa dilihat oleh mata adalah Malaikat, Jin dan Setan. Di bawah ini ada contoh-contoh alam Malakut yang diceritakan dalam Al-Quran dan yang pernah dialami oleh seseorang yang dipilih Allah.

 

a. Ibunda Maryam binti Imran, ibu yang melahirkan Nabi Isa As yang semasa hidupnya pernah diasuh oleh Nabi Zakaria. Ketika Nabi Zakaria menaruhnya di sebelah kiri pengimaman masjid, waktu itu Nabi Zakaria ingin mengirim makanan kepada Maryam, tapi malah Nabi Zakaria keheranan dengan apa yang terjadi dengan Maryam. Sebab, Nabi Zakaria melihat sudah ada makanan di samping Maryam. Makanan itu didatangkan Allah dari surga. Allah berfirman :

 

فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ 37

 

"Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab." (QS. Ali-Imran : 37).

 

b. Alam Malakut yang terdapat pada Nabi Ibrahim As adalah terjadi pada suatu peristiwa besar tentang pembakaran dirinya atas perintah raja Namrud. Ketika api sudah berkobar dan Nabi Ibrahim sudah dimasukkan ke dalamnya. Dengan izin Allah api itu tidak dapat membakarnya. Justru di dalam api itu Nabi Ibrahim mendapatkan kenikmatan dari Allah yang berupa selain dirinya tidak dapat dibakar dengan api, Nabi Ibrahim juga bisa leyeh-leyeh duduk di atas kursi goyang dengan memakan makanan yang diberikan oleh Allah. Allah berfirman:

 

قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69

 

"Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim",(QS. Al-Anbiya’: 69).

 

c. Setelah mengajar di Madrasah Nizamiyah, Imam Al-Ghazali menjadi orang yang mashur dan kaya. Namun, suatu ketika beliau meninggalkan kenikmatan dunia itu dan berkeinginan untuk menjalankan alam Malakut. Akhirnya, beliau bertekad menjalankan suatu perjalanan yang sangat panjang sepanjang 5000 kilo meter dengan tidak membawa bekal kecuali hanya tawakal kepada Allah Swt. Dengan tawakalnya, Imam Al-Ghazali bisa sampai ke tempat tujuan atas izin-Nya.

 

d. Al-Quran yang dijadikan pedoman hidup umat Islam juga ada alam malakutnya. Yaitu, di dalamnya terdapat keistimewaan yang tidak dapat didapat pada kitab selain Al-Quran. Kepahaman yang mendalam hanya dapat diperoleh oleh orang-orang yang beragama Islam. Selain itu, meskipun Al-Quran itu berbahasa Arab, tapi orang yang paham dan alim dalam bahasa Arab bukan orang Arab asli tapi orang Ajam (Imam Sibaweh).

 

Perlu diketahui bahwa alam Malakut itu tidak terkhusus pada sesuatu yang ada di luar bumi dan yang tidak nampak, namun pembahasannya luas. Kadang ada yang di bumi dan di luar bumi. Namun, yang penting adalah alam Malakut itu hanya diketahui dan dirasakan oleh orang Islam, terutama hamba-hamba Allah yang menjadi pilihan-Nya.

 

Ketika kita sudah mengetahui apa itu alam Mulki dan alam Malakut, maka kita akan beranjak menuju konsep-konsep Islam yang menawarkan sebuah kesejahteraan bagi umatnya yang mau menjalankan ajarannya. Kesejateraannya yaitu berupa kesejahteraan yang akan diperoleh di dunia dan akhirat.

 

Islam sangat menawarkan kesejahteraan bagi pengikutnya. Namun, sayangnya banyak yang tidak mengetahui tentang hal itu. Atau juga memang ia sengaja lari dari konsep tadi, sehingga memilih suatu kehidupan yang enak yang bersifat sementara dengan meninggalkan kehidupan yang bersifat abadi. Tapi, kenyataannya kebanyakan dari mereka sensara di kehidupan dunia ini. Padahal orang Islam itu harus enak dunia dan akhiratnya. Kesensaraan itu disebabkan karena tindakannya sendiri. Kebanyakan dari mereka tidak mau menolong agama Allah, baik disengaja atau pun tidak. Padahal barang siapa yang menolong agama Allah, maka dia akan ditolong Allah. Sehingga, akibatnya berdampak pada diri mereka sendiri. Contoh kecilnya adalah orang Indonesia yang dijajah Belanda selama 350 tahun. Selama dalam kekuasaan penjajah, kesensaraan terjadi di mana-mana. Kadang mereka makan nasi selama 5 bulan dan makan jagung selama 7 bulan. Semua ini terjadi karena di waktu itu bangsa Indonesia yang menolong agama Allah sangatlah sedikit sekali.

 

Konsep Islam sungguh sangat luar biasa. Seandainya umat Islam mau menjalankan Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw, niscaya kesejahteraan akan dirasakan oleh semua lapisan. Contoh kecilnya tentang takaran makan yang diatur oleh Islam. Seorang muslim perindividu itu harus makan perhari bagi orang yang miskin 1 Mud (6 on seperempat). Orang berekonomi sedang makannya 1 Mud setengah. Dan orang yang kaya takaran makannya 2 Mud. Sehingga, kalau ditotal semuanya, bagi seorang yang sedang harus menghabiskan 28 kilo. Mengapa di sini harus 28 kilo? Karena jumlah hari dalam satu bulan menurut penanggalan Islam itu ada 28 hari. Sedangkan untuk hari yang ke 29, bulannya itu tidak nampak. Seandainya kurang dari 28 kilo, maka orang tadi itu belum dikatakan merasakan kesejahteraan yang ditawarkan Islam.

 

Penuturan tadi baru tentang nasinya. Belum menuju lauk-pauknya. Apabila dia sudah normal nasinya, hendaknya memilih lauk-pauk yang enak-enak. Allah befirman:

 

وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ (35

 

"Dan kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-Baqarah: 35).

 

Namun sayangnya, meskipun ada rumus-rumus yang mengantarkan manusia agar hidup yang enak di dunia dan akhirat, akan tetapi ada sebagian dari mereka yang masih tirakat (puasa Dalail). Dengan puasa ini, mereka menginginkan akan adanya kenikmatan dunia pada masa setelah puasa. Tapi, mereka masih saja melarat. Sebenarnya tirakat puasa itu kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang hendak mendekatkan diri kepada Allah, khususnya para nabi dan waliyullah. Puasamya hanya untuk Allah. Hatinya tidak pernah lepas dari mengingat Allah. Seandainya mereka melupakan Allah dengan waktu yang sangat singkat, niscaya mereka sudah dianggap dosa besar. Dan kebanyakan orang-orang yang menjalakan tirakat sekarang itu niatnya tidak seperti ini, makanya mereka tetap melarat dan miskin.

 

Apabila ada orang yang bernazar ziarah ke makam Wali Songo dengan berjalan kaki padahal tempat antara dia dan tempat yang dinazarinya itu sangat jauh bila dijangkau dengan berjalan kaki, sungguh orang yang bernadzar tadi tidak wajib menjalankan nazarnya dengan berjalan kaki. Sebab, berjalan kaki itu pekerjaan hewan, seperti Kerbau dan Sapi bukan pekerjaan manusia. Dan manusia itu bukanlah Sapi atau Kerbau. Tapi, manusia itu adalah makhluk Allah yang dimuliakan. Dia harus mempunyai alat tranportasi yang dapat mengantarkannya ketika dia hendak pergi ke suatu tempat yang diinginkan, bukan dengan jalan kaki. Ingatlah bahwa Islam itu mulia dan pengikutnya juga harus mulia. Allah berfirman:

 

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا 70

 

"Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan." (QS. Al-Isra : 70).

 

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ (8

 

"Kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui." (QS. Al-Munafiqun: 8).

 

Sarang. 1 Desember 2010 M

Catatan : Artikel ini disarikan dari ceramah Syaikhina Maimoen Zubair pada saat acara KBIH Sarang tanggal 17 Oktober 1998 M.

Read More >>