oleh : Dr. KH. Abdul Ghofur MZ

Dalam fikih kita dianjurkan dengan sangat agar seorang imam memiliki ilmu yang cukup ['alim], agar bila terjadi sesuatu di tengah-tengah shalat, ia segera dapat mengambil tindakan hukum yang benar. Betapa sangat pentingnya pengetahuan agama bagi seorang imam. Apalagi jika ia adalah seorang imam di masjid agung, yang tentunya banyak menjumpai peristiwa-peristiwa serupa lainnya.

Kentut atau lainnya, jika terjadi sebelum shalat, artinya imam shalat dalam keadaan tidak suci, karena lupa misalnya, maka hanya shalat imam yang tidak sah, sementara shalatnya makmum hukumnya sah. Diriwayatkan dari al-Barra' bin 'Azib, ia mengatakan: "Rasululllah shalat bersama kaum, sedangkan beliau tidak berwudhu, maka shalat telah sempurna bagi mereka, sementara Nabi mengulanginya". [HR. Addaruquthny] Dari al-Barra' bin Azib dalam hadits yang lain dari Nabi Muhammad SAW, beliau mengatakan: "Siapapun imam, jika ia lupa kemudian ia shalat bersama kaum sedangkan ia junub, maka shalat mereka telah selesai [sah], kemudian ia [imam] hendaknya mengulangi shalatnya. Dan jika ia shalat dengan tanpa wudhu, maka hukumnya juga demikian". [HR. Addaruquthny].

Dari peristiwa dan pengarahan Rasul ini, beberapa ulama membagi batalnya shalat imam ke dalam dua kategori. Pertama batal dengan sebab yang samar [bathin], seperti ia tidak mempunyai wudhu atau ia junub, dan kedua batal dengan sebab yang tampak kelihatan [dzahir], seperti tidak sempurna dalam menutupi aurat. Kategori pertama tidak membatalkan shalatnya makmum, sedangkan kategori kedua dapat membatalkan shalatnya makmum.

Bagaimana jika batalnya shalat imam terjadi di tengah-tengah shalat? Apa yang harus dilakukan olehnya?

Dalam peristiwa seperti ini, fikih kita telah menyediakan solusi istikhlaf [mengganti imam di tengah-tengah shalat]. Praktik ini pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. yang menggantikan Abu Bakar ra. namun tidak karena batalnya shalat, akan tetapi karena taadduban [etiket sopan santun], bahwa tidak pantas seorang Abu Bakar menjadi imam, sementara Rasul hadir bersama mereka.

Peristiwa ini terjadi ketika Rasul saw sakit cukup parah, sehingga beliau memerintahkan Abu Bakar menggantikan beliau berlaku sebagai imam. Suatu saat kemudian beliau merasakan kesehatannya membaik, maka beliau, dengan disertai dua sahabatnya, berangkat ke masjid, sementara Abu Bakar sedang berlaku sebagai imam. Maka kemudian Abu Bakar mundur dari barisan terdepan kemudian Rasul SAW menggantikannya sebagai imam. [HR. Muslim]

Peristiwa serupa juga pernah dipraktikkan oleh Umar ra saat beliau ditusuk di tengah shalat, kemudian ia memegang tangan Abdurrahman bin 'Awf agar menggantikan beliau berlaku sebagai imam. [HR. al-Bayhaqy]. Peristiwa ini terjadi di tengah-tengah para sahabat Nabi, dan tidak ditemukan riwayat adanya penolakan dari mereka atas praktik ini.

Adapun hukum istikhlaf, sebagaimana disampaikan Imam Malik, adalah sunnah, kecuali dalam shalat Jumat, maka hukumnya wajib.
Adapun tatacara istikhlaf adalah sebagai berikut :

Dari Abu Hurayrah ra, ia mengatakan: Berkata Rasululloh saw.: "Apabila salah satu di antara kalian shalat, kemudian ia mimisan [keluar darah dari hidung], atau muntah-muntah, maka letakkan tangan pada mulut, dan lihatlah seorang lelaki di antara kaum [para makmum] yang tidak ketinggalan sesuatu apapun [dari shalatnya], kemudian menariknya ke depan [untuk menggantikannya sebagai imam], dan ia bergegas wudhu kemudian datang kembali dan meneruskan shalatnya selama ia tidak berbicara. Apabila ia telah berbicara maka ia mengulangi shalatnya". [HR. Addaruquthny]

Dalam hadits ini, jelas sekali ada perintah untuk memilih makmum yang tidak ketinggalan shalatnya [mudrik], sehingga jumlah rakaatnya sama persis dengan jumlah rakaat imam pertama. Demikian ini agar memudahkan dalam ibadah shalat, karena makmum yang menggantikan imam tersebut mempunyai sifat ganda; ia sebagai dirinya sendiri dan ia sebagai ganti dari kedudukan imam, sementara yang harus ia lakukan adalah meneruskan shalatnya imam. Misalnya imam telah selesai membaca surat al-fatihah kemudian ia batal ketika baru membaca satu ayat dari surat al-ikhlash, maka pengganti tinggal meneruskan ayat yang kedua.

Ketika khalifah [pengganti imam] telah mendapatkan satu rakaat, persis seperti mustakhlif [imam pertama yang mempergantikannya], maka dalam meneruskan shalatnya mustakhlif, ia tidak bertentangan dengan shalatnya sendiri; ketika ia meneruskan shalatnya imam pertama, ia melaksanakan apa yang seharusnya ia lakukan bila shalat untuk dirinya sendiri.

Lain halnya bila imam telah mendapatkan dua rakaat, sementara penggantinya baru mendapatkan satu rakaat, maka ada pertentangan antara shalatnya sendiri dan shalat imam yang ia gantikan. Dalam keadaan seperti ini, yang harus ia lakukan adalah menjaga keharusan shalatnya imam, tidak shalatnya sendiri. Makanya dua rakaat kemudian [misalnya shalat 'Isya'] ia harus duduk tasyahhud akhir, mengikuti apa yang seharusnya dilakukan oleh imam pertama, walau bagi dia itu adalah rakaat ketiga.

Selesai tasyahhud akhir, ada tiga cara:

1. Ia memberi isyarah kepada para makmum yang telah sempurna shalatnya untuk salam, kemudian ia menambah satu rakaat meneruskan shalatnya sendiri. [Syafiiyah]

2. Ia menarik maju atau memberi isyarat salah satu makmum yang telah sempurna shalatnya untuk salam beserta makmum-makum lainnya. [Hanafiyah]

3. Para makmum duduk, sambil menunggu sempurnanya shalatnya pengganti, kemudian salam bersama-sama. [Syafiiyah-Malikiyah]

4 comments:

asa malichah said...

Tolong posting tata cara tahlil

Anonymous said...

insya allah nanti saya posting tata cara tahlil

Unknown said...

Jika tidak istikhlaf, karena hukumnya sunnah, bagaimana kelanjutan shalat makmum, apakah ia menyelesaikan sendiri2? dan bagaimana hukum mengikuti imam yang baru tersebut ketika sudah menjadi imam?

Shofi said...

Lanjutkan

Post a Comment