Oleh | WAA. Ibrahimy
Sejarah senyum rasanya sudah setua usia peradaban manusia, atau bahkan sepurba semesta raya. Para nabi di samping terutus untuk membawa peringatan, mereka pun datang dengan membawa berita gembira. Disinilah fungsi senyum sangat berperan. Baginda Nabi Muhammad saw., keluhuran, kesantunan, dan kelembutan budi pekertinya telah lekat teridentifikasikan dengan senyumnya yang menawan.
Senyum adalah ekspresi dari keceriaan batin seseorang. Dan batin setiap muslim yang telah dialiri keimanan dari ladang amal kebaikannya, akan menumbuhkan kebahagiaan serta kedamaian yang hakiki, atau disebut juga hayâh thayyibah. Ini karena jiwa mereka menjadi benderang oleh cahaya kebenaran yang dengan tulus hati menerima, pasrah, dan tunduk mengikuti bimbingan Sang Maha Pencipta, Allah Swt., sebagaimana janji-Nya, "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (hayâh thayyibah), dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97)
Senyum tawa yang tampak pada permukaan wajah adalah aktifitas tubuh manusia sebagai wakil perasaan riang atau kasih sayang yang muncul dari lapisan bawah batinnya. Senyum juga merupakan hasil kerja otak kecil dan selaput otak secara bersama-sama. Dimana temperamen karakter seseorang – dalam anggapan fisiologi – berkaitan erat dengan sejenis cairan tubuh manusia yang disebut humour. Aktifitas senyum tadi telah berperan merangsang otak untuk mengeluarkan senyawa yang mampu menurunkan kadar kepekaan tubuh manusia yang menghubungkan sistem saraf, imun, dan endoktrin. Karena itu senyum sebenarnya adalah "kekuatan terpendam" yang sangat hebat, dan aktifitasnya merupakan sedekah berharga yang merawat tubuh agar tetap sehat. Benarlah sabda Baginda Nabi saw. : تَبَسَّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ "Senyumanmu pada wajah saudaramu adalah (bernilai) sedekah bagimu." (HR. Tirmidzi)
Kekuatan senyum tawa bila dikelola dengan baik akan mengalahkan ketajaman pedang sekalipun. Berapa banyak pedang yang tajam urung dihunuskan, berapa banyak genderang perang gagal ditabuhkan, berapa banyak susah gelisah reda menjadi ketenangan, berapa banyak luka menganga tak terasa menyakitkan, berapa banyak rasa amarah musnah terpadamkan, dan berapa banyak khianat kebencian surut menjadi cinta kesetiaan, hanya dengan satu senyum ketulusan. Lihatlah bagaimana ketika Baginda Nabi saw. sedang bertawaf di Baitullah al-Haram, tiba-tiba seorang pemuda mendekatinya perlahan. Ada gelagat tak nyaman dari raut wajah yang tampak tak tenang. Pemuda itu adalah Fadlâlah bin 'Umair yang sengaja datang membuntuti Nabi dengan memendam kebencian mendalam. Benaknya berencana hendak membunuh Nabi. Namun, ketika jarak antara keduanya semakin dekat, Baginda segera menyapanya ramah, "Bukankah engkau Fadlâlah?" Demi mendengar sapaan hangat itu, suasana hatinya pun tiba-tiba berubah ciut, "Benar ya Rasulallah!" "Apa yang engkau bicarakan dalam hatimu?" Selidik Baginda seketika. "Tidak ada, aku sedang berdzikir mengingat Allah 'Azza Wa Jalla!" Jawab Fadlâlah mengelak gugup. Mendengar itu Nabi saw. pun tersenyum, lalu bersabda, "Beristighfarlah kepada Allah!" Sambil tangannya yang mulia menyentuh dada pemuda tersebut. Sehingga menjadi damailah hatinya, dan "genderang" permusuhan di balik dadanya pun urung ditabuhkan. Di waktu yang lain, saat mengingat peristiwa bersejarah itu, Fadlâlah berkata, "Demi Allah, tidaklah Baginda mengangkat tangannya dari dadaku, sehingga tak ada satu pun makhluk Allah yang lebih aku cintai darinya!"
***
Lihatlah juga kisah Syaibah bin Utsman bin Thalhah – yang ayah dan pamannya terbunuh pada perang Uhud. Suatu ketika ia bersama pasukan Quraisy pergi menuju Hawazin di Hunain, ia berharap dapat membalaskan dendam seluruh kaumnya, membunuh Rasulullah di sela-sela pertempuran nanti. Dan bila mendengar perkataannya, tampaklah betapa besar kebencian Syaibah kepada Baginda Nabi saw. dahulu, "Andaikan tak seorang pun dari Arab atau lainnya kecuali menjadi pengikut Muhammad, aku tak kan pernah mengikutinya selama-lamanya!" Dengan kelihaian dan ketangkasan yang dimiliki, Syaibah dapat menembus pasukan kaum muslimin yang saat itu bercerai berai menjauh dari Rasulullah. Ia pun hunuskan pedang berjalan mendekati Baginda, dan ketika pedang diangkat sehingga hampir saja menebas diri Baginda, tiba-tiba sekilas cahaya api berkelebat di depan wajah Syaibah, bagai petir menyambar, hampir saja mencelakainya. Ia pun reflek menutup wajah dengan kedua tangannya, ketakutan. Belum juga reda rasa kaget dan takut di benak Syaibah, seketika ia mendengar seseorang memanggil namanya, "Wahai Syaibah mendekatlah padaku!" Dilihatnya orang itu tak lain adalah Rasulullah saw. Syaibah tak kuasa, ia pun tunduk mendekat mengikuti panggilan tersebut. Sekali lagi tangan Baginda yang mulia mengusap lembut dada orang yang hendak membunuhnya, seraya berdoa, "Ya Allah, lindungilah ia dari Syetan!" Maka ketika itu "pedang" kebencian yang terselip di balik dadanya pun urung dihunuskan. Nabi bersabda, "Mendekatlah kepadaku dan berperanglah!" Sekejap, Syaibah pun berdiri mengambil posisi di depan Baginda, berubah menjadi pembelanya yang setia, karena tak ada lagi yang lebih ia cintai dari telinga, mata, bahkan dirinya sendiri setelah itu, selain Baginda Nabi saw. "Allah Maha Mengetahui, sesungguhnya aku rela menjadikan diriku sebagai tameng Rasulullah dari apapun saja. Dan andai aku berhadapan dengan ayahku sendiri saat itu, pasti kutebas juga dengan pedang!" Tuturnya kemudian di hari-hari yang lain.
***
Subhânallôh, betapa hebat efektifitas senyum itu, senyum yang lahir dari ketulusan dan dikelola oleh kekuatan iman tentunya, akan benar-benar mengalahkan ketajaman pedang! Maka tersenyumlah, seperti senyum bisyârah (berita gembira) Nabi yang meredakan gelisah Ka'ab bin Malik, Murârah bin Rabi', Hilal bin Umayyah, dan Abû Lubâbah saat taubatnya dikabulkan. Atau senyum syafaqah (empati) beliau yang menyembuhkan pasukan muslimin di pertempuran Thaif, sehingga luka-luka yang menganga pun tak terasa menyakitkan. Atau senyum rahmah (kasih) beliau yang menyadarkan kebodohan seorang Badui dari kesalahan buang air kecil di dalam masjidnya yang mulia. Rasulullah saw. masih saja tersenyum ketika sedang i'tizâl dari isteri-isterinya. Bahkan menjelang akhir hayatnya, Nabi saw. – yang sempat beberapa saat tak shalat berjama'ah dengan kaum muslimin – keluar dari balik kamar, berdiri, memandangi sahabat-sahabat sedang melangsungkan shalat, dengan wajah bak selembar mushaf bercahaya, tersenyum sangat bahagia. Abu Bakar ra. yang ketika itu berada di depan, mundur selangkah ke shaf, demi menyilahkan Baginda untuk menjadi imam selanjutnya. Namun Baginda Nabi saw. memberi aba-aba agar mereka terus melanjutkan shalat. Lalu beliau kembali ke dalam kamar, menutup tirai, dan di hari itu pula Baginda bertemu Sang Rafîqil A'lâ.
Sejarah senyum rasanya sudah setua usia peradaban manusia, atau bahkan sepurba semesta raya. Para nabi di samping terutus untuk membawa peringatan, mereka pun datang dengan membawa berita gembira. Disinilah fungsi senyum sangat berperan. Baginda Nabi Muhammad saw., keluhuran, kesantunan, dan kelembutan budi pekertinya telah lekat teridentifikasikan dengan senyumnya yang menawan.
Senyum adalah ekspresi dari keceriaan batin seseorang. Dan batin setiap muslim yang telah dialiri keimanan dari ladang amal kebaikannya, akan menumbuhkan kebahagiaan serta kedamaian yang hakiki, atau disebut juga hayâh thayyibah. Ini karena jiwa mereka menjadi benderang oleh cahaya kebenaran yang dengan tulus hati menerima, pasrah, dan tunduk mengikuti bimbingan Sang Maha Pencipta, Allah Swt., sebagaimana janji-Nya, "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (hayâh thayyibah), dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97)
Senyum tawa yang tampak pada permukaan wajah adalah aktifitas tubuh manusia sebagai wakil perasaan riang atau kasih sayang yang muncul dari lapisan bawah batinnya. Senyum juga merupakan hasil kerja otak kecil dan selaput otak secara bersama-sama. Dimana temperamen karakter seseorang – dalam anggapan fisiologi – berkaitan erat dengan sejenis cairan tubuh manusia yang disebut humour. Aktifitas senyum tadi telah berperan merangsang otak untuk mengeluarkan senyawa yang mampu menurunkan kadar kepekaan tubuh manusia yang menghubungkan sistem saraf, imun, dan endoktrin. Karena itu senyum sebenarnya adalah "kekuatan terpendam" yang sangat hebat, dan aktifitasnya merupakan sedekah berharga yang merawat tubuh agar tetap sehat. Benarlah sabda Baginda Nabi saw. : تَبَسَّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ "Senyumanmu pada wajah saudaramu adalah (bernilai) sedekah bagimu." (HR. Tirmidzi)
Kekuatan senyum tawa bila dikelola dengan baik akan mengalahkan ketajaman pedang sekalipun. Berapa banyak pedang yang tajam urung dihunuskan, berapa banyak genderang perang gagal ditabuhkan, berapa banyak susah gelisah reda menjadi ketenangan, berapa banyak luka menganga tak terasa menyakitkan, berapa banyak rasa amarah musnah terpadamkan, dan berapa banyak khianat kebencian surut menjadi cinta kesetiaan, hanya dengan satu senyum ketulusan. Lihatlah bagaimana ketika Baginda Nabi saw. sedang bertawaf di Baitullah al-Haram, tiba-tiba seorang pemuda mendekatinya perlahan. Ada gelagat tak nyaman dari raut wajah yang tampak tak tenang. Pemuda itu adalah Fadlâlah bin 'Umair yang sengaja datang membuntuti Nabi dengan memendam kebencian mendalam. Benaknya berencana hendak membunuh Nabi. Namun, ketika jarak antara keduanya semakin dekat, Baginda segera menyapanya ramah, "Bukankah engkau Fadlâlah?" Demi mendengar sapaan hangat itu, suasana hatinya pun tiba-tiba berubah ciut, "Benar ya Rasulallah!" "Apa yang engkau bicarakan dalam hatimu?" Selidik Baginda seketika. "Tidak ada, aku sedang berdzikir mengingat Allah 'Azza Wa Jalla!" Jawab Fadlâlah mengelak gugup. Mendengar itu Nabi saw. pun tersenyum, lalu bersabda, "Beristighfarlah kepada Allah!" Sambil tangannya yang mulia menyentuh dada pemuda tersebut. Sehingga menjadi damailah hatinya, dan "genderang" permusuhan di balik dadanya pun urung ditabuhkan. Di waktu yang lain, saat mengingat peristiwa bersejarah itu, Fadlâlah berkata, "Demi Allah, tidaklah Baginda mengangkat tangannya dari dadaku, sehingga tak ada satu pun makhluk Allah yang lebih aku cintai darinya!"
***
Lihatlah juga kisah Syaibah bin Utsman bin Thalhah – yang ayah dan pamannya terbunuh pada perang Uhud. Suatu ketika ia bersama pasukan Quraisy pergi menuju Hawazin di Hunain, ia berharap dapat membalaskan dendam seluruh kaumnya, membunuh Rasulullah di sela-sela pertempuran nanti. Dan bila mendengar perkataannya, tampaklah betapa besar kebencian Syaibah kepada Baginda Nabi saw. dahulu, "Andaikan tak seorang pun dari Arab atau lainnya kecuali menjadi pengikut Muhammad, aku tak kan pernah mengikutinya selama-lamanya!" Dengan kelihaian dan ketangkasan yang dimiliki, Syaibah dapat menembus pasukan kaum muslimin yang saat itu bercerai berai menjauh dari Rasulullah. Ia pun hunuskan pedang berjalan mendekati Baginda, dan ketika pedang diangkat sehingga hampir saja menebas diri Baginda, tiba-tiba sekilas cahaya api berkelebat di depan wajah Syaibah, bagai petir menyambar, hampir saja mencelakainya. Ia pun reflek menutup wajah dengan kedua tangannya, ketakutan. Belum juga reda rasa kaget dan takut di benak Syaibah, seketika ia mendengar seseorang memanggil namanya, "Wahai Syaibah mendekatlah padaku!" Dilihatnya orang itu tak lain adalah Rasulullah saw. Syaibah tak kuasa, ia pun tunduk mendekat mengikuti panggilan tersebut. Sekali lagi tangan Baginda yang mulia mengusap lembut dada orang yang hendak membunuhnya, seraya berdoa, "Ya Allah, lindungilah ia dari Syetan!" Maka ketika itu "pedang" kebencian yang terselip di balik dadanya pun urung dihunuskan. Nabi bersabda, "Mendekatlah kepadaku dan berperanglah!" Sekejap, Syaibah pun berdiri mengambil posisi di depan Baginda, berubah menjadi pembelanya yang setia, karena tak ada lagi yang lebih ia cintai dari telinga, mata, bahkan dirinya sendiri setelah itu, selain Baginda Nabi saw. "Allah Maha Mengetahui, sesungguhnya aku rela menjadikan diriku sebagai tameng Rasulullah dari apapun saja. Dan andai aku berhadapan dengan ayahku sendiri saat itu, pasti kutebas juga dengan pedang!" Tuturnya kemudian di hari-hari yang lain.
***
Subhânallôh, betapa hebat efektifitas senyum itu, senyum yang lahir dari ketulusan dan dikelola oleh kekuatan iman tentunya, akan benar-benar mengalahkan ketajaman pedang! Maka tersenyumlah, seperti senyum bisyârah (berita gembira) Nabi yang meredakan gelisah Ka'ab bin Malik, Murârah bin Rabi', Hilal bin Umayyah, dan Abû Lubâbah saat taubatnya dikabulkan. Atau senyum syafaqah (empati) beliau yang menyembuhkan pasukan muslimin di pertempuran Thaif, sehingga luka-luka yang menganga pun tak terasa menyakitkan. Atau senyum rahmah (kasih) beliau yang menyadarkan kebodohan seorang Badui dari kesalahan buang air kecil di dalam masjidnya yang mulia. Rasulullah saw. masih saja tersenyum ketika sedang i'tizâl dari isteri-isterinya. Bahkan menjelang akhir hayatnya, Nabi saw. – yang sempat beberapa saat tak shalat berjama'ah dengan kaum muslimin – keluar dari balik kamar, berdiri, memandangi sahabat-sahabat sedang melangsungkan shalat, dengan wajah bak selembar mushaf bercahaya, tersenyum sangat bahagia. Abu Bakar ra. yang ketika itu berada di depan, mundur selangkah ke shaf, demi menyilahkan Baginda untuk menjadi imam selanjutnya. Namun Baginda Nabi saw. memberi aba-aba agar mereka terus melanjutkan shalat. Lalu beliau kembali ke dalam kamar, menutup tirai, dan di hari itu pula Baginda bertemu Sang Rafîqil A'lâ.
2 comments:
Bgs bngt!
Allohumma sholli alannaby muhammadg.
Post a Comment